Part 5- Tiba

1094 Kata
Satu minggu sudah Yasna lewati dengan hanya berkomunikasi dengan Razan. Pria itu rutin mengiriminya pesan, entah hanya sekedar berbasa-basi atau mengiriminya kata-kata motivasi soal pernikahan. Seakan Razan tengah meyakinkannya untuk segera menikah dengan pria itu.  Awalnya Yasna memang ragu, bukan karena ia dan Razan baru saja kenal dan sepertinya tak cukup waktu bagi mereka berdua untuk saling mengenal satu sama lain sebelum menikah nanti. Tapi karena Yasna sejak awal tidak pernah berpikir jika ia akan menikah di usia yang tergolong masih muda. Padahal tadinya ia ingin meniti karirnya dulu, membahagiakan kedua orangtuanya dan juga adiknya yang masih kuliah semester akhir di sebuah perguruan tinggi di Surabaya.  Namun, namanya jodoh tidak ada yang pernah bisa menebak kapan datangnya. Kehadiran Razan yang secara tiba-tiba pun mengetuk hati Yasna dengan sangat mudah sehingga gadis itu bisa menerimanya. Yasna sendiri tidak punya kriteria khusus soal pria yang kelak akan menjadi suaminya, ia hanya butuh pria yang menyayanginya dan bertanggung jawab padanya... seperti yang ayahnya lakukan untuk ibunya. Tidak perlu pria yang sempurna. Tapi nyatanya Razan terlihat begitu sempurna di mata Yasna. Dia pria yang tampan, pintar, dan sepertinya mapan juga. Justru Yasna yang menjadi tidak percaya diri, tapi lagi-lagi Razan selalu meyakinkannya jika pilihan pria itu pada dirinya tidaklah salah. Yasna sendiri pun tidak tahu alasan khususnya.  Dan hari ini, Yasna sudah mengepak beberapa helai bajunya ke dalam ransel yang akan dibawanya ke Jogjakarta untuk menemui kedua orangtuanya. Ia pun sudah mengabari kedua orangtuanya jika akan berangkat sore ini ke Jogjakarta bersama calon suaminya. Kedua orangtuanya terdengar begitu bahagia dan tidak sabar menyambut kedatangan mereka berdua. Wajah Yasna jadi memerah sendiri, memikirkan bagaimana nanti ia akan bertemu kedua orangtuanya bersama Razan. Selama ini ia kan tidak pernah membawa pria manapun ke rumahnya dan Razan adalah pria pertama yang ia bawa ke rumah, tentu dengan maksud khusus.  Aku sudah di depan gerbang kos kamu.  Satu pesan masuk dari Razan membuat Yasna langsung duduk di ranjangnya. Ia pun segera mengambil ranselnya dan menatap cermin besar di depannya, memastikan jika penampilannya cukup baik di depan Razan. Asal nggak malu-maluin deh. Saat itu rumah kos cukup sepi karena memang itu adalah hari weekend dan biasanya para penghuni kos akan pulang ke kampung halamannya atau sekedar berlibur keluar. Sementara ibu kosnya sepertinya sedang ikut arisan mingguan seperti biasa. Ia pun sudah pamit untuk kembali ke Jogjakarta kemarin. Mungkin ia hanya menghabiskan satu hari di sana. Mengingat Razan juga akan kembali sibuk dengan kuliahnya dan Yasna yang hanya mendapat jatah satu hari cuti.  Sebuah Pajero putih terparkir di depan gerbang kos Yasna, membuat gadis itu langsung mengenali siapa pemiliknya. Apalagi ketika Yasna keluar dari gerbang kos, Razan juga keluar dari mobilnya dan berdiri di samping pintu mobil. Pria itu berjalan menghampiri Yasna dan membantunya membawa tas ranselnya.  "Aku bisa sendiri kok." Yasna merasa sungkan ketika Razan membawakan tas ranselnya dan diletakkan di kursi penumpang di bagian belakang.  "Nggak apa-apa. Ya udah yuk masuk. Mampir ke minimarket dulu ya untuk cemilan di jalan. Oh ya, orangtua kamu suka apa? Biar kita bawain sekalian." Razan membukakan pintu mobil untuk Yasna lalu pria itu masuk ke mobilnya juga ke bagian kemudi.  "Eh, mereka suka apa aja kok," ucap Yasna yang tampak gugup duduk di samping Razan. Setelah hampir satu minggu tidak bertemu pria di sampingnya ini, Yasna merasa senang sekali. Seolah kerinduannya terbayarkan sudah. Rindu? Benarkah rasa rindu seperti ini? "Yang paling disuka?" tanya Razan yang jadi ikut bingung.  "Mereka suka bolen pisang dan bolu-boluan sih." Yasna menggaruk batang hidungnya yang tiba-tiba terasa gatal. "Baiklah. Nanti sekalian kita mampir deh." Razan mengangguk dan mulai melajukan mobilnya menuju jalanan ibukota.  Seperti yang Razan katakan sebelumnya, mereka berdua mampir dulu ke sebuah minimarket untuk membeli beberapa cemilan dan minuman selama di perjalanan nanti. Untuk makanan beratnya sih gampang, tinggal mampir ke rest area saja yang banyak tersedia di sepanjang jalan tol. Setelah mendapatkan yang mereka butuhkan, Razan dan Yasna kembali melanjutkan perjalanan mereka.  "Apa pekerjaanmu lancar?" tanya Razan yang membuka pembicaraan. Karena sedari tadi gadis di sampingnya hanya diam dan menatap ke luar jendela. Mungkin dia merasa gugup, sama seperti yang Razan rasakan saat ini. Tapi pria itu lebih besar merasa senang dibanding gugup karena ia akhirnya bisa bertemu dengan gadis yang telah lama mencuri hatinya.  "Ah, iya. Biasa aja sih. Namanya juga staff doang. Kamu sendiri bagaimana kuliahnya?" Razan mengedikkan bahunya. "Nggak ada yang spesial juga. Hanya ingin segera menyelesaikannya saja biar bisa fokus bekerja dan mencari nafkah untuk keluarga kecil kita." Bibirnya mengulum senyum dengan tatapan lurus ke depan.  Rona merah langsung memenuhi wajah Yasna ketika mendengar ucapan Razan yang terdengar begitu manis. "Tidak perlu terburu-buru. Aku pasti akan menunggu kok." "Aku hanya tidak tega jika kita harus menjalani hubungan jarak jauh selama dua tahun lagi. Aku harap aku bisa membawamu ke Bandung, tapi sayangnya aku tinggal di asrama sampai lulus nanti. Aku harap kamu tidak keberatan." Yasna menggelengkan kepalanya pelan. "Tentu aku tidak keberatan. Aku kan juga kerja di sini jadi pasti tidak akan terasa." Razan akhirnya mengangguk setuju. "Kamu benar. Aku hanya tidak sabar untuk tinggal bersama di rumah kecil kita." "Aku juga." Obrolan sederhana dan santai membuat Razan maupun Yasna tidak merasa bosan dan lelah dengan perjalanan mereka. Razan juga mengajak Yasna mampir ke sebuah toko oleh-oleh di rest area dekat Bandung. Mereka membeli beberapa bolu dan bolen pisang kesukaan orangtua Yasna.  "Banyak sekali." Yasna menatap tumpukan bolu dan bolen pisang di kursi belakangnya.  "Nggak apa-apa. Biar bisa dibagiin ke saudara kamu." Yasna hanya mengangguk-angguk saja. Ia hanya tidak enak karena Razan sama sekali tidak membiarkannya keluar uang sedikit pun. Mulai dari bensin, beli cemilan sampai beli oleh-oleh untuk keluarganya. Rasanya begitu sungkan jika hanya terima jadi dan tinggal duduk manis saja seperti ini.  "Setelah pertemuan dengan orangtuamu, aku pasti akan segera mengajak orangtuaku untuk melamarmu secara resmi. Paling lambat mungkin bulan depan karena kedua orangtuaku masih sibuk di luar negri saat ini. Tidak apa-apa, kan?" "Hah? Bulan depan? Cepet banget." Razan tersenyum tipis melihat keterkejutan di wajah Yasna. "Aku harap kita bisa meresmikan pernikahan kita dalam tiga bulan ini. Apa terlalu cepat juga?" "Eh, iya sih." Wajah Yasna sudah terasa panas sekarang. Tiga bulan bukanlah waktu yang lama. Dan dalam waktu tersebut ia akan menjadi istri Razan? Benarkah? "Aku hanya memanfaatkan libur semesterku nanti jadi kita ada waktu lama untuk bersama." Kali ini Razan menatap Yasna begitu hangat.  "Aku ikut rencana kamu aja deh. Hanya shock aja dengan semua yang terjadi selama satu minggu ini. Aku masih tak menyangkanya." Yasna menepuk-nepuk pipinya sendiri seolah ingin segera bangun dari mimpinya jika memang ini hanya mimpi. Razan terkekeh geli. "Tenang saja. Ini bukan mimpi kok."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN