Tiga bulan berselang sejak aku ditalak oleh Mas Gama. Dan hari ini adalah hari di mana palu diketok keras oleh hakim. Kini, aku telah resmi menjadi janda secara agama dan negara.
"Selamat tinggal, Sil. Aku harap kita nggak akan pernah ketemu lagi," ujar Mas Gama sebelum kami berpisah di depan gedung pengadilan.
Aku menatapnya pergi menjauh. Pria yang sangat aku cintai itu telah menjadi pria dingin yang tega melukai hatiku hingga sedalam ini. Namun, aku tak ingin lemah. Aku harus bangkit dari semua keadaan ini.
"Lebih baik aku pulang," gumamku seraya membuka ponsel untuk mencari ojek online.
Aku tinggal di kontrakan seorang diri setelah aku diusir dari rumah Mas Gama. Aku tak lagi bekerja di toko Pak Suseno karena aku berencana untuk kembali ke Jogja setelah ini. Yah, aku ingin melupakan semuanya dan memulai hidup baru. Barangkali, tinggal lebih dekat dengan ibuku bisa membuatku lebih cepat melupakan Mas Gama.
***
Seminggu berlalu setelah aku mengambil akta ceraiku. Aku sudah mengemas barang-barangku dan akan pergi ke Jogja malam nanti dengan bus. Namun, saat ini aku merasa sangat tidak nyaman.
"Kenapa kepalaku pusing banget?" Aku memijat kening berkali-kali. Tak hanya pusing, aku juga mual. "Apa aku masuk angin?"
Karena cuaca sering hujan, aku juga menjadi sering meriang belakangan ini. "Mungkin, aku harus ke dokter. Aku nggak mau perjalanan aku batal gara-gara sakit."
Aku menahan rasa tak enak pada tubuhku lalu mandi dan makan beberapa lembar roti tawar. Setelahnya, aku langsung pergi ke klinik yang tak jauh dari kontrakanku.
"Ibu sudah datang bulan?" tanya dokter wanita yang memeriksaku.
"Hah?" Aku terkesiap dengan pertanyaan dokter muda itu.
"Saya tanya, apa Ibu sudah datang bulan? Soalnya saya tebak Ibu sedang berbadan dua," ujar dokter itu tersenyum.
"Apa? Saya hamil?" Aku sungguh terkejut. Ini tidak mungkin. Sudah tiga bulan aku tak berhubungan dengan Mas Gama.
"Coba diingat-ingat apa Ibu telat atau tidak. Saya rujuk ke dokter kandungan saja, ya, biar lebih akurat hasilnya," kata dokter itu lagi.
Aku menelan keras. Karena aku memang sering telat datang bulan, aku menganggap ini bukan hal yang aneh. Aku sudah sering kecewa jika melakukan tes kehamilan. Jadi, aku mengabaikannya.
"Saya udah telat beberapa bulan ini, Dok," ungkapku.
"Nah, lebih baik langsung ke dokter kandungan. Pas banget ada jadwalnya setelah ini."
Aku menahan segala rasa yang membuncah dalam hatiku. Aku tak ingin berharap, tetapi jika aku memang hamil, aku pasti akan sangat bahagia.
Seharusnya aku bahagia. Namun, kini aku telah bercerai. Apa jadinya jika aku hamil seorang diri? Ya, Tuhan! Aku tak tahu lagi apakah aku harus bahagia atau malah sebaliknya.
Dengan d**a bertalu-talu, aku menunggu namaku dipanggil oleh dokter kandungan. Dan setelah aku menceritakan semuanya, dokter memintaku melakukan uji tespek. Hasilnya sungguh membuatku tercengang. Dua garis merah!
Selama bertahun-tahun aku dan Mas Gama menunggu momen ini terjadi. Dan kini setelah kami berpisah, aku malah hamil. Aku menahan tangisku di depan sang dokter.
"Selamat, Bu, Anda hamil. Kalau dihitung, ini sudah masuk minggu ke tiga belas. Sudah tiga bulan," ujar dokter itu. "Anda mungkin tidak menyadari bahwa Anda sedang hamil."
Yah, badanku lumayan berisi. Jadi, aku tidak menyadari perubahan dalam diriku. Aku hanya mengira ini telat haid biasa.
"Kita coba tes USG untuk melihat kondisi janinnya."
Aku mengangguk lemah. Dan kini, aku berbaring di atas ranjang sementara sang dokter memeriksaku. Ia tersenyum tipis lalu mengerutkan keningnya.
"Kenapa, Dok? Apa bayi saya ... saya beneran hamil, Dok?" Aku pasti memucat. Aku mendadak cemas dengan ekspresi dokter itu.
"Alhamdulillah, kondisi janinnya sangat baik, Bu. Saya hanya terkejut karena ternyata Ibu hamil bayi kembar," ujar dokter itu tersenyum.
Aku tak sanggup mengucapkan apa pun saat ini. Aku hamil. Dan aku hamil bayi kembar! Kembar, ya, Tuhan!
"Dokter jangan bercanda," ucapku lirih.
"Saya nggak bercanda. Ini ada dua kantong janinnya, Bu. Semuanya sehat dan lengkap," kata si dokter.
Air mataku tak tertahan lagi. Selama ini aku dianggap mandul, tapi ternyata aku bisa mengandung bayi kembar. Aku mengusap wajahku.
"Terima kasih, Dok. Saya sudah menunggu bayi ini selama lebih dari tiga tahun," ujarku terharu.
"Wah, selamat. Saya doakan semuanya lancar sampai persalinan nanti." Dokter itu lantas duduk di mejanya. "Saya tuliskan resep untuk vitamin."
Aku menunggu vitamin dengan tak sabar. Dadaku berdebar-debar ketika aku membuka kontak Mas Gama. Dia ayah dari bayi-bayi ini. Jadi, kupikir dia harus tahu—di berhak tahu.
Aku membuang napas panjang. Aku agak gemetar ketika mengetik di ponsel. Haruskah kuberi tahu dia? Ataukah kurahasiakan?
Tiba-tiba aku teringat dengan mertuaku juga yang sudah sangat mengharapkan cucu. Mereka menghinaku mandul, tapi nyatanya tidak. Mereka akan menyesal jika tahu aku hamil.
Aku memutuskan untuk mengirim saja pesan pada Mas Gama. Aku mengajaknya bertemu. Jika sikapnya baik, akan kuberi tahu. Namun, pesanku tidak terkirim. Apakah aku diblokir?
"Apa yang harus aku lakukan? Apakah anak-anak tak berdosa ini harus lahir tanpa tahu ayah mereka?" Aku mendadak sedih memikirkan masa depan mereka.
Tak ingin putus asa, aku memutuskan untuk mampir ke rumah Mas Gama usai mengambil vitamin. Toh, rumah iru tidak begitu jauh dari klinik. Aku memakai ojek dan sepanjang perjalanan aku penasaran bagaimana Mas Gama akan menyikapi kehamilanku.
Jika ia masih mencintaiku, ia tentu akan bahagia dan menyesal telah menceraikan aku. Mungkin kami bisa rujuk kembali. Mungkin. Aku menahan air mataku hingga aku tiba di depan rumahnya.
"Makasih, Pak." Aku melempar senyum pada driver ojolku.
Dan kini, aku dibuat kaget karena gerbang rumah Mas Gama terkunci rapat. Ada poster kecil yang ditempel di sana. RUMAH DIJUAL. Ya, Tuhan! Mas Gama telah pindah rumah?
"Bu Silvi nyari siapa?" tanya Bu Roro, tetangga rumah ini.
"Eh, Bu Roro. Ini ... Mas Gama pindah ke mana, ya, Bu? Apa Ibu tahu?" Aku menatapnya penuh harap.
Tetanggaku melipat kedua lengan di depan d**a. "Udah selingkuh dan diceraikan, sekarang masih berani pulang ke sini."
Aku menahan sakit hatiku atas ucapannya. Tampaknya kabar perpisahanku dengan Mas Gama telah menyebar kompleks perumahan. Bahkan mungkin isu perselingkuhanku juga.
"Maaf, Bu. Kalau nggak tahu, ya udah," ujarku yang tak ingin beradu mulut dengannya.
Wanita itu mendengkus. Aku hampir pergi, tapi ia mencekal lenganku.
"Pak Gama udah pindah ke luar negeri. Kemarin," ucapnya.
"Apa? Ibu nggak bohong?" Aku terkaget.
"Nggak. Saya nggak bohong. Pak Gama udah menikah lagi dua hari yang laludan langsung bawa istrinya ke luar negeri."
Bagai disambar petir di siang hari, aku ternganga. Mas Gama telah menikah? Secepat itu? Bahkan, baru seminggu sejak kami resmi bercerai.
"Makanya jangan selingkuh! Giliran ditinggal nikah, cuma bisa nangis." Bu Roro kembali meledekku.
"Saya nggak selingkuh!" teriakku.
Aku membalik badan, tak ingin mendengar omongan tak masuk akal itu. Kuusap air mataku. Kini, aku meneguhkan hati.
Aku akan pergi membawa benihnya. Aku tak akan membiarkan anak-anak ini bertemu dengan Mas Gama. Dia dan keluarganya sama sekali tidak berhak atas anak ini!