Aku pulang kembali ke Jogja malam itu juga sesuai dengan rencanaku. Bapak telah menungguku di depan stasiun. Aku menunduk, tak berani menatap Bapak. Ia pasti sangat sedih karena kini aku telah menjadi janda—aku belum mengatakan pada semua orang bahwa aku tengah hamil.
"Silvi, kamu pulang, Nak!" Bapakku merentangkan tangan untuk memelukku.
Aku mendekati Bapak lalu masuk ke pelukannya yang hangat. Bapak sudah tua, usianya hampir 60 tahun, tetapi Bapak masih giat bekerja di sawah dan beternak sapi.
"Pak, maafin Silvi," isakku. "Aku ... aku nggak bisa jadi anak yang kalian banggakan."
Bapak menggeleng lalu menepuk pundakku. "Kamu tidak perlu minta maaf. Kamu punya Bapak dan Ibu. Jadi, kamu selalu bisa pulang ke sini."
Aku mengangguk. Dengan khidmat, aku mencium punggung tangan Bapak yang berkeriput. Aku menahan tangisku. Aku harap, kedatangaku tidak menambah beban orang tuaku.
"Ayo pulang. Ibu udah nunggu kamu," kata Bapak.
"Ya. Bapak udah makan?" tanyaku.
"Ibumu udah nyiapin makan buat kita, tenang aja. Ibu masak dari Subuh tadi," ujar Bapak tersenyum.
Aku tertawa dengan air mata yang akhirnya tumpah. Aku sangat merindukan Ibu dan masakannya. "Alhamdulillah, aku udah laper dan pengen makan masakan Ibu."
Dengan motor, Bapak membawaku pulang. Rumah kami di agak jauh dari pusat kota Jogja. Jadi kami harus berkendara selama satu jam lebih, apalagi Bapak melajukan motor dengan perlahan.
"Alhamdulillah, udah sampai, Sil." Bapak menghentikan motornya di depan rumah.
Aku turun dari motor dengan hati berdebar. Kutatap rumah tempat aku dibesarkan sambil menahan tangisku pecah. Akhirnya, aku pulang. Aku selalu berharap bisa pulang dengan penuh kerinduan dan kebahagiaan, tetapi kini aku pulang membawa duka.
"Silvi!" Ibuku berteriak dari teras rumah. Tergopoh-gopoh, ia berlari mendekatiku.
Aku menyambut Ibu dengan pelukan. Tangisku tumpah seketika. "Bu, maafin Silvi."
Ibu mengusap wajahku. "Kamu jangan minta maaf. Bukan salah kamu." Ia memelukku sekali lagi. "Ayo masuk. Tas kamu biar dibawa Bapak."
Aku mengangguk. Kutolehkan kepalaku untuk melihat Bapak yang sedang menurunkan tas dari motor.
"Ibu masak pecel, kamu suka, kan? Ada tempe goreng juga sama ayam bacem. Kamu makan dulu. Pasti kamu udah laper abis perjalanan jauh," kata Ibu.
Aku digiring ibuku ke ruang tamu yang telah disulap menjadi ruang makan. Hanya ada tikar di ruangan ini. Dan aneka makanan telah terhidang di atasnya.
"Makasih, Bu. Kenapa masak banyak banget?" tanyaku seraya duduk.
"Desi mau ke sini nanti. Dia tahu kamu pulang, jadi sekalian aja masak buat mbakmu itu," jawab Ibu. Ia mengambilkan piring untukku lalu mengisinya dengan nasi.
"Mbak Desi tahu aku pulang karena cerai, Bu?" Aku bertanya dengan gugup. Aku dan kakakku tidak begitu akur. Dulu, Mbak Desi selalu iri denganku. Apalagi aku dilamar lebih dulu oleh Mas Gama. Ia menjadi lebih sensitif padaku.
"Iya. Ibu sudah cerita," jawab Ibu.
Aku hanya mengangguk pelan. Aku mungkin akan menerima hinaan lagi dan kali ini dari kakakku sendiri.
"Jadi sebenarnya kenapa kamu bisa dicerai, Sil?" Bapak yang bertanya. Selama ini aku memang belum menceritakan detail perceraian kami.
Jadi, pagi itu aku akhirnya jujur pada mereka. Tentu saja, keduanya tampak marah dan tak terima.
"Andai aja Bapak dekat sama rumah mereka, Bapak pasti akan membela kamu, Sil. Anak Bapak nggak mungkin berselingkuh, astaghfirullah." Kulihat Bapak mengusap dadanya. Kedua mata Bapak memerah lantaran marah.
Aku mengangguk dengan air mata tertahan. Ibu meremas tanganku erat, mungkin Ibu tak mampu berkata-kata saat ini. "Aku bersumpah demi Allah, Pak, Bu, aku sama sekali nggak selingkuh."
"Kami percaya sama kamu," ujar Bapak. "Gama yang kurang ajar menuduh kamu! Dia bahkan menceraikan kamu begitu aja! Pengecut! Dulu kamu dinikahi, diboyong ke sana dan sekarang apa? Harusnya dia mengembalikan kamu baik-baik."
Ibuku terlihat begitu pilu. Ia membuang napas panjang. "Kamu nggak beneran mandul, kan? Kamu bilang kamu udah ke dokter. Hasilnya kamu sehat, kan?"
Aku menelan keras. Dengan kedua tangan terkepal, aku mengangguk. "Bu, sebenarnya ... aku sama sekali nggak mandul. Setelah resmi cerai, aku ... ternyata aku hamil, Bu."
Ibuku menatap dengan ekspresi kaget sementara Bapak agak terlihat bingung.
"Hamil? Gimana maksud kamu, Sil?" tanya Bapak.
Ibu mengguncang bahuku. "Jadi ... sekarang kamu hamil?"
Aku mengangguk pelan. "Maaf, Bu. Aku ...."
"Silvi hamil?" Terdengar suara Mbak Desi dari arah pintu depan.
Kami semua menoleh. Ibuku bergerak cepat mengusap air mata sementara aku menggigit bibir. Mbak Desi masih menatapku tak percaya.
"Aku nggak salah dengar? Kamu hamil setelah diceraikan, Sil?" Mbak Desi bertanya lagi padaku.
"Iya, Mbak. Aku nggak tahu kalau aku lagi mengandung," jawabku.
Mbak Desi tersenyum sinis. Ia duduk di tikar bersama kami lalu menatap perutku yang tertutup blus besar. "Kamu beneran hamil sama Gama? Jangan-jangan, kamu diceraikan gara-gara kamu hamil sama pria lain."
"Jangan ngawur, Mbak!" gertakku.
"Des, kamu ini jangan asal bicara. Baru datang, kok, malah ngajak ribut," tegur Bapak.
Mbak Desi berdecak jengkel. "Bapak ini, aku 'kan cuma nanya. Lagian ... hamil sama Gama atau sama yang lain pun sama aja jadi beban."
"Maksud Mbak apa?" Aku melotot pada kakakku.
Mbak Desi membuang napas panjang. "Kamu nggak punya suami, tapi kamu hamil. Apa kata tetangga? Dulu, kamu dengan bangganya nikah sama orang ibu kota. Sekarang apa? Kamu diceraikan dan hamil tanpa suami."
"Desi!" seru Ibu. Ia menggeleng pada Mbak Desi lalu menepuk bahuku. "Silvi ini baru kesusahan. Kamu jangan bicara kayak gitu. Kamu harusnya tahu, sekarang Silvi sedang menanggung beban besar. Kamu ini, empati dikit sama adek kamu!"
"Aku cuma bicara fakta, Bu. Orang-orang bakal bicara nantinya," ucap Mbak Desi.
Aku tahu itu pasti akan terjadi. Kehamilan tanpa suami pasti akan menjadi bahan gunjingan yang empuk di kampung seperti ini. Tidak semua orang akan percaya bahwa aku mengandung bayi mantan suamiku. Apalagi aku baru saja bercerai.
"Kamu tenang aja, Sil, Bapak sama ibumu bakal dukung kamu," kata Bapak.
Aku menoleh pada Bapak dengan tatapan haru. "Makasih, Pak."
"Kamu nggak perlu dengerin omongan tetangga dan semua orang. Kamu jangan stres, itu nggak baik buat kandungan kamu," imbuh ibuku.
"Ya. Aku pasti berusaha biar nggak jadi beban kalian, Pak, Bu," kataku. Walaupun aku sendiri sekarang, aku bersyukur masih ada ayah dan ibuku. "Aku punya rencana usaha. Aku ada sedikit tabungan. Jadi, kalian tenang aja."
"Kamu mau kerja apa hamil gitu?" ledek Mbak Desi.
"Aku mau coba buat kue lagi," ujarku. Dulu, aku lulusan SMK jurusan tata boga. Aku pandai membuat kue. Dan sekarang, aku akan memanfaatkan keahlianku dulu.
Bapak dan Ibu bertatapan. Mereka mengangguk padaku. "Nanti Ibu bantu-bantu jualin di warung tetangga. Kamu jangan terlalu lelah, jaga kandungan kamu."
"Makasih, Bu. Ini udah tiga bulan lebih ternyata. Alhamdulillah aku nggak terlalu mual-mual, mereka baik dan pengertian."
"Mereka?" Ibu dan Mbak Desi sama-sama kaget.
"Ya. Aku hamil anak kembar," jawabku gugup. Ibuku terlihat cemas sementara Mbak Desi masih terkejut. Bapak memberi senyum haru padaku. Aku tahu, ini berarti aku harus berjuang dengan lebih keras. Aku harus mempersiapkan persalinan yang mungkin tidak bisa dijalani dengan prosedur normal. Aku juga butuh baju-baju bayi dan persiapan tasyakuran.
Jadi, aku tak ingin lemah. Walaupun aku harus berjuang sendiri, aku harus mampu. Dengan air mata berderai, aku menatap keluargaku satu per satu. "Aku minta doa dan dukungan kalian semua. Semoga aku kuat dan bisa menjalani hidup aku yang baru."