"Apa maksud kamu, Mas?" tanyaku pada Mas Gama, pria yang telah menjadi suamiku selama hampir 3,5 tahun. Aku begitu terkejut ketika ia mengucapkan kata talak padaku.
"Kamu nggak dengar?" Mas Gama balas bertanya kepadaku. "Aku mau kita bercerai, Sil. Aku nggak mau punya istri yang selingkuh."
Kembali, aku dibuat terperangah. Selingkuh? Apa-apaan itu? "Kamu salah paham, Mas. Aku nggak mungkin selingkuh dari kamu."
Mas Gama menggeleng. Ia terlihat gusar sekali. Tangannya bergerak dari kening ke belakang kepala. "Kamu menyangkal? Hah?"
Mas Gama melemparkan beberapa lembar foto ke arahku—tepat di wajahku! Aku menunduk ketika kembaran demi lembaran foto itu berjatuhan ke lantai. Kedua mataku memanas. Ini tidak benar!
"Mas, ini Pak Suseno. Dia juragan di toko tempat aku kerja. Kami ... kami nggak ngapa-ngapain," kataku. Aku menggeleng. Kuambil foto itu lalu kutunjukkan pada Mas Gama. "Kami hanya makan siang bersama dan itu nggak berdua." Aku mencoba menjelaskan, tetapi wajah suamiku masih sangat mengeras.
"Kamu bohong! Kamu pergi ke hotel dengan Pak Suseno!" Mas Gama menunjuk ke wajahku. "Aku nggak nyangka, Sil, ternyata kamu mendua. Kamu sering berduaan sama Pak Suseno! Aku tahu itu."
"Mas, itu nggak benar," isakku. "Dengerin penjelasan aku. Aku mohon, jangan kayak hini."
Kuraih tangan suamiku, tetapi ia dengan kasar menyentakku.
"Aku udah menjatuhkan talak ke kamu, Sil! Jadi, jangan sentuh aku dengan tangan kotor kamu itu!"
Kata-kata Mas Gama sungguh menyakiti hatiku. Demi Tuhan! Aku sama sekali tidak berselingkuh. Entah apa yang dipikirkan suamiku saat ini, semuanya jelas tidak benar.
"Mas, aku cinta kamu. Aku nggak mau cerai karena aku emang nggak selingkuh," ujarku.
Mas Gama terlihat membuka mulut, tetapi ibu mertuaku lebih dulu masuk ke kamar kami. Sama seperti Mas Gama, Mama terlihat begitu marah.
"Kamu udah ceraikan istri kamu, Gama?" tanya Mama. Ia menatap ke arahku dengan ekspresi mencemooh.
Mas Gama mengangguk. Aku yakin, ada gurat kesedihan di wajahnya. Aku sungguh berharap ini hanya mimpi. Aku diceraikan karena fitnah.
"Dasar menantu nggak tahu diri!" gertak Mama.
"Aku nggak selingkuh, Ma. Aku bersumpah. Demi Allah!" seruku.
Mama tertawa mencela. Ia mengambil salah satu foto dan mengacungkannya di depan wajahku. "Jangan bawa-bawa Allah, Silvi. Kamu emang nggak bisa dipercaya!"
Aku menggeleng. Mertuaku memang tidak suka padaku sejak awal menikah. Sudah banyak hal yang membuat aku disisihkan di keluarga ini. Itu semua karena aku berasal dari keluarga miskin sedangkan keluarga Mas Gama adalah orang kaya.
"Ma, itu fitnah. Kami nggak berduaan," ujarku membela diri.
"Alah! Kamu ini emang sok kecantikan. Dulu, kamu goda Gama sampai akhirnya mau menikah dengan kamu. Sekarang? Kamu ngerasa Gama nggak cukup dan mau goda bos kamu yang jauh lebih kaya?" Mama melotot padaku.
Aku mengalihkan tatapan pada Mas Gama. Dulu, Mas Gama masih sering membelaku di awal pernikahan. Namun, lambat laun Mas Gama lebih sering memihak ibunya. Itu memang menyakitkan. Apalagi saat ini. Aku dituduh oleh dua orang. Astaghfirullah. Dadaku begitu sesak.
"Aku bukan wanita yang gila harta, Ma," ucapku. Aku mengusap pipi. "Mas, aku mau kita bicara berdua. Aku mohon."
"Buat apa, Sil?" tanya Mas Gama. "Aku udah menceraikan kamu. Kita ketemu di pengadilan nanti! Sekarang ... lebih baik kamu pergi dari sini!"
Aku semakin terkejut. Aku tak hanya ditalak, tetapi aku langsung diusir. Ya, Tuhan! Entah apa dosaku?
"Kamu tega, Mas?" seruku.
"Kenapa harus nggak tega?" Mama kembali ambil suara. Aku bersumpah, aku baru saja melihat Mama tersenyum miring. Aku yakin, dia pasti adalah dalang di balik semua ini. "Kamu udah diceraikan, Sil. Kamu bukan istri Gama lagi. Kamu emang menantu nggak berguna. Kamu selingkuh dan kamu mandul!"
Astaghfirullah. Aku sontak mengusap dadaku. Memang, sudah cukup lama kami menikah dan kami belum dikaruniai anak. Air mataku semakin menganak sungai. Dari semua hal, aku paling terluka jika dikatai mandul. Aku sudah pernah ke dokter bersama Mas Gama dan kami dinyatakan subur. Mungkin, memang belum rejeki kami untuk memiliki momongan.
"Kenapa kamu nangis?" bentak Mama. Ia mendorong bahuku hingga aku mundur dia langkah. "Itu benar, kan? Kamu nggak bisa kasih Gama anak! Kamu nggak berguna, kamu mandul!"
Aku menggeleng lalu menoleh sedikit pada Mas Gama. Ia juga menatap ke arahku. Namun, tatapannya tidak lembut. Ia langsung berpaling dan mendekati lemari.
"Kamu harus pergi dari sini," kata Mas Gama.
Tanpa kuduga, Mas Gama mengeluarkan baju-bajuku dari lemari. Ia memasukkan ke dalam koper dengan cepat.
"Mas!" teriakku. "Kamu beneran mau mengusir aku?"
Mas Gama tak menjawab. Dan aku memang tak butuh jawaban lagi. Toh, dia sudah memasukkan barang-barangku ke sana termasuk berkas pribadiku.
"Ya, Allah, Mas. Aku harap kamu nggak akan menyesali apa yang kamu ucapkan malam ini," ujarku ketika Mas Gama selesai mengemas barang.
Mas Gama membuang napas panjang. Ia menatapku lurus. Entah di mana suamiku yang dulu selalu memberiku tatapan lembut nan memuja. Aku tak bisa melihat sosok yang begitu mencintai dan menjagaku.
Saat ini aku menangis, tetapi ia dengan wajah datar langsung membuka dompetnya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang lalu meletakkannya di atas telapak tanganku.
"Pakai ini buat ongkos."
Aku menggeleng, tak ingin menerima uangnya. "Aku pikir, kamu akan selalu ada di sisi aku, Mas. Seperti yang kamu janjikan untuk aku dulu. Tapi apa yang kamu lakukan?"
"Kamu harus ngaca, Sil. Kamu yang mengkhianati aku!" gertak Mas Gama.
"Oke. Kalau itu yang Mas percayai, aku nggak akan capek-capek jelasin lagi. Yang jelas, jangan menyesal suatu hari nanti," kataku setegar mungkin. Padahal, kedua kakiku goyah. Bibirku goyah dan hatiku remuk redam.
"Aku nggak akan menyesal, Sil. Mama benar. Kamu nggak berguna buat aku. Kita udah nikah lama dan kamu belum juga mengandung," kata Mas Gama.
Aku mengangguk. Aku mulai paham. Inilah permasalahannya. Aku yakin fitnah ini dilakukan karena memang aku tak dianggap kompeten sebagai menantu dan istri.
Aku mengusap pipiku. "Mas tahu, aku nggak mandul. Dan aku juga nggak selingkuh. Semua ini fitnah, Mas."
Mas Gama bergeming bahkan ketika aku mengambil koper yang telah ia siapkan dariku. Dulu, kami saling mengenal ketika ia kuliah di Jogja, kota asalku. Setelah kami menikah, aku diboyong ke Jakarta. Dan kini, aku tak punya tujuan.
Aku melemparkan uang yang tadi ia berikan. Nafkah terakhir darinya. Aku tak akan terima.
"Suatu hari kalau kita ditakdirkan bertemu lagi, aku harap kamu menyesali semuanya, Mas. Tapi aku lebih senang jika kita nggak perlu ketemu lagi!"
"Jangan sombong kamu!" seru Mama. Tidak, dia bukan ibu mertuaku lagi. Aku tak akan memanggilnya mama lagi.
"Mungkin, Ibu puas memisahkan aku dengan Mas Gama, tapi ... suatu hari fitnah itu akan terbukti tidak benar," balasku.
Aku menatap Mas Gama untuk yang terakhir kalinya. Hatiku semakin hancur ketika ia tidak memanggilku. Ia memang ingin aku pergi. Baiklah.
Aku menguatkan hati dan tungkaiku ketika aku melangkah keluar dari kamar ini, kamar tempatku memadu kasih dengan Mas Gama. Dan aku bertekad untuk tak akan mengingat semuanya lagi.