Bab 11. Mas Gama Ingin Kembali

1307 Kata
POV Silvi Aku benar-benar tidak percaya Mas Gama melakukan ini. Kutarik lengan Tara lalu aku menggeleng pada mantan suamiku. Aku sangat marah karena Mas Gama mendadak muncul dan seenaknya menyebut diri sendiri sebagai seorang papa. "Tania, Tara, kalian masuk mobil dulu. Ibu mau bicara sama om ini," kataku pada mereka. Beruntung kami ada di dekat mobil. Aku langsung menggandeng mereka ke mobil. "Tapi, Buk ... kata om itu ... om itu papa," kata Tara dengan nada penasaran. Ia menolehkan kepalanya pada Mas Gama. "Nanti Ibu jelasin. Ibu mohon," kataku penuh harap. Aku membuka pintu mobil lalu memasukkan mereka satu persatu. "Buk ... om tadi bukan papa Tania?" Tania ikut-ikutan bertanya. Kepalaku serasa mau meledak. Aku hendak bercerita pada mereka, tetapi semalam mereka tidur dengan cepat dan aku belum memiliki kesempatan untuk bicara dengan mereka. Aku jadi merasa bersalah atas pertemuan tak terduga ini. Ya, Tuhan! "Maaf, Ibu ... nanti kita bicara, Sayang. Biar Ibu temui om itu dulu bentar." Aku melihat si kembar mengangguk lalu kututup pintu. "Silvi," panggil Mas Gama. Aku menggeleng padanya. Aku tak menyangka ia akan menemukanku dalam waktu sesingkat ini. Aku belum mempersiapkan diriku, aku belum menjelaskan semuanya pada di kembar. "Kenapa Mas tiba-tiba muncul kayak gini?" sungutku pada Mas Gama. "Mas nggak mikir gimana perasaan mereka? Mas nggak mikir gimana jadinya kalau mereka bingung? Hah?" Aku sangat ingin melampiaskan kemarahanku, tetapi kami masih berada di lingkungan sekolah. Aku membuang napas panjang. Aku harus tenang. Aku benar-benar harus tenang. "Aku minta maaf. Aku nggak sabar mau ketemu mereka. Apa mereka ... mereka nggak tahu siapa aku, Sil?" tanyanya. Pertanyaan bodoh macam apa itu? Aku hanya bisa mendengkus keras. Bagaimana mereka bisa tahu kalau Mas Gama tidak pernah hadir dalam kehidupan mereka? "Aku nggak mau bicara di sini, Mas," ujarku. "Oke, kita cari tempat," sahut Mas Gama. "Kamu tinggal di mana, Sil?" Aku membuang napas panjang. Aku tak akan membawa Mas Gama ke rumah. "Ikuti mobil aku." Aku segera masuk ke mobil dan Mas Gama—kulirik ia dari kaca spion—melakukan hal yang sama. Aku tersenyum pada si kembar yang sedang berceloteh di belakang. "Kita mampir beli es krim bentar, ya, Sayang," ujarku. "Asyiiik!" seru Tania. Tara menatapku bingung. "Sama om itu?" Aku mengangguk. "Ibu mau bicara sama om itu, jadi nanti kalian makan es krim dan main berdua, ya." Duo Tata mengangguk. Aku membuang napas panjang, agak lega karena mereka bisa cukup mengerti. Hatiku semakin tak keruan selagi mobilku melaju. Aku sangat cemas bagaimana reaksi si kembar jika tahu ayah mereka datang. Mereka mungkin senang, tetapi mereka pasti akan bingung. Astaga, andai aku memberitahu mereka lebih cepat. Air mataku menggenang, tetapi aku mencoba untuk tetap tenang. Pertemuan ini sama sekali tak terduga. Aku tak pernah tahu Mas Gama akan muncul seperti ini, ya, Tuhan! Aku ingat obrolanku dengan Mas Ibra kemarin. Tidak masalah menjaga hubungan anak-anak dengan ayah mereka. Kami memiliki kehidupan sendiri-sendiri. Mas Gama telah menikah dan aku akan segera menikah juga. "Holee. Kita makan es kim," kata Tania saat mobilku berhenti di depan kedai es krim. Aku mengangguk. Ada rasa waswas yang mengisi hatiku. Bagaimana tidak, istri Mas Gama terlihat tidak menyukai kami kemarin. Aku hanya berharap Mas Gama menemui kami setelah bicara dengan istrinya. Aku sungguh tidak ingin ada masalah. Mas Gama mendekat begitu kami turun dari mobil. Aku masih bersikap posesif pada si kembar dan tak membiarkan mereka didekati Mas Gama. "Kalian duduk di situ, Ibu pesen es krim dulu." Aku meminta si kembar duduk di sudut yang nyaman dan ada di dekat playground. "Mas duduk di sana," kataku pada Mas Gama sembari menunjuk ke tempat duduk yang agak jauh. Tatapannya tertuju pada si kembar. Entah ia ingin menangis atau tak sabar ingin memeluk mereka, aku belum ikhlas. "Plis. Kita bicara dulu." "Oke." Aku memesan es krim dan minuman untukku dan Mas Gama setelah semua terkondisikan. Kuantar es krim si kembar dan memastikan mereka aman di kursi sebelahku. "Apa istri Mas tahu kalau Mas ke sini?" tanyaku begitu aku duduk. Mas Gama terlihat menelan saliva. Aku yakin ia tidak bersepakat dengan istrinya. "Kamu tenang aja. Masalah itu bisa aku tangani. Sekarang jelasin sama aku, kenapa kamu nggak pernah ngasih tahu soal anak-anak, Sil! Tega kamu!" Kedua mataku sontak melotot. "Apa? Tega?" Aku tertawa mencela padanya. "Apa nggak kebalik, Mas?" "Kebalik?" Ia mengepalkan tangannya yang ada di atas meja. "Kamu diam-diam hamil dan melahirkan mereka. Aku nggak pernah kamu kasih tahu!" Playing victim! Batinku meronta. "Dulu, Mas yang ingin kita bercerai. Dan setelah bercerai, apa yang yang Mas lakukan? Mas menikah lagi lalu pergi tanpa pamit. Nomor aku Mas blokir. Pasti Mas sengaja ngelakuin itu karena Mas udah nggak peduli sama aku!" Raut wajah Mas Gama berubah. Ia menggeleng pelan. "Semua itu rencana Mama." Sudah kuduga, tetapi aku tak akan terpengaruh dengan ucapannya. "Mama yang mau kita cerai, Sil. Aku ... aku nggak pernah lupain kamu selama ini. Aku dipaksa menikah sama Lina setelah itu. Aku nggak cinta sama Lina. Semua itu demi perusahaan dan ... demi memiliki keturunan. Aku nggak pernah tahu kamu hamil. Apa kamu hamil sebelum kita bercerai, Sil? Kamu harusnya bilang sama aku! Semuanya akan berbeda andai saja kamu cerita." Aku tercengang dengan ucapannya. Namun, yah, Mas Gama selalu berat pada ibunya. "Aku baru tahu kalau aku hamil setelah kita resmi cerai, Mas. Aku datang ke rumah kamu, tapi kamu udah pergi ke luar negeri dan udah nikah lagi." Mas Gama mengusap wajahnya kasar. Ia menoleh pada si kembar yang baru saja terkikik dan makan es krim dengan belepotan. "Kita punya anak kembar, Sil ... aku nggak pernah tahu. Aku ... aku minta maaf. Bolehkah aku ...." Aku menggeleng cepat. "Mas nggak pernah hadir di kehidupan mereka. Sedetik pun nggak pernah!" Aku menahan ucapanku meninggi dan mengeras. Mas Gama tampak terpukul dengan ucapanku, tapi aku hanya bicara fakta. Aku meneguk minuman dinginku, berharap itu bisa mencairkan hatiku yang panas. "Itu karena aku nggak tahu, Sil. Andai aja kamu ... andai aja aku tahu lebih awal, aku nggak mungkin mengabaikan mereka ... dan kamu. Kita mungkin masih bisa bersatu dan hidup bahagia," katanya dengan mata basah. Oh, aku tak akan terbujuk dengan air mata buayanya! "Aku nggak pernah kasih tahu siapa ayah mereka. Aku tahu itu egois, tapi ... hati aku terlalu sakit, Mas." "Maafin aku, Sil. Aku janj—" "Jangan janji apa pun, Mas!" potongku. Aku menggeleng. "Aku cuma mau hidup tenang. Sekarang, kamu udah tahu mereka baik-baik aja dan sehat dan ... kami berkecukupan. Jadi, tolong, jangan meminta lebih." "Aku juga harus punya kesempatan untuk bersama mereka, Sil. Mereka darah daging aku!" Mas Gama mulai marah. "Aku butuh waktu. Aku harus jelaskan semuanya ke mereka dulu. Jangan datang seenaknya dan bikin mereka bingung, Mas. Mereka baru 6 tahun." Aku mengusap ujung mataku yang basah. "Mereka anakku," ulang Mas Gama. "Aku pasti tanggung jawab, Sil. Aku ... aku bisa perbaiki semuanya. Demi kamu dan demi mereka." Aku menyipitkan mataku. "Maksud Mas apa?" "Aku nggak bisa biarin kamu merawat mereka sendiri, Sil. Kita bisa kembali seperti dulu lagi," ucap Mas Gama. Aku menatapnya geli—hampir jijik andai boleh jujur. "Mas punya istri." Ia membuang napas panjang dengan bosan. "Kamu udah dengar tadi, aku nggak cinta sama Lina. Dia cuma ... aku terpaksa menikah dengan Lina. Aku cuma cinta sama kamu dan kita punya anak-anak, Sil. Kita bisa hidup seperti dulu lagi. Aku mohon, aku nggak mau kehilangan kalian lagi." Aku menggeleng. "Jangan konyol, Mas. Itu nggak mungkin terjadi. Aku mau bicara sama Mas karena aku ingin anak-anakku punya hubungan yang baik dengan ayah kandungnya, tapi ... Mas mau apa?" "Kita bisa menikah lagi, Sil." Mas Gama menatapku dengan eskpresi serius. "Bukannya selama ini kamu belum menjalin hubungan baru. Jangan bohong, Sil, kamu masih cinta sama aku, kan?" "Jangan ngawur!" sentakku. Aku memamerkan cincin di jari manisku. Wajah Mas Gama langsung memucat. "Aku akan segera menikah. Jadi, nggak usah ngaco lagi, Mas!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN