POV Gama
Pagi harinya, aku sudah bertekad penuh untuk mencari tahu di mana Silvi tinggal bersama anak-anakku. Aku harus menutupi semua ini dari Lina, sebab ia masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa ternyata aku masih memiliki 'hubungan' dengan Silvi.
Setelah aku tiba di kantor aku langsung bicara dengan Tanto. Ia adalah asisten sekaligus tangan kananku. "To, kamu cari tahu secepatnya tentang wanita ini. Laporkan sama saya segera!"
Tanto menerima lembaran foto Silvi dariku. Aku masih menyimpan foto lama Silvi di file rahasiaku di laptop. Lina tak pernah membuka laptopku, jadi itu aman.
"Wanita ini ... bukannya Bu Silvi?" tanya Tanto terkejut. "Kenapa tiba-tiba Anda mencari beliau?"
Aku mengangguk. Tanto telah lama bekerja denganku. Jadi, ia tahu pasti siapa Silvi. "Dia ada di Jogja, To. Dan ternyata ... dia melahirkan anakku diam-diam."
"Apa? Bukannya dulu Anda bilang kalau Bu Silvi tidak bisa punya anak?" tanya Tanto.
Aku menggeleng. Aku salah. Gara-gara aku lebih mempercayai ibuku, aku malah mengusir Silvi 6,5 tahun lalu. Aku juga menghina Silvi mandul. Padahal, kami berdua pernah melakukan tes kesuburan dan hasilnya ia sama sekali tidak mandul.
Silvi melahirkan anak-anakku, jelas ia tidak mungkin berselingkuh. Ia sedang hamil ketika itu. Apakah ia sengaja tidak memberitahuku?
"Aku salah menilai Silvi, To. Kamu tahu, dia melahirkan anak kembar. Laki-laki dan perempuan. Dan keduanya mirip sekali denganku," ujarku sedih.
"Astaghfirullah," desis Tanto seraya mengusap dadanya.
Aku mengusap kepala ke belakang hingga tengkuk. Aku tak bisa tidur semalaman. Aku sudah memikirkan banyak hal mulai dari ucapan ibuku yang mengatakan bahwa Silvi berselingkuh. Andai saja aku tak menelan mentah-mentah semua ucapan ibuku. Andai aku percaya pada Silvi.
"Makanya, tolong cari di mana Silvi dan cari sekolah anak-anakku. Namanya Tara dan Tania. Aku yakin Silvi udah lama tinggal di Jogja. Keluarganya berasal dari Jogja. Aku masih ingat alamat orang tua Silvi," kataku seraya menyodorkan selembar kertas lagi pada Tanto.
Tanto mengambil kertas itu lalu mengangguk tanpa bertanya lagi. "Saya akan segera memberi kabar pada Anda."
***
Berbekal alamat dan foto Silvi, Tanto tampaknya tidak kesulitan menemukan kabar mengenai Silvi. Ia kembali sebelum waktu makan siang. Aku sudah tidak sabar untuk mendengarkan laporannya.
"Kamu udah dapat informasi mengenai mantan istri aku?" tanyaku.
Tanto mengangguk hormat. "Ya, Tuan. Bu Silvi sekarang memiliki usaha toko kue dan cake."
Kedua mataku membola. Yah, Silvi dulu suka sekali membuat kue dan aneka roti. Ia pernah berkata ingin mencoba jualan, tetapi aku melarangnya karena takut ia akan kecapekan.
"Lalu? Di mana itu?" tanyaku.
"Tata Cake and Bakery, nggak jauh dari sini, Tuan. Sekitar dua kilometer saja," jawab Tanto.
Takdir yang lucu! Silvi begitu dekat denganku selama ini? Kedua mataku bergetar. "Namanya Tata?"
"Ya, tampaknya itu adalah nama gabungan anak-anak Bu Silvi," jawab Tanto. "Tania dan Tara."
Aku hampir menangis, mereka anak-anakku juga. "Sekolah si kembar, kamu udah tahu?"
"Ya. Mereka sekolah di TKIT Nusa Indah, Tuan."
Aku mengangguk. Kuambil ponselku untuk mencari lokasi mereka. Pertama, aku mencari toko Silvi dan memang lokasinya tidak terlalu jauh.
"Makasih, Tan. Aku mau ketemu mereka sekarang," ujarku seraya berdiri. Aku mengambil kunci mobil di laci, kemudian aku teringat sesuatu. "Apa kamu tahu Silvi telah menikah lagi atau belum?"
Tanto menggeleng canggung. "Bu Silvi tidak pernah menikah lagi setelah bercerai dengan Anda, Tuan."
Aku merasa lega, entah karena apa. Namun, dulu Silvi sangat mencintaiku. Silvi mungkin tidak bisa melupakan aku. Ah, andai saja aku menyadari itu sejak dulu. Aku menyesal. Bisakah aku memperbaiki semuanya dari awal? Bisakah Silvi memaafkan aku?
"Ya udah, aku tinggal bentar. Tolong kamu handle kerjaan aku," kataku pada Tanto sebelum meninggalkan kantor.
Dengan mobil, aku pun melaju menuju Tata Cake and Bakery. Toko itu besar dan ramai. Aku tersenyum haru, Silvi pasti telah bekerja keras untuk mencapai semua ini. Aku tahu keluarga Silvi bukan orang kaya. Dan ini luar biasa. Silvi telah menjelma menjadi wanita sukses.
Aku turun dari mobil. Dengan hati penasaran, aku pun masuk ke toko. Aroma kue yang sedap menguar di hidungku.
"Selamat datang! Silakan dipilih kuenya, Pak!" kata pramusaji yang ada di balik etalase.
Aku mengangguk. Aku menunjuk beberapa roti dan kue basah yang ada di etalase. Dan wanita pramusaji itu dengan penuh senyuman langsung membungkus semuanya ke dalam boks.
Aku mengedarkan mataku. Kucari di mana Silvi, tetapi mungkin ia tidak di sini. Ia pasti ada di kantornya.
"Ini masih ada lagi, Pak?" tanya wanita itu.
Aku menggeleng. "Maaf, apa bisa saya bertemu Bu Silvi?"
Wanita itu mengerutkan kening. "Ehm, untuk apa, Pak? Bu Silvi ada di atas."
Aku meneguk saliva. Silvi ada di sini! "Ehm, mau pesan. Untuk acara." Aku mengarang saja.
"Oh, kalau itu bisa langsung hubungi nomor ini, Pak. Ada diskon untuk pemesanan di atas 100 pieces." Wanita itu menyodorkan kartu nama padaku. Dan jelas itu bukan nomor Silvi.
"Ya, makasih." Aku mengangguk. Aku membayar roti yang aku beli itu lalu dengan berat hati, aku pun melangkah keluar dari toko. Aku duduk di balik kemudi. Aku membeli puluhan roti hanya untuk bertemu Silvi. Dan ia tak bisa aku temui.
Aku menunggu selama beberapa saat. Aku masih harus menemui anak-anakku yang mungkin masih di sekolah. Apa lebih baik aku segera ke sana. Namun, bisakah aku menemui mereka? Sekolah itu pasti ketat dan para guru tak akan membiarkan mereka dijemput oleh pria asing. Yah, sekarang aku hanyalah pria asing bagi si kembar.
Aku jadi penasaran, apakah Silvi menceritakan soal aku pada anak-anak? Silvi wanita baik, ia tak menikah lagi. Pasti Silvi masih mengingatku dan Silvi pasti menceritakan aku pada mereka.
"Itu Silvi." Aku terkesiap ketika melihat sosok cantik keluar dari toko kue. Dan wanita itu berjalan menuju mobil. Silvi mungkin akan menjemput si kembar. Ini saatnya aku menemui mereka sekaligus, pikirku.
Aku memacu mobilku perlahan di belakang mobil Silvi. Benar saja, ia melaju menuju jalan ke sekolah si kembar. Aku berdebar, apakah aku bisa menemui mereka? Astaga! Aku tak sabar!
Mobil Silvi berhenti di dekat gerbang sekolah. Ia lantas keluar dan bicara dengan beberapa guru yang mengantarkan kepulangan para murid di luar gerbang.
"Ibuukk!"
"Ibuukk, kangen, Ibuk!"
Kudengar dua suara berbeda dari arah gerbang. Aku segera keluar dari mobil. Silvi tengah menggandeng tangan keduanya menuju mobil sambil mendengarkan celoteh si kembar yang sesekali sambil tertawa. Aku mempercepat langkahku.
"Silvi!"
Kulihat punggung Silvi menegang. Ia berhenti melangkah, begitu juga dengan si kembar yang langsung menoleh padaku. Tara dengan ekspresi tajam sementara Tania terlihat penasaran.
"Silvi, aku mohon, ayo kita bicara," kataku penuh harap. Aku menurunkan pandangan pada si kembar yang masih berada di gandengan Silvi.
Silvi memutar badan dengan perlahan. Bisa kulihat kilatan penuh amarah di wajahnya. "Aku udah bilang, jangan ganggu aku lagi, Mas."
"Om ini siapa, Ma?" tanya Tara.
"Ini Om yang kemalin ngasih boneka Tania, kan?" Tania terlihat menarik-narik tangan Silvi.
"Om kenapa ke sini?" Tara bertanya lagi.
Silvi membuang napas panjang. Ia mendorong si kembar ke belakang tubuhnya. "Mas, plis, aku udah hidup tenang sampai sekarang. Jadi, Mas nggak usah datang lagi."
"Kenapa?" protesku marah. Aku melangkah ke samping dan bertemu tatap dengan si kembar. Mata bulat mereka yang terang membuatku sangat ingin memeluk mereka. "Aku punya hak untuk bertemu kamu dan anak-anak kita!"
"Jangan bicara sembarangan!" Silvi mendorong dadaku perlahan. Ia menoleh ke kanan-kiri seolah takut ada yang mendengar ucapanku.
"Kamu jangan menghindar lagi, Sil. Emang bener Tania dan Tara adalah anak aku." Aku berlutut di depan si kembar tanpa mempedulikan amarah Silvi. "Ini Papa, Nak. Ini Papa!"
"Mas, astaga," desis Silvi.
Aku tak menatap Silvi. Kedua mataku terpaku pada anak-anak polos di depanku yang sangat ingin aku peluk itu.
"Papa?" Tara membuka suara. Ia menarik ujung blus Silvi. "Aku punya papa?"