Bab 12. Menjelaskan pada Si Kembar

1354 Kata
Aku begitu puas melihat wajah Mas Gama yang terkejut. Dulu, aku yang dibuat seperti itu ketika tahu ia telah menikah dan pergi ke luar negeri dengan istri barunya—Mbak Lina. "Kamu kaget, Mas?" Aku tersenyum miring. "Kamu pikir aku nggak bisa lupain kamu? Nggak usah konyol! Aku juga punya kehidupan sendiri, Mas." Mas Gama mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia terlihat galau sekali saat ini. "Kalau kamu mau menikah lagi ... kamu juga harus memikirkan Tania dan Tara." Aku mendengkus. "Maksud kamu apa, Mas? Kamu pikir aku menikah demi diri aku sendiri?" Aku tertawa mencemooh. "Kamu tenang aja. Calon suami aku sangat dekat dengan mereka. Bahkan, lebih dekat dibandingkan ayah kandung mereka sendiri! Jadi, jangan sok peduli dengan kehidupan aku." Mas Gama terlihat semakin pucat. Aku lebih puas. "Tapi ... tapi mereka anak aku, bukan anak calon suami kamu. Aku lebih berhak dibandingkan pria itu, Sil." "Jadi, apa mau Mas?" "Aku mau diberi waktu dan kesempatan untuk bersama anak-anak. Aku tinggal di Jogja, aku bisa membawa mereka sesekali," kata Mas Gama. Kedua mataku sontak melebar sempurna. "Membawa mereka?" "Ya, buat jalan-jalan atau nginep di rumah aku. Rumah aku nggak jauh, Sil. Paling beberapa menit dari sini," kata Mas Gama. Aku menggeleng kasar. Setelah bertahun-tahun ia tak pernah ada, kini ia muncul dan hendak membawa mereka. Enak saja! Aku tak akan membiarkan itu terjadi. "Kamu nggak sadar diri, Mas? Selama bertahun-tahun kamu nggak hadir di kehidupan mereka. Dan sekarang, kamu bilang apa? Mau ajak mereka pergi?" Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku dengar. "Aku ayah mereka, Sil. Kamu tenang aja, aku bisa jaga mereka. Dan aku ... aku bakal kasih mereka uang. Aku nggak akan mangkir dari tanggung jawab aku sebagai seorang ayah," kata Mas Gama. Aku menggeleng lagi. "Aku nggak butuh uang dari kamu, Mas." "Ya, aku tahu kamu udah jadi pengusaha yang sukses. Tapi, tetap aja aku harus ngasih anak-anak aku apa yang menjadi hak mereka," kata Mas Gama. Ia menatap si kembar dengan senyuman lebar di wajahnya. "Andai aku tahu dari awal, Sil ... semuanya nggak akan kayak gini." "Simpan penyesalan kamu, Mas. Itu nggak ada gunanya." Aku mengepalkan tangan. "Aku belum bisa membiarkan kamu dekat dengan mereka. Aku butuh waktu. Aku harus kasih penjelasan sama mereka." "Sekarang aja, mumpung aku ada di sini," kata Mas Gama penuh harap. "Nggak, aku mau bicara sendiri dengan mereka." "Kamu mau bilang apa ke mereka soal aku? Kamu mau menjelek-jelekkan aku?" Mas Gama tampak kecewa sekali. Padahal, aku sama sekali tidak pernah menjelekkan ia di depan anak-anak. Aku hanya berkata bahwa ayah mereka pergi jauh untuk bekerja dan tak tahu kapan akan pulang. Biar bagaimanapun, aku tak ingin anak-anak memiliki persepsi yang jelek tentang seorang ayah "Aku juga pengen bisa peluk mereka, Sil. Aku mohon. Mereka darah daging aku. Ak—" "Aku hamil sendiri, Mas. Aku melahirkan sendiri! Aku dioperasi sendiri! Aku menyusui dan mengurus mereka sendiri selama ini! Mereka sakit, mereka rewel, mereka butuh banyak hal, tapi aku sendirian, Mas? Dan kamu mau apa? Peluk mereka?" Air mataku mulai menggenang. Rasanya aku muak sekali dengan pria egois di depanku. Mas Gama menyugar rambutnya. Duduknya begitu gelisah. Yah, mungkin ia tak sabar untuk memeluk anak-anak kami. Tapi, ya, Tuhan! Dadaku masih sesak jika aku mengingat apa yang terjadi di masa lalu. "Kapan aku bisa ngelakuin itu, Sil? Deket sama mereka?" tanya Mas Gama setelah beberapa saat. Aku belum menjawab Mas Gama karena si kembar baru saja turun dari kursi mereka. Es krim mereka telah habis. "Ibuk, aku mau naik pelosotan." Aku mengusap pipi Tania dengan tisu. Ia mendatangiku bersama Tara. "Ya. Jangan rebutan mainan sama yang lain." Tania mengangguk. Lalu aku membersihkan bibir Tara dari lelehan es krim. "Kamu main sama adek kamu, oke?" "Ya." Tara tak segera bergabung dengan Tania. Ia melirik Mas Gama dengan ekspresi penasaran. "Sana, nanti kita bicara di rumah." Aku menepuk punggung Tara. Tara mengangguk. Ia lantas masuk ke playground yang ada di pojok ruangan. Mas Gama berdiri dari hadapanku lalu berdiri di dekat pagar jaring lokasi bermain anak-anak. Aku membuang napas panjang saat melihat bagaimana ia memandang si kembar. Sesekali Mas Gama tersenyum, ada perasaan haru juga di wajahnya. Aku pun berdiri menyusul Mas Gama. "Aku nggak mau ada masalah, Mas." Ia menoleh padaku dengan tampang bingung. "Maksud kamu?" "Aku tahu istri kamu nggak suka dengan aku dan anak-anak. Aku bisa ngerasain kemarin," ujarku sambil melipat kedua tangan di depan d**a. "Lina cuma belum ngerti. Dia bisa mengerti seiring berjalan waktu," ucap Mas Gama. "Mas yakin kalau Mas ketemu anak-anak, istri Mas nggak akan marah atau jahat sama mereka?" tanyaku dengan sangsi. "Sil, Lina juga seorang ibu. Dia pasti bisa ngerti. Kamu nggak perlu mencemaskan itu. Pokoknya, anak-anak bakal aman sama aku," kata Mas Gama. "Aku masih nggak ikhlas kalau Mas mau bawa mereka walaupun itu hanya beberapa jam," ungkapku jujur. "Kalau gitu kamu bisa ikut. Kayak gini, kita bisa makan berempat atau jalan-jalan." "Kamu gila, Mas. Aku nggak akan ngelakuin itu," ujarku ketus. "Kasih aku waktu buat jelasin ke si kembar. Kalau mereka udah ngerti dan mereka mau ketemu sama Mas, aku bakal coba kasih waktu untuk kalian bersama." Mas Gama mengangguk. Ia mengulurkan ponselnya. "Aku butuh nomor kamu. Aku harus tahu apa aja yang dilakukan si kembar." Aku meraih ponsel Mas Gama, tetapi aku merasa gamang. Haruskah aku berhubungan lagi dengan mantan suamiku? Namun, ini demi anak-anak, batinku meyakinkan. Aku mengetik nomor ponselku di sana. Dan Mas Gama langsung menghubungi agar aku menyimpan nomornya. "Kasih nomor rekening kamu juga, Sil," pintanya. "Aku nggak mau uang Mas," kataku. "Ya udah, nanti aku cash kalau kamu nggak mau ditransfer," sahut Mas Gama. Aku mendengkus. Aku benar-benar tidak ingin pertemuan ini menimbulkan masalah. "Jangan lupa, kasih pengertian ke istri Mas. Aku nggak mau nantinya dia marah-marah sama aku atau ke anak-anak." Mas Gama mengangguk dan tersenyum. Ketika itu, duo Tata berlari keluar dari ruang bermain. Aku langsung memeluk mereka bersamaan. "Buk, aku udah bosen main," kata Tania. "Ya, kita pulang sekarang aja," ajakku seraya menggandeng mereka. Kulirik Mas Gama, tampaknya ia begitu gatal untuk menyentuh si kembar. Namun, dengan protektif aku menggenggam tangan mereka. "Kapan-kapan ... kita ketemu lagi." Mas Gama membuka tasnya. Ia mengeluarkan dompet lalu mengambil uang dari sana. "Ini buat jajan. Buat Tania sama Tara. Oke?" Tania dan Tara agak berjengit ketika Mas Gama dengan cepat memasukkan uang ke kantong mereka. Mereka langsung mendongak padaku untuk meminta penjelasan dan aku hanya tersenyum tipis. "Lain kali, kita ketemu lagi, ya. Besok ... kapan-kapan Om ajak jalan atau makan es krim lagi," ujar Mas Gama. Ia mengusap kepala si kembar bergantian. "Kami pulang dulu, Mas." Aku menarik lengan si kembar. Mereka dengan patuh mengikutiku. Namun, aku yakin mereka akan bertanya banyak padaku nanti. Di mobil, aku menatap Tania dan Tara yang sedang mengeluarkan uang ratusan ribu dari kantong mereka. Aku mempercepat laju mobil. Rumah kami sudah dekat. Setibanya di rumah, aku langsung mengajak mereka ke kamar. Kusiapkan baju ganti dan kurapikan pakaian mereka. Setelahnya aku menyisir rambut Tania yang panjang. "Ibuk ... om tadi siapa?" tanya Tania. Aku tersenyum. Tara juga ikut-ikutan menatapku penasaran. "Kenapa Om tadi mau kita ketemu lagi dan ngasih uang sama aku dan Adek?" tanya Tara. Aku menyimpan sisir Tania. Aku menatap si kembar bergantian. Keduanya duduk di kanan-kiriku. "Ehm, kalian ingat Ibu pernah cerita kalau ayah kalian kerja di tempat yang jauh?" tanyaku. Si kembar mengangguk kompak. Aku berdebar. Inilah saatnya. Aku akan mengatakan yang sebenarnya. "Jadi ... ternyata ayah kalian sekarang kerjanya udah nggak jauh lagi," kataku. Tania melongo sementara Tara tampak mengerti dengan mata terkejutnya. "Nah, Ibu juga baru ketemu sama ayah lagi. Dan pria yang tadi itu ... itu adalah ayah kalian." "Om tadi?" tanya Tania. Aku mengangguk. "Ibu minta maaf, butuh waktu yang lama untuk mengenalkan kalian sama ayah kalian." "Kalau ayah udah dekat keljanya ... apa ayah bisa tinggal di sama kita, Buk?" tanya Tara dengan antusias. Aku menggeleng pelan. "Maaf, Sayang. Tapi itu nggak mungkin. Ibu sama ayah udah punya kehidupan masing-masing. Kamu lihat kemarin, ayah kalian punya istri dan anak sendiri." Si kembar kini terlihat agak kecewa. Tara merengut dan dengan polos ia bertanya, "Apa ayah nggak sayang sama aku dan Adek, Buk?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN