Bab 6. Mas Gama Penasaran

1271 Kata
Dadaku serasa mau pecah ketika mendengar Mas Gama memanggil namaku. Sontak, aku memeluk Tania lebih erat. Kutarik Tara lebih dekat denganku karena ia kembali mengamati keduanya. Pasti Mas Gama langsung bisa mengenali mereka. Kedua mata Mas Gama terlihat basah hingga istrinya menatap penasaran. "Kamu kenal wanita ini, Pa?" Mas Gama menoleh pada istrinya. Ia tampak kesulitan bicara saat ini dan mulai mengusap tengkuk dengan resah. Aku sudah hafal gelagat mantan suamiku. Jika begitu, dia pasti sedang berpikir keras. Mungkin, ia ingin menyiapkan kebohongan pada istrinya. "Ehm, ya. Ini ... ini Silvi," ucap Mas Gama pada istrinya. Wanita itu menyipitkan mata lantas melotot padaku seolah baru tersadar akan sesuatu. Tatapan Mas Gama lalu tertuju padaku yang masih berlutut dengan memeluk kedua anakku. "Sil, ini Lina. Lina ... istri aku." Aku mengangguk dan mengalihkan tatapan. Karena Tania tak menangis lagi, aku pun berdiri. "Sil ... mereka berdua ... mereka anak siapa?" tanya Mas Gama terbata. Aku menggandeng tangan si kembar. Tania masih cemberut dengan mata menatap ke boneka monyet yang dipeluk Lea sementara Tara terlihat penasaran dengan situasi ini. "Mereka anak-anak saya," jawabku. Mas Gama semakin terkaget. Bibirnya bergetar dan ia menggeleng pelan. Silakan kaget, Mas. Itu tak ada gunanya! "Anak itu yang udah bikin Lea nangis, Pa!" Mbak Lina kembali bicara dengan tangan menuding Tania. Aku tak tahu berapa usianya, mungkin seumuran denganku. Jadi, demi kesopanan aku memanggilnya Mbak. "Jangan menuduh kayak gitu, Mbak. Kita bisa lihat CCTV-nya," kataku setenang mungkin walaupun hatiku sangat tidak terima dengan tuduhannya. "Anak saya celaka gara-gara anak kamu!" gertak Mbak Lina yang kini semakin marah. "Kamu jangan berlebihan," ucap Mas Gama pada Mbak Lina. Ia menatap Lea lalu mengusap pipinya pelan. "Lea nggak apa-apa, mungkin ini cuma salah paham. Apa yang terjadi tadi?" Mas Gama kembali menatapku. Jujur, aku sakit hati sekali melihat gesture yang ditunjukkan Mas Gama pada Lea. Anak-anakku tak pernah diperlakukan seperti itu. Jangankan disentuh, keberadaan mereka saja tak diketahui. "Mereka rebutan boneka itu," jawabku. Tania mengangguk kecil. "Itu boneka Tania, Om. Adek itu mau ambil boneka Tania." Mas Gama tampak memucat mendengar suara Tania. Ia pasti lebih terkejut sekarang karena anakku bicara padanya. "Ehm, Lea kan udah punya boneka kayak gini. Mendingan ...." "Papa apa-apaan, sih? Lea yang milih duluan!" seru Mbak Lina sengit. "Sok tahu!" batinku. Aku menoleh ke penjaga toko. "Mbak, saya mau lihat rekaman CCTV aja." "Baik, tolong kalau ada masalah diselesaikan dengan baik-baik, ya," kata si penjaga toko. Aku melihat Mbak Lina merengut. Ia menggendong Lea lalu diberikan pada pengasuhnya. Dan dengan cepat wanita itu menggandeng tangan Mas Gama. Aku yakin, Mbak Lina sudah tahu siapa aku. Aku tak peduli, aku tak cemburu dengan apa yang ia lakukan. "Buk, ini mau ngapain?" tanya Tara. "Kita liat rekaman CCTV dulu, bentar," jawabku. Tara menatap Mas Gama dengan penuh kecurigaan sebab pria itu juga terus mengamati dirinya dan Tania. Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Rekaman CCTV pun akhirnya diputar di ruang karyawan. Kami akhirnya tahu bahwa memang Tania yang lebih dulu mengambil boneka monyet. Lalu tak lama, Lea datang dan menarik boneka. Pengasuh berusaha menenangkan Lea, tetapi Lea menangis keras. Karena adegan tarik-menarik boneka itu, akhirnya Lea terjatuh ke lantai. "Adek ini yang dapet bonekanya lebih dulu, Bu," kata si penjaga toko. Ia menatap ke arah Tania. Wajah Mbak Lina langsung masam karena tadi ia bersikeras bahwa Tania yang merebut boneka Lea. Dan di sampingnya, Mas Gama juga terlihat malu sekali. "Bukan anak ini yang salah. Lea yang mau rebut bonekanya," ujar Mas Gama pada Mbak Lina. Mbak Lina melipat kedua tangannya di depan d**a. Bisa kutebak bahwa wanita ini keras kepala dan tak suka disalahkan. "Tetep aja, dia bikin Lea jatuh! Gimana kalau Lea sakit? Lea juga nangis kejer." Mas Gama membuang napas panjang. "Tapi Lea juga salah. Kita harus minta maaf. Minta Lea balikin bonekanya." "Pa! Itu boneka kesayangan Lea!" Mas Gama melirik Tania yang kembali menciut karena teriakan Mbak Lina. "Udah, Sayang. Nanti kita cari di toko lain aja. Atau ... besok lagi," kataku membujuk Tania. "Tapi aku mau boneka itu, Buukk!" Wajah Tania mengerut dan ia bersiap menangis lagi. Aku membelai pipi Tania. "Bentar, aku bicara sama Lea dulu," kata Mas Gama padaku. "Dan aku minta maaf. Ini bukan salah anak-anak ... ini salah paham. Nanti ... Om bawain boneka kamu." Mas Gama hendak mengulurkan tangan ke kepala Tania, tetapi aku lebih dulu menarik tubuh putriku. Tak akan kubiarkan Mas Gama mendekati Tania atau pun Tara! "Pa, tapi ... nanti Lea nangis," kata Mbak Lina membujuk suaminya. "Kamu juga harus minta maaf sama mereka, Ma. Lea juga, emang Lea yang salah mau rebut boneka Tania," kata Mas Gama. Aku tak mengharapkan permintaan maaf Mbak Lina. Aku yakin ia tak menyukaiku. Ketika Mas Gama keluar dari ruangan untuk bicara dengan Lea, Mbak Lina hanya berdiri di tempatnya. Lalu tak lama, Mas Gama masuk lagi dengan Lea di gandengannya. Aku kembali merasakan nyeri di hatiku ketika melihat tangan ayah dan putrinya itu bertautan. Sabar, Sil. Sabar! Aku menekankan kata-kata itu di hatiku. Aku sudah membesarkan si kembar seorang diri. Jadi abaikan rasa sakit ini! Mas Gama tersenyum, sungguh sialan. "Nah, ini Lea. Dia mau minta maaf dan balikin boneka Tania." Aku menggigit lidahku. Mas Gama baru saja menyebutkan nama Tania, ya, Tuhan! "Maaf," ujar Lea pada Tania. Bocah cilik itu masih cemberut, tetapi mungkin Mas Gama berhasil membujuknya untuk mengalah. Dan Lea mengulurkan boneka itu pada Tania. Tania menatapku seolah meminta izin. Aku mengangguk pelan dan dengan senyuman penuh, ia langsung menerima boneka monyet itu. Mas Gama tampak ingin menangis sekarang, kedua matanya yang basah terpatri pada sosok Tania. "Buk! Boneka aku," ucap Tania. Ia menatap kembarannya. "Kak, aku dapat monyet." Tara ikut melonjak senang bersama Tania. Aku pun tersenyum. "Kamu juga harus minta maaf, Sayang." Tania mengangguk. "Maaf, udah lebutan dan bikin kamu jatuh." Lea mengangguk. Ia mungkin beberapa bulan lebih muda daripada si kembar. Dan dengan manja, ia mulai menggelayuti kaki Mas Gama. "Nah, udah selesai masalahnya," kataku seraya melirik Mbak Lina. "Saya juga minta maaf kalau saya kurang mengawasi anak-anak dan terjadi insiden ini." Mas Gama mengangguk. Ia menarik baju Mbak Lina. "Kamu udah minta maaf, Ma?" Mbak Lina hanya membuang napas panjang. Sudahlah, aku tak butuh permintaan maafnya. Yang penting anak-anakku baik-baik saja dan kami bisa segera berpisah dari mereka. "Kami harus pergi," kataku. "Tara mau beli mainan yang mana? Udah milih?" Tara mengangguk. "Keleta api, Buk." "Oke. Yuk." Aku melemparkan senyum pada penjaga toko. "Mbak, kami mau pilih bentar terus bayar, ya. Makasih udah bantuin." "Ya, silakan, Bu." Aku berjalan menuju pintu keluar ruang karyawan bersama si kembar. Tania dan Tara begitu ceria karena bisa mendapatkan boneka. Kasihan mereka, mereka sama sekali tak tahu dengan siapa mereka berbicara tadi. "Tara, kamu mau yang itu?" Aku menunjuk ke kotak besar berisi mainan kereta api rakitan. "Ya! Mau itu, Buk!" Tara melonjak senang. "Nanti kita main baleng, Dek!" Tania mengangguk. Ia lalu menarik tanganku. "Sama masak-masak, Buk!" "Oh, iya." Aku tersenyum lalu mengambil satu set mainan masak-masakan yang disukai Tania. Setelahnya, aku membawa semua ke meja kasir. Aku baru mau membayar semuanya ketika tiba-tiba Mas Gama mengulurkan kartunya pada kasir. Aku menoleh sinis padanya. "Anda ngapain?" Mas Gama menyodorkan lagi kartunya pada si kasir. "Saya yang bayar, Mbak. Pakai ini." Aku mendengkus pelan. Beruntung si kembar sedang ada di sudut toko untuk melihat mainan lain. "Apa-apaan ini? Aku bisa bayar sendiri!" Aku tak ingin bicara formal lagi padanya. "Sil, kita bicara bentar, oke?" Mas Gama menekan PIN pada alat p********n. "Plis." Kedua matanya melirik si kembar dengan haru. "Aku harus pergi. Urus aja istri dan anak Mas itu!" gerutuku seraya membawa kotak-kotak mainan si kembar. Aku mendengar ia mengikutiku. "Silvi! Tunggu! Aku mohon!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN