Bab 5. Bertemu Istri Mas Gama

1264 Kata
Hari Minggu akhirnya tiba. Si kembar sudah tak sabar untuk berjalan-jalan denganku hari ini. Aku menyiapkan pakaian bersih lalu memandikan mereka bergantian. Mereka sudah bisa memakai pakaian sendiri dan aku tinggal merapikannya saja. "Buk, aku mau dikepang dua," kata Tania. Aku mengangguk. Sementara Tara minum s**u kotak, aku menyisir lalu mulai mengepang rambut putriku. "Om Iba nggak ke sini lagi, Buk? Biasanya kalau libul ke sini," ujar Tara dengan penasaran. "Om lagi ada acara hari ini," jawabku. Tara mencebik. "Bental lagi ada lomba di sekolah, Buk. Kata bu gulu, halus sama ayah." Aku berhenti mengepang rambut Tania selama sedetik. Aku mencoba tersenyum. Yah, aku sudah membaca chat di grup WA kelas. Akan ada perlombaan yang melibatkan peran ayah di sekolah mereka. "Nanti Ibu yang datang," ujarku setenang mungkin. "Tapi ... Ibuk kan bukan ayah! Ibuk tuh pelempuan," sahut Tara. Tania mengangguk. "Kenapa ayah nggak pulang-pulang, Buk? Ayah kapan ke sini?" "Om Iba nggak bisa jadi ayah Tala sama Tania, ya?" Tara ikut bertanya hingga kepalaku berdenyut. Aku berdehem pelan dan masih tersenyum. "Kalau nggak ada ayah, masih ada Ibu. Kalian tenang aja. Ibu pasti nggak kalah sama bapak-bapak di sekolah nanti." "Tapi aku mau sama ayah!" Tara bersikeras. "Aku juga," sahut Tania. Aku membuang napas kali ini. Jika begini, aku yakin ia sudah mendengar bahwa teman-temannya akan datang dengan ayah mereka. Wajar jika anakku juga ingin. "Ehm ... besok kita bahas lagi, ya. Mendingan sekarang kita mikir nanti mau beli mainan apa. Tania ... mau boneka monyet lengan panjang, Tara mau kereta api?" Aku mengalihkan obrolan. Tania mengangguk. Ia terlihat antusias membahas mainan dibandingkan Tara yang sedang memantulkan bola di lantai. "Aku boleh beli masak-masakan baru, nggak, Buk?" tanya Tania. "Boleh. Tapi, kita beli mainan lagi besok kalau tabungan kalian udah banyak," kataku. Tania mengangguk sepakat. "Aku pasti rajin nabung kayak Ibuk." Kutatap Tara dan ia balas menatapku. Kulebarkan senyum padanya. "Selain mainan kereta api, kamu mau apa lagi, Sayang?" "Ehm ... aku bisa main sama Om Iba nanti sole?" tanya Tara. Kembali, aku dibuat pusing oleh pertanyaan anakku. "Nanti kita telepon Om Ibra dulu. Kalau nggak sibuk, pasti Om mau mampir." Senyum cerah terbit di wajah Tara. Aku yakin Tara akan membujuk Mas Ibra untuk datang ke sekolah di acara lomba itu. Dan memikirkan itu membuatku agak berdebar. Aku yakin Mas Ibra mau, tetapi bagaimana jika ada yang bertanya? Kenapa bukan ayah kandung mereka yang datang? Mas Ibra bukan siapa-siapa bagi mereka. "Ibu ganti baju dulu, kalian main bentar. Jangan berantakan lagi, oke?" Aku mencium pipi mereka bergantian sebelum akhirnya membuka lemari untuk memilih pakaian untuk kukenakan. *** Kami baru saja tiba di toko mainan. Kedua anakku sudah tak sabar keluar dari mobil dan melepaskan sabuk pengaman mereka. Jika aku mengingat masa lalu, aku begitu kesusahan. Sekarang, aku bisa bepergian dengan mobil seperti ini. Padahal, dulu aku sering dihina. Yah, setelah melahirkan mereka, aku mencoba terus membuat beberapa jenis kue. Awalnya hanya aku titipkan ke warung-warung lalu aku menjualnya secara online. Beruntung, kueku laku keras. Aku mulai menyewa ruko untuk memulai usaha yang lebih besar ketika si kembar berusia satu tahun. Mas Ibra adalah salah satu pelanggan setia toko kueku. Untuk acara-acara di kantornya, ia selalu memesan dari tokoku. Ia juga membantu promosi dan sebagainya. Hingga akhirnya aku bisa seperti ini. "Buk, ayo, Buukk!" Keduanya menarik tanganku dengan tak sabar. Aku mengangguk. "Ya, ayo kita lihat-lihat. Abis ini kita beli baju juga buat kalian dan Mbak Irma." Irma adalah anak dari Mbak Desi. Meskipun Mbak Desi tak ramah padaku dan sering iri dengan kesuksesanku, aku tetap bersikap baik pada ia dan keluarganya. "Oke!" Aku menemani si kembar melihat-lihat mainan sejenak. Hingga tiba-tiba aku mendengar ponselku berdering. Maya menelepon. Ini pasti masalah toko. "Tara, Tania," panggilku. "Ya, Buk?" "Ibu harus jawab telepon. Bentar aja, 5 menit. Jadi, kalian di sini aja. Jangan sembarangan ambil mainan," ujarku penuh harap. Keduanya mengangguk bersamaan. Mereka anak yang mudah diberi tahu, jadi aku bisa bicara dengan Maya. Namun, baru sejenak aku mendengar penuturan Maya, tiba-tiba aku mendengar raungan anak perempuan. Sontak, aku menutup telepon dan mencari Tania. "Tania!" Aku melewati rak boneka. Kulihat Tania sedang menangis dengan tangan memeluk boneka monyet berkaki panjang yang ia idam-idamkan. Namun, ia tak sendiri. Tara berdiri di dekat Tania dan di lantai terduduk seorang anak perempuan lainnya. Anak itu juga menangis begitu keras. "Ada apa ini?" tanyaku pada Tara. "Kenapa Tania dan adek ini nangis?" "Adek ini mau ambil boneka Tania, Buk," jawab Tara. "Hah?" Aku berlutut menatap Tania lalu mengusap pipinya. Ia dengan terisak-isak, ia memelukku. Aku lalu mengalihkan tatapan pada si anak kecil. "Mana mama kamu?" "Mamaaa! Mamaaaa!" Anak itu hanya menangis dan tak lama seorang wanita berseragam datang bersama wanita cantik dengan pakaian mewah. "Ini, Nyonya. Non Lea nggak mau tenang dan nyariin Nyonya," kata wanita yang aku tebak adalah pengasuh si anak. Wanita cantik itu berlutut sama seperti aku lalu memeluk anaknya. "Apa yang kalian lakukan sama anak saya? Kamu dorong-dorong Lea sampai jatuh, ya?" Aku memeluk Tania yang ngeri dengan teriakan wanita asing itu. "Sabar, Mbak. Saya minta maaf, tapi nggak mungkin anak saya kayak gitu." "Tania nggak dolong adek itu." Tara mencebik. "Dia mau lebut boneka Tania dan jatuh." Tania masih terisak sama seperti si anak satunya. Jadi, aku agak kesusahan untuk mencari tahu apa yang terjadi. "Nggak bisa gitu, dong! Anak saya jatuh dan nangis. Pasti ini ulah anak-anak nakal ini!" Wanita itu dengan kasar menarik paksa boneka monyet di pelukan Tania. Aku langsung terkesiap karena Tania baru saja menjerit tak terima. "Ini boneka yang diinginkan anak saya. Anak kamu pasti udah minta paksa, ya?" "Mbak, tunggu," kataku. "Ayo bicara baik-baik, jangan main rebut begitu." "Boneka aku, Ibuuukk!! Mau monyet!" teriak Tania. "Itu boneka Tania!" Tara ikut marah. Ia berusaha mengambil boneka dari tangan si wanita. Karena keributan ini, penjaga toko sampai berkumpul dan berusaha menenangkan kami. Apalagi ternyata boneka itu hanya tinggal satu. Aku membujuk Tania untuk mengalah, tetapi ia bersikeras bahwa ia yang lebih dulu mengambil boneka itu. "Ibu-ibu, maaf, tapi tolong jangan buat keributan," kata salah satu penjaga toko. "Anak saya dibuat nangis! Saya nggak terima ada yang menyakiti anak saya." Wanita itu bersikukuh menuduh Tania sudah jahat pada anaknya. Astaghfirullah, aku hanya bisa mengelus dadaku. "Gini aja, Bu, di sini ada CCTV," kata penajga toko. Aku mengangguk. Aku yakin anak-anakku tidak senakal itu. Apalagi pada anak yang jauh lebih kecil. Bisa saja ini hanya kecelakaan. Anak itu juga sudah tak menangis, bahkan begitu senang karena bisa memeluk boneka monyet itu. Sementara Tania masih menangis pilu. "Saya nggak mau lihat CCTV! Udah jelas anak saya nangis-nangis!" Wanita itu masih bersikeras. Ia menarik lengan pengasuh anaknya. "Bibi saksinya, kan? Lea didorong sama anak itu?" Tania menggeleng sementara si pengasuh tampak ragu-ragu untuk menjawab. "Kita lihat CCTV aja biar adil," sahutku. "Kalau terbukti anak saya sudah mendorong anak Mbak, saya minta maaf. Nanti saya tanggung dan bayar boneka itu sama mainan mana aja yang Lea mau." Wanita itu tampak tak ingin sepakat denganku. Dan ketika itu seseorang masuk ke toko. Aku masih memeluk Tania dan orang itu mendekati si wanita. "Papa!" Gadis cilik bernama Lea itu memeluk si pria dengan cepat. "Lea kenapa, Ma?" Pria itu bertanya pada wanita galak di depanku. Jantungku hampir berhenti berdetak melihat pria yang tak asing itu. Aku memalingkan wajah, berharap ini tidak benar. Namun, bahkan suaranya tidak berubah. "Anak ini udah bikin Lea nangis, Pa!" ujar si wanita. "Apa?" Pria itu kini menatapku. Aku mengepalkan tangan ketika ia memucat. Aku bisa melihat kedua matanya bergetar lalu bergerak menurun ke arah si kembar. Ia menggeleng pelan, tetapi aku tak tahu apa yang ia pikirkan. "Silvi?" Mas Gama menyebut namaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN