Aku mengedarkan pandanganku. Di luar toko, ada Mbak Lina dan Lea, juga pengasuhnya. Aku membuang napas panjang seraya menepis tangan Mas Gama dari lenganku. Tak akan kubiarkan ia menyentuhku seperti ini.
"Kita nggak punya urusan apa-apa lagi," ucapku.
Mas Gama menggeleng. Ia melirik si kembar yang baru saja cekikikan di sudut toko. "Aku tahu apa yang terjadi, Sil. Mereka ... mereka berdua anak kita, kan?"
Kedua tanganku mengepal. Anak kita. Hatiku begitu perih mendengar kata-kata itu meluncur dari bibir Mas Gama. Aku mengangkat daguku. "Anak kita?" Aku tertawa mencemooh padanya. "Maksud Mas apa?"
"Anak kembar itu ... mereka mirip aku dan umur mereka pas dengan waktu perpisahan kita ... Sil, tolong jujur sama aku," kata Mas Gama dengan nada penuh harap.
Kepalan tanganku semakin kuat mengepal. "Ya. Mereka anak-anak kita. Tapi," aku bicara cepat sebelum Mas Gama membuka bibirnya, "mereka nggak ada hubungan apa pun dengan Mas. Jangan lupa, kita udah cerai. Mas udah nikah lagi dan punya keluarga sendiri, jadi jangan dekati anak-anak aku."
"Gimana bisa ...."
"Gimana bisa aku hamil?" Aku tertawa mencela lagi. "Oh, ya. Aku lupa, dulu Mas sama ibu Mas selalu bilang kalau aku mandul. Tapi ternyata ... aku malah dapat anak kembar."
Mas Gama menggeleng cepat. Ia menyugar rambut dengan kasar dan aku bisa melihat raut penuh penyesalan di wajahnya. "Bukan itu maksud aku, Sil. Gimana bisa kamu rahasiakan semuanya dari aku? Apa kamu hamil waktu kita masih bersama atau ... bilang sama aku!"
"Jangan bilang Mas nyesel sekarang. Itu nggak ada gunanya. Dulu, Mas yang pengen kita berpisah. Sana, pergi sama istri Mas yang udah cemberut itu. Aku nggak mau ada masalah. Aku harus pulang," kataku. Aku baru saja melirik Mbak Lina. Aku yakin ia terus melotot padaku dari luar dinding kaca toko.
"Di mana kamu tinggal? Aku kerja di Jogja sekarang," katanya cepat.
Aku mengerutkan kening. Dunia ternyata sempit. Kami bisa bertemu lagi di sini, sungguh takdir yang lucu. "Aku nggak mau Mas ganggu anak-anak aku. Kami udah hidup tenang selama ini, jadi simpan penyesalan itu untuk diri Mas sendiri!"
"Nggak bisa kayak gitu, Sil! Mereka darah daging aku!"
Aku benar-benar tertawa sekarang. Semudah itu ia berkata seperti itu. "Harusnya, Mas dengerin aku 6,5 tahun yang lalu. Sekarang, semuanya terlambat."
Aku membalik badan lalu kudekati kedua anakku. "Ayo kita pulang."
"Bukannya kita mau beli baju balu, Buk?" tanya Tara.
"Eh, iya. Kita belanja bentar, abis itu makan dan pulang," ajakku.
Aku mencoba untuk tak melirik Mas Gama, tetapi ia berdiri tak jauh dari kami dan Mbak Lina baru saja mendekatinya. Aku yakin mereka sedang beradu mulut. Aku tak peduli. Itu bukan urusanku, dan aku lekas membuka pintu mobil. Kunaikkan satu persatu anakku ke mobil lalu kusimpan mainan mereka di bagasi.
Mobilku melewati Mas Gama dan istrinya. Aku melirik mereka dari kaca spion lalu kuinjak gas lebih kuat.
"Buk, Om yang tadi siapa?" tanya Tania. Ia memeluk boneka monyetnya dengan senang.
"Ehm, teman lama Ibu, Sayang," jawabku tak bohong. Mas Gama pernah jadi teman hidupku selama lebih dari tiga tahun.
Aku tak tahu bagaimana caranya menjelaskan bahwa pria itu adalah ayah mereka. Aku cemas jika Mas Gama akan mencari kami, tapi mengingat sikap istrinya, mungkin istrinya akan melarang Mas Gama melakukan itu.
***
Ketika kami makan siang di rumah makan ayam kriuk yang tak begitu jauh dari rumah, Tara menagih janjinya untuk bermain dengan Mas Ibra.
"Ibu coba telepon dulu, kalau bisa pasti Om bakal ke rumah," ucapku. "Kalian cuci tangan dulu di wastafel, abis itu makan. Oke?"
"Ya!" Si kembar dengan cepat berdiri dari duduknya. Mereka lantas berjalan menuju wastafel. Aku mengawasi mereka untuk memastikan mereka tidak bermain-main di sana.
Setelah kulihat mereka kembali duduk dan mulai makan, aku membuka ponselku. Kucari nomor kontak Mas Ibra lalu kutekan tombol panggil.
"Assalamu'alaikum, Sil!" Ia menyapaku di seberang.
Hatiku merasa jauh lebih tenang ketika mendengar suaranya. "Waalaikumsalam, Mas."
"Kamu jadi belanja sama anak-anak? Apa masih di sana?" tanya Mas Ibra.
Aku tersenyum. Mas Ibra memang selalu menanyakan si kembar. "Udah kelar belanjanya, Mas. Ini baru mau makan ayam krispi."
"Oh, di mana? Yang deket rumah kamu? Aku ke sana, ya!"
Aku mengerutkan kening. "Bukannya Mas ada acara hari ini?"
"Ya, udah selesai. Ini aku baru di jalan, biar aku ke sana sekarang."
"Oke."
Ia mengucapkan salam dan kubalas lalu panggilan kami terputus. Begitulah, bicara dengan Mas Ibra kadang tidak selalu lama. Namun, entah bagaimana ia selalu mengerti aku. Aku memang butuh bertemu dengannya karena aku ingin meminta pendapatnya.
"Om jadi ke lumah?" tanya Tara.
"Om mau ke sini," jawabku.
Tara terlihat begitu senang. Begitu juga dengan Tania.
Dan tak lama, kulihat mobil Mas Ibra berhenti di depan rumah makan. Aku agak deg-degan saat ini. Sebab, ia keluar dari mobil dengan atasan batik yang pernah aku berikan padanya sebagai hadiah. Mas Ibra memang sesuatu.
"Hei, Tata!" Mas Ibra langsung memanggil si kembar. Ia mendekati meja kami lalu memeluk si kembar satu persatu. Aku tersenyum melihatnya.
"Om! Kangen!"
"Om lama banget nggak main!"
"Om dali mana?"
"Om mau ayam?"
Kami mendengar celotehan si kembar dan hanya tertawa. Aku yakin, aku pasti sudah tersipu melihat interaksi Mas Ibra pada di kembar. Terkadang, aku membayangkan ia adalah ayah dari anak-anakku. Namun, tentu saja bukan.
"Maaf, Om agak sibuk. Tapi, sampai malam nanti Om nggak ada kerjaan!" seru Mas Ibra.
Si kembar bersorak senang. "Nanti main bola sama Tala mau, Om?" Mas Ibra tentu mengangguk. "Lakit keleta juga, Om. Ibuk beliin Tala."
"Eh, Tania punya boneka balu, Om. Sama masak-masak. Nanti Om yang beli, ya. Tania mau masak," ujar Tania tak mau kalah.
Mas Ibra hanya mengiyakan semua ucapan mereka. Dan setelah mereka kenyang dengan makanan, aku pun meminta si kembar bermain lebih dulu. Aku butuh waktu untuk bicara berdua.
"Kalian boleh mandi bola dan main perosotan di sana, tapi jangan rebutan sama teman yang lain," kataku. Di rumah makan ini ada playground kecil di pojokan. Jadi, selagi mereka di sana, aku bisa bicara dengan Mas Ibra.
Anak-anak dengan antusias langsung masuk ke playground. Kedua mata Mas Ibra mengikuti mereka dan bibirnya menyunggingkan senyum. Sungguh, sosok ayah idaman, batinku.
"Mas nggak makan?" tanyaku.
"Ah, udah kenyang banget tadi makan di sana," jawabnya. "Santai aja. Kamu makan dulu biar aku awasin si kembar."
Aku tersenyum lagi. "Mereka baik-baik aja, Mas. Liat dari sini aja."
Mas Ibra mengangguk. Ia baru menatapku sekarang. "Nanti aku ke rumah, ya."
"Ya. Anak-anak nyariin Mas, makanya aku telepon tadi. Nggak tahunya, Mas malah ke sini duluan."
"Aku juga kangen sama mereka," ujarnya tertawa.
Aku pasti kembali tersipu saat ini. Aku mengaduk-aduk nasiku dengan tangan. Bibirku gatal ingin bercerita tentang pertemuanku dengan Mas Gama. Namun, aku tak tahu harus mulai dari mana.
"Kamu lagi mikirin sesuatu, Sil?" tanya Mas Ibra.
Tatapan kami bersiborok. Ia selalu bisa membacaku. "Ehm, ya. Sebenarnya ... tadi pas belanja mainan, aku nggak sengaja ketemu ayahnya anak-anak."
"Apa? Maksud kamu ... Gama?" Mas Ibra tampak kaget.
"Ya. Dia sama anak dan istrinya. Dan dia tahu ... akhirnya dia tahu kalau aku melahirkan anak-anaknya," ucapku getir.
Mas Ibra mengangguk pelan. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan, tetapi ia baru saja menepuk punggung tanganku. Seperti biasa, ia membuat aku lebih tenang. "Kamu pasti kaget. Aku aja kaget kamu ceritain. Lalu, gimana sikap Gama?"
Aku mengangkat bahu. "Sebenarnya aku takut kalau dia nekat dan nyariin si kembar. Soalnya dia juga tinggal di Jogja sekarang. Aku belum cerita ke anak-anak soal ayah kandung mereka. Mungkin, ini saatnya aku cerita. Selama ini aku cuma bilang ayah mereka tinggal jauh banget."
Mas Ibra mengerutkan kening. Kurasa ia ikut cemas dengan hal ini. "Jadi mau kamu gimana, Sil? Kamu mau membiarkan Gama kenal dengan anak-anak kamu atau nggak?"