POV Silvi
Aku menatap kedua mata bening Tara dan membelai rambutnya. "Tentu aja Ayah kalian sayang sama kalian." Aku lalu menoleh pada Tania dan juga mengusap kepalanya. "Tapi ... semua itu karena keadaan. Ayah dan Ibu emang udah lama berpisah. Ayah udah menikah menikah lagi dan Ayah kerja jaauuh banget. Tapi, sebenarnya Ayah pasti sayang sama kalian."
Tara dan Tania mengangguk. Hatiku terasa pedih saat ini karena mereka adalah anak-anak suci yang menjadi korban perpisahanku dan Mas Gama. Namun, aku tak ingin berkecil hati. Aku harus tetap kuat demi mereka. Aku bisa membahagiakan mereka. Aku harus bisa! Itulah yang memberiku semangat untuk terus hidup hingga saat ini.
"Mama minta maaf, ya. Mama juga baru ketemu sama ayah kalian dan ... apa kalian mau lebih sering ketemu sama Ayah? Kayaknya dia lebih suka dipanggil papa." Aku bertanya pada si kembar.
Tara mengangguk lebih dulu lalu Tania juga.
"Apa aku bisa main sama Papa?" tanya Tara.
"Ya, mungkin," jawabku tersenyum.
"Apa Papa bakal seling ke sini?" tanya Tania.
"Mungkin nggak sering. Papa juga kerja, Sayang," jawabku.
Tania mengangguk. "Apa aku bisa bobo sama Papa?"
Aku mengusap kepala anakku. Ya, Tuhan. Semoga ini keputusan yang tepat. Anak-anakku masih polos dan mereka menyambut hangat siapa ayah kandung mereka. Aku harap mereka tidak dilukai sebagaimana aku dilukai dulu.
***
POV Gama
Aku kembali ke kantor dengan perasaan campur aduk. Tanganku menenteng dua keresek besar berisi roti-roti yang kubeli di toko Silvi. Aku meletakkan mereka di atas meja kerja Tanto lalu membuang napas panjang.
"Bagikan ini ke karyawan," ujarku.
Tanto berdiri lalu mengangguk. "Bagaimana, Tuan? Anda sudah bertemu dan bicara dengan Bu Silvi?"
"Ya. Silvi ... ternyata Silvi udah mau nikah," kataku lemah.
Tanto membulatkan bibirnya. "Bu Silvi tampaknya hidup berkecukupan sekarang, Tuan."
"Ya, kamu benar. Tapi, selama ini pasti dia juga banyak mengalami kesusahan. Dia membesarkan Tara dan Tania sendiri, To. Saya ngerasa bersalah banget karena dulu harus bercerai dengan Silvi." Aku memukul dadaku yang terasa sesak. Sungguh, aku menyesal. Rasa cintaku pada Lina tidak pernah sebesar bagaimana aku mencintai Silvi dulu.
Aku yang bodoh karena terlalu menuruti ucapan ibuku. Andai saja ... andai saja waktu bisa diputar, pasti kami masih hidup bahagia berempat hingga saat ini.
"Lalu bagaimana? Apa Bu Silvi bisa diajak bekerja sama? Apa beliau mau memberikan kesempatan pada Anda untuk dekat dengan anak-anak Anda?" tanya Tanto.
Aku menghela napas panjang lalu membuangnya kasar. "Silvi butuh waktu. Tapi, mungkin saya bakal bisa ketemu anak-anak lagi. Yang jadi masalah ... istri saya pasti nggak suka kalau saya ketemu sama Silvi dan si kembar."
"Yah, Bu Lina sangat cemburuan," tukas Tanto. Ia berdehem pelan seolah takut jika aku akan marah dengan ucapannya yang terlalu jujur. Namun, yah, memang seperti itu Lina. Itulah sebabnya aku sering merasa bahwa aku tidak benar-benar mencintai Lina. Sifatnya kadang sangat menyebalkan.
"Saya bagikan ini ke karyawan dulu, Tuan," kata Tanto.
"Tunggu!" sergahku. Karena aku belum makan siang dan penasaran dengan roti buatan Silvi, aku mengambil beberapa kemasan. "Saya juga mau makan."
Aku membawa roti-roti itu ke ruanganku. Aku duduk lalu mulai membuka plastiknya. Silvi yang kuingat selalu memiliki semangat untuk mencoba. Ia sering membuatkan aku bolu atau roti begini dulu. Sayangnya, aku tidak terlalu percaya padanya jika ia bisa berjualan dan takut ia kelelahan. Aku salah lagi. Seharusnya aku tidak meremehkan kemampuan Silvi.
Air mataku hampir menetes ketika memakan roti buatan Silvi. Rasanya masih sama seperti dulu. Aku tak pernah melupakannya. Astaga, kenapa aku merasa hancur seperti ini? Tuhan, berikan kesempatan padaku untuk memperbaiki semuanya.
***
Aku pulang ke rumah sore itu. Namun, aku tak segera turun dari mobil. Aku masih merasa kacau usai bertemu dengan Silvi. Aku telah menikah dan memiliki keluarga kecil, tetapi kenapa aku masih mengharapkan Silvi untuk kembali padaku? Aku mengingatkan diriku bahwa Silvi juga hendak menikah. Kami memiliki kehidupan sendiri-sendiri. Kami hanya terhubung karena adanya si kembar.
"Papa!" Kudengar Lea memanggilku dari teras.
Senyumku terbit melihat anakku yang cantik dan menggemaskan. Namun, aku jadi ingat dengan Tara dan Tania yang tak pernah aku peluk sekali pun. Hatiku kembali terasa remuk dan senyumku memudar. Aku sungguh gila, aku pun ingin bisa memeluk mereka.
"Papa pulaaang!" teriak Lea lagi.
Aku mengusap pipiku. Dengan cepat aku keluar dari mobil agar putri kecilku tidak kecewa. "Ya, Papa udah pulang, Le."
Lea tertawa lalu melonjak girang agar aku menggendongnya. Aku pun ikut tertawa lalu menggendong tubuh gempalnya. Aku mencium pipi dan sisi kepala Lea.
Lea hidup berkecukupan, penuh kasih sayang dan begitu sehat. Aku semakin kasihan dengan si kembar. Mereka terlihat baik-baik saja dan juga sehat, tetapi mereka tidak pernah mengenalku—sosok ayah mereka.
Tidak, aku tak akan membiarkan itu berjalan lebih lama. Aku harus hadir dalam kehidupan mereka. Aku tak ingin mereka tumbuh tanpa sentuhan seorang ayah. Aku ada, aku ini hidup dan mereka tidak jauh dariku. Apa pun yang Silvi katakan, aku akan tetap mendatangi mereka.
"Kamu pulang, Pa," ucap Lina dari balik pintu.
Aku mengangguk. "Ya." Dan apa pun yang dikatakan oleh Lina, aku tak peduli. Aku akan tetap mendatangi Silvi dan anak-anakku.
"Lea udah mandi? Wangi banget!" ujarku sebelum mencium pipi Lea lagi.
"Udah, Pa."
"Ya, sana main lagi. Papa juga harus mandi."
Lea mengangguk. Ia lantas berlari ke dalam rumah. Lina mengambil tas kerjaku. Ia merapatkan dirinya seperti biasa lalu mencium pipiku. Aku tak membalasnya. Biasanya kami akan berciuman setiap kali aku pulang kerja, tetapi sore ini perasanku sungguh kacau.
"Aku mandi dulu, Ma."
Aku berjalan masuk dan merasakan tatapan Lina tertuju padaku. Aku mendengar langkah Lina mengikuti langkahku.
"Pa, Papa kenapa?" tanya Lina.
"Nggak apa, Ma. Cuma capek." Aku masuk ke kamar lalu mulai melucuti jam tangan, jas, dasi dan hendak mencopot kemeja.
Namun, Lina lebih dulu menyambar kerah kemejaku. Ia membelai dadaku dengan lembut. "Papa ini kenapa? Tumben nggak ngasih kecupan aku."
Aku tersenyum. Aku harus membicarakan hal penting pada Lina malam ini. Jadi, aku bersikap baik. Aku menurunkan wajahku untuk mencium bibirnya sekilas. "Udah. Aku mandi dulu, Ma. Nggak usah dibantuin, aku bisa buka sendiri."
Lagi, Lina menatapku penasaran. Namun, hatiku sangat penuh dan lelah. Aku jadi merasa kesal karena aku dulu harus menikah dengan Lina.
Aku meninggalkan Lina dan masuk ke kamar mandi. Aku membiarkan air dingin membasahi tubuhku, berharap aku bisa jauh lebih tenang setelah ini.
Namun, alih-alih mendapatkan ketenangan usai mandi, aku justru dibuat kaget karena di kamar Lina tengah mengacungkan plastik roti dari toko Silvi.
"Ini apa, Pa?" tanya Lina dengan ekspresi marah padaku.
"Kamu apa-apaan, sih? Itu cuma plastik," kataku.
"Cuma plastik?" Lina mendorong dadaku keras. "Aku nggak bego, Mas! Aku tahu ini plastik rotinya si Silvi. Kamu pikir aku cuma diem aja dan nggak nyelidiki mantan istri kamu? Hah?"
Aku menarik tangan Lina turun dari dadaku. "Kamu tahu, aku punya anak dari Silvi. Aku harus tahu bagaimana mereka hidup, Ma."
"Dan kamu seenaknya ketemuan sama Silvi?" tanya Lina kasar.
"Aku nggak ketemu berdua sama Silvi. Kami sama anak-anak!" gertakku.
Air mata merebak di netra Lina. Aku memilih tak peduli.
"Kamu nggak dengerin omongan aku kemarin, Mas?" tanya Lina dengan nada kecewa. "Aku udah bilang, aku minta kamu jangan ketemu lagi sama Silvi. Kalian udah hidup sendiri-sendiri, dia juga baik-baik aja di sana, kenapa kamu harus nyariin Silvi?"
"Karena aku nggak bisa mengabaikan Silvi dan anak-anakku, Ma! Kamu ini kenapa nggak ngerti juga?" Aku menyugar rambutku kasar. "Aku punya tanggung jawab! Mereka anak-anakku, darah daging aku, sama kayak Lea!"
Lina menggeleng. "Lupain Silvi! Lupain anak-anak itu. Kamu udah punya aku dan Lea, Pa. Aku mohon!"
Aku menatap Lina sembari menggelengkan kepala. Kusentuh bahunya yang bergetar akibat tangis. "Kamu seorang ibu, Ma. Kamu pasti tahu gimana susahnya membesarkan anak. Dan Silvi berjuang sendiri selama ini ... 6 tahun lebih. Bayangkan! Kamu tega meminta aku mengabaikan mereka setelah semua ini?"
"Aku nggak akan ikhlas kalau kamu kasih uang ke mereka! Aku nggak mau berbagi nafkah sama anak-anak asing itu!" gertak Lina.
"Apa?" Aku melepaskan bahu istriku. Kutatap wajah merahnya yang dipenuhi amarah.
"Kamu denger, Mas. Aku nggak akan ikhlas kalau kamu mau kasih uang ke mereka. Aku nggak akan ikhlas kamu ketemu sama mereka. Kita udah bahagia, kamu nggak butuh mereka, Mas!"
"Keterlaluan kamu, Lin!" teriakku. Aku menuding wajahnya dengan kasar. "Aku nggak peduli dengan ucapan kamu. Mereka anak-anak aku, mereka juga berhak mendapatkan nafkah dari aku. Jadi, kamu nggak perlu mengatur aku."
"Kalau kamu mau ketemu sama mereka lagi ... kita cerai aja!" teriak Lina.
Jantungku dibuat hampir berhenti karena ucapan Lina. Aku menggeleng pelan lalu membuang napas panjang. Orang tua Lina sangat berpengaruh di perusahaanku. Namun, ucapan Lina sangat keterlaluan. Aku tak bisa lagi mengabaikan anak-anakku.
"Kalau itu yang kamu mau ... terserah," kataku.