Bab 9. Dipeluk Agus

1501 Kata
Pagi harinya, Riri mencoba mengabaikan rasa sakit akibat penolakan Abian tadi malam. Ia sudah sering ditolak, jadi ia tak perlu kesal atau bahkan menangis. Yah, sebenarnya ia sangat cengeng hingga ingin menangis jika teringat akan ucapan Abian. Riri membuang napas panjang lalu mengambil sisir. "Lebih baik aku fokus kuliah dan mikir gimana nanti kalau aku ketemu sama mas Agus. Aku bisa belajar masak mulai hari ini." Riri tersenyum. Ia menepis ingatan menyakitkan semalam dan membayangkan wajah tampan Agus. "Nggak sabar ketemu mas Agus. Semoga dia nggak galak-galak jadi gurunya." Jadi, setelah seharian belajar di kampus, Riri begitu bersemangat untuk pergi ke kafe Buchin. Ia belum pernah ke sana dan ternyata kafe itu lumayan jauh dari rumahnya. "Ramai juga," gumam Riri ketika ia keluar dari mobil. Ia menepuk kaca depan mobil dan Parman, sopir pribadinya. "Pak, ditinggal aja nggak apa-apa. Takutnya lama." "Oke, Non. Kalau udah mau pulang langsung telepon saya, ya." "Ya." Riri sudah memastikan ponselnya tidak kehabisan daya lagi. Ia juga membawa power bank hari ini. Jadi, ia tak akan mengalami hal mengerikan seperti dua hari yang lalu. "Kalau mama tanya, bilang aja aku lagi belajar di rumah temen." Parman mengangguk patuh pada Riri. Biasanya Riri akan membawa mobil sendiri ketika kuliah, tetapi karena ia baru saja sakit, kedua orang tuanya meminta ia diantar oleh sopir keluarga. Dan kini, Riri baru saja melangkahkan kakinya masuk ke kafe. Ia disambut pelayan yang begitu ramah. "Selamat datang, Kak! Kopinya diskon 20 persen hari ini khusus member, silakan diorder! Untuk pembelian di atas dua cup, dapat free donat dan untuk pembelian makanan di atas 50 ribu, ada free ice tea. Terima pendaftaran member jika belum memiliki kartunya," kata pelayan wanita itu. "Ya, makasih. Tapi, aku nggak mau makan di sini. Aku mau ketemu mas Agus," kata Riri. "Mas Agus?" Pelayan itu mengernyitkan keningnya. Riri sudah berkirim pesan dengan Agus sejak siang tadi dan sebenarnya Agus hanya membalas singkat yang isinya ia bisa datang ke sini kapan saja. "Ya, tadi udah janjian," jawab Riri. Tepat ketika itu, Agus muncul dari tirai yang tak jauh dari meja pemesanan. Pria itu memerhatikan Riri dari tempatnya berdiri lalu melambaikan tangan pada Amel, si pelayan yang diajak bicara Riri. "Oh, itu mas Agus. Silakan, Kak," ujar Amel seraya menunjuk Agus dengan tangannya. Riri menoleh cepat. Ia begitu senang karena bisa melihat Agus. Hari ini Agus tampak sangat keren dengan atasan putih ala chef dan juga apron kecoklatan. "Makasih, Mbak." Riri berdehem lalu berjalan mendekati Agus. Ia melambai kecil pada Agus dan tersenyum malu-malu. "Hai, Mas!" Riri menyapa Agus yang menyandarkan bahunya di kusen pintu. "Ehm, kamu udah makan siang?" tanya Agus. Riri menggeleng. Ia berpikir bahwa nanti setelah memasak, ia bisa menikmati makanannya. Namun, karena Agus baru saja bertanya soal makan siang, ia jadi merasa lapar sekali. "Kita makan dulu," ajak Agus. "Terus masaknya kapan?" tanya Riri. "Nanti. Sekarang dapur lagi sibuk-sibuknya," sahut Agus. Ia mengedikkan dagunya pada Riri lalu mengajak gadis itu ke ruangan lain. Riri baru sadar ia datang di jam makan siang yang memang padat dengan pelanggan. Ia pun mengikuti langkah Agus, hingga ia sadar mereka ada di ruangan yang mirip kantor. Ini pasti ruang kerja Agus. "Kita nggak apa-apa di sini?" tanya Riri. "Meja di luar penuh, kita di sini aja," kata Agus. Ia membuka tas bekalnya lalu meletakkan kotak demi kotak di atas meja ketika Riri duduk. "Mas bawa bekal?" tanya Riri takjub. Agus mengangguk pelan. "Kamu bisa makan ini juga. Aku bawa dua sendok." Riri mengulum senyum. Sungguh kehormatan besar ia bisa menikmati masakan Agus. Ia adalah penggemar channel memasak Agus. Sepertinya sudah setahun lebih ia mengikuti akun Agus. Jadi, dengan antusias ia mulai makan. Agus tak perlu bertanya soal rasa makanan buatannya. Wajah dan mata Riri menampakkan ekspresi bahwa gadis itu sangat menyukai masakannya. "Kamu mau belajar masak apa?" tanya Agus setelah beberapa detik mereka habiskan dengan mengunyah makanan. "Ehm ... nggak tahu," jawab Riri. Agus melongo. Ia tak tahu apakah Riri bodoh atau bersikap bodoh. Yang jelas sebenarnya jika ia tidak punya niat di balik kesepakatan ini, ia sungguh malas mengajari Riri memasak. "Yang bener aja? Kamu harusnya punya daftar makanan apa aja yang ingin kamu pelajari. Mungkin ... makanan kesukaan Abian?" Agus mencoba memberikan petunjuk pada Riri. Riri mengangguk sekarang. "Nasi goreng, ikan bakar, soto Betawi, sop ikan, batagor ikan, brownies keju dan nasi kuning." Agus mengangkat alisnya. Riri bicara cepat ketika mengucapkan deretan makanan kesukaan Abian. Riri pasti tahu banyak soal Abian. "Dari semua itu mana yang kamu nggak bisa masak?" tanya Agus. "Semua nggak bisa," jawab Riri. Lagi-lagi Agus dibuat jengkel dengan jawaban Riri. "Kamu sama sekali nggak bisa masak?" Riri mengangguk. "Bisa, sih. Tapi kadang rasanya aneh. Aku udah ngikutin resep, tapi kadang kepedesan atau aneh rasanya. Kata mas Abian nggak enak. Kata mama dan papa ... bumbunya kurang pas. Nggak tahu, deh." "Apa kamu cicipi masakan kamu?" tanya Agus untuk ke sekian kalinya. Riri mengangguk. Dan ia tak ingin mengatakan pada Agus seperti apa rasanya. Sungguh memprihatinkan. Mungkin, ia memang tidak berbakat memasak. Melihat eskpresi Riri lagi, mau tak mau Agus ikut prihatin. Ia yakin masakan Riri hasilnya tidak layak makan. "Ya udah, kita mulai yang gampang dulu. Kita bikin nasi goreng hari ini." "Aku juga pengen bikin bekal yang cantik kayak gini," kata Riri tiba-tiba. Ia menunjuk kotak bekal Agus. "Yang lucu dan dibentuk-bentuk. Itu aku juga nggak bisa." Agus mengangguk. "Kita pelajari satu-satu." "Yes!" Riri bersorak senang. Ia tertawa keras hingga membuat Agus menggeleng pelan. Dan setelah makan sembari mengobrol, akhirnya Agus membawa Riri ke dapur. Benar saja, suasana dapur sudah jauh lebih santai ketika itu. "Pakai apron ini," ujar Agus seraya mengulurkan apron pink pada Riri. Riri mengangguk. Ia membiarkan Agus menyimpan tasnya di kabinet atas lalu segera memakai apron. "Siapa, nih, Bos?" tanya salah satu koki di dapur. "Riri, dia mau belajar masak," jawab Agus. Koki itu nyengir saja pada Riri dan Agus lalu kembali berkutat dengan wajannya. Riri berada di sudut dapur bersama Agus. Ia melihat Agus menyiapkan beberapa hal di atas konter. "Kamu tahu apa yang paling penting ketika memasak?" "Ehm ... bumbu?" tanya Riri seraya melihat mangkuk-mangkuk kecil berisi aneka bumbu dapur. Agus menggeleng pelan. "Hati kamu yang paling penting." "Hah?" Riri ternganga tak mengerti. "Kamu mau pakai apa campurannya? Bakso? Sosis? Ayam?" tanya Agus pada Riri. "Ya. Semua, telur juga," jawab Riri. Agus mengangguk. "Kamu bisa potong-potong ini kalau gitu. Aku mau liat." Riri menoleh pada Agus yang melipat kedua tangannya di depan d**a. Ia merengut, ditatap oleh Agus sementara ia memotong bakso dan sosis sungguh mendebarkan. Apalagi ia memakai pisau dapur milik Agus yang berkilat. Ia sangat gugup. Agus tiba-tiba menjulurkan tangannya ke dagu Riri lalu mengangkatnya. "Gimana bisa kamu masak kalau cemberut gini?" Riri semakin cemberut. Ia sama sekali tak mengerti. "Mas apa-apaan, sih? Kita kan cuma masak!" "Cuma masak?" Agus tertawa pelan. Ia melepaskan dagu Riri lalu menatap potongan bakso dan sosis di depan Riri. "Ya. Kita cuma masak bukannya lagi jalan-jalan," jawab Riri ketus. Agus membuang napas panjang. "Aku udah bilang sama kamu, yang paling penting ketika memasak adalah hati kamu. Kalau kamu mau rasa masakan kamu enak, kamu harus memasak dengan tulus." "Aku tulus!" sergah Riri tak terima. Agus mencibir seketika. "Kalau kamu tulus, kamu nggak mungkin cemberut begini." "Jadi aku harus nyengir?" tanya Riri lalu membuat senyum lebar di wajahnya. Agus menggeleng pelan. Ia menegakkan tubuhnya lalu berdiri di belakang Riri. Gadis itu terkesiap sempurna karena ia bisa merasakan d**a keras Agus di punggungnya. Kedua tangan Agus melewati tubuhnya. Riri sangat gugup karena Agus seperti tengah memeluknya dari belakang. Ia bisa gila jika itu terjadi. Namun, tentu saja bukan itu yang dilakukan Agus. Riri menunduk, sepenuhnya malu ketika Agus memegangi tangannya yang sedang menggenggam gagang pisau. Tangan Agus sangat hangat. "Perasaan seseorang ketika memasak juga menentukan rasa hasil masakannya," bisik Agus di telinga Riri. Riri meremang, ia menoleh sedikit dan dengan posisi ini, ia bisa melihat wajah tampan Agus. Matanya, hidung, pipi, rahang dan bibir. Riri berdebar-debar. "Memasak itu harus dengan cinta. Bayangkan orang yang akan menyantap masakan kamu. Kalau kamu manyun kayak tadi, gimana bisa kamu menghasilkan masakan yang lezat? Itu bukan ketulusan," ujar Agus. Ia membantu Riri memotong bakso dan sosis dengan tangannya. Dada Riri bertalu-talu. Belum pernah ada pria yang melakukan ini padanya. "Apa yang kamu rasakan ketika kamu memasak biasanya?" tanya Agus. Kali ini lebih keras. "Aku ... aku takut rasanya nggak enak. Aku takut mas Abian nggak akan suka dan aku nggak yakin sama rasanya," kata Riri. Agus mengangguk. Ia menatap wajah Riri. Ia tahu sejak tadi Riri menatapnya dan ia tersenyum. "Ini pelajaran pertama kita." Ia memiringkan wajahnya hingga mereka semakin dekat. "Lain kali, kamu harus memasak dengan hati kamu. Jangan ragu apalagi takut. Dan bibir ini ...." Agus melepaskan pisaunya. Ia menunjuk bibir Riri dengan ujung telunjuknya. "Jangan pernah cemberut lagi." Riri seperti mau meledak. Bibirnya disentuh oleh Agus selama sedetik—mungkin tak sampai sedetik. Namun, itu sungguh mengejutkan. "Kita masak lain kali, kamu pasti udah kenyang. Kita pergi saja," ajak Agus. "Hah? Ke mana?" tanya Riri kaget. "Ikut aku!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN