BAB 17 A

1037 Kata
SUAMI ONLINE 17 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Satu kejutan bisa diperlukan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Tidak ada salahnya terus mencoba berbagai cara untuk bisa menyempurnakan sebuah pernikahan. Apalagi Kenes sudah mulai menjatuhkan hatinya. Hal ini akan lebih mudah membangun satu gejolak untuk satu keinginan. Danesh menyimpan cincin itu ke sakunya, lalu kembali menatap keindahan malam yang selalu mempesona. Malam seperti ini seakan menjadi candu untuknya setiap menjemput pujaan hati. "Cahaya bintang yang berkilauan persis seperti kehadiran Kenes yang selalu membuat hidup bercahaya," gumamnya dalam hati. Senyumnya terus merekah melihat banyaknya bintang yang tak terhitung di atas sana. Meski banyak bintang tapi yang bersinar terang hanya beberapa. Seperti hidupnya yang mempunyai beberapa alasan untuk tetap bersinar menghadapi dunia atas nama cinta. Meski menunggu terasa lama, Danesh tetap sabar menanti. Hingga akhirnya suara yang sangat ia rindukan memangil namanya. "Mas Danesh!" panggil Kenes dari arah pintu masuk. Setelah membuang sampah, Anto memberi tahu kalau Mas Bos ada di parkiran. Wanita yang kini telah sadar akan perasaannya berlari kecil menghampiri sang pria. Senyumnya merekah menghiasi kedua pipi. Hatinya juga berdebar karena menahan rindu. Ya, rindu itu kini merambat sampai ke jiwa. "Jangan lari-lari, nanti jatuh." Danesh berbalik dan menatap sang istri yang kini berada di hadapannya. "Enggak apa-apa. Kan, larinya di hati kamu. Jadi, kalau jatuh ya ... jatuh sayang," jawabnya dengan tertawa. "Weih ... udah bisa ngerayu sekarang. Padahal baru enggak ketemu beberapa jam loh ... kayaknya kalau lama enggak ketemu, aku bisa kenyang dirayu nih ...." Danesh diam-diam merasa bahagia melihat sikap Kenes yang perlahan mencair. "Nunggunya di dalam aja, yuk? Masih setengah jam lagi soalnya," ajaknya. Namun, suara seseorang di belakang Danesh membuat mereka menoleh. Seorang perempuan memakai hijab segi empat dengan warna coklat tua berdiri dengan membawa kantong plastik. "Mbak Kenes, maaf ... datengnya telat. Tadi lumayan sibuk," ucapnya sambil memberikan apa yang ia bawa. "Enggak apa-apa, Mbak Suci. Maaf, ya ... ngerepotin terus," jawab Kenes lalu menerima kantong plastik tersebut. Danesh hanya diam memperhatikan gerak Kenes yang selalu ramah pada semua partnernya. Mungkin karena inilah ia bisa menjadi seperti sekarang. "Harganya biasa, kan, Mbak?" "Iya, Mbak." Kenes memberikan dua lembar warna merah seperti biasanya. Semua bumbu kadang bisa habis dalam dua Minggu atau lebih, tergantung keadaan warung. Mbak Suci melirik pria yang masih duduk di atas motor. Ia menjadi penasaran tentang Mbak Kenes yang tiba-tiba ditungguin pria. Biasanya ia selalu pulang sendiri, tetapi malam ini .... "Mbak, itu pacarnya, ya?" bisik Mbak Suci takut terdengar pria yang sedang dibicarakan. Kenes tersenyum malu-malu. Ini memang baru pertama kali ditungguin oleh pria saat bekerja. Jangan tanya rasanya .... "Bukan pacar, tapi suami, Mbak ...," jawab wanita yang wajahnya kini seperti tomat. "Seriusan, Mbak? Kok, enggak ngabarin?" Mbak Suci sedikit terkejut tapi bahagia bisa melihat langganannya sudah melepas masa lajang. "Kemarin mendadak, Mbak ... memang tidak ada acara apa pun. Sekali lagi makasih, udah dianterin pesanannya nih ...." "Sama-sama ... sekali lagi, selamat ya ... kalau begitu saya pamit, takut kemaleman." Mbak Suci berlalu pergi dan semakin jauh dari pandangan. Danesh lagi dan lagi merasa senang karena statusnya sudah dianggap suami oleh Kenes. Ia masih saja menatap wanitanya dengan binar bahagia. Apalagi ditambah kejutan yang nanti akan ia berikan. "Aku di sini aja nunggunya. Kamu masuk lagi aja ...," titah Danesh masih dengan senyum yang semakin merekah. "Beneran? Ya udah, aku tinggal dulu." Kenes memilih melanjutkan kembali pekerjaannya yang hampir selesai. Ia tidak ingin membuat sang pria menunggu terlalu lama. Danesh pun kembali memandang langit malam yang indah. Tangannya sesekali mengusap cincin yang berada di sakunya. Sementara Kenes mempercepat gerak kerjanya agar selesai lebih awal. Kedua karyawannya menatap dengan senyum yang artinya entah apa. "Cie ... Mbak Bos, semangat banget mau pulang? Biasanya pulang paling terakhir," goda Yuyun sembari membereskan beberapa kursi. "Apaan, sih ... biasa aja kali ... kan, sekarang di rumah udah ada temen. Ya, harus pulang cepet, entar kasian kalau sendirian. Kalau nanti digondol janda perempatan gimana?" Kenes tidak lupa ikut mengimbangi candaan karayawannya. "Tinggal disemprot pakai cabai level sembilan lah, Mbak Bos ...." Anto pun ikut menimpali. Semua tertawa entah karena kelucuan yang mana. Saat Anto menata piring dan mangkuk, kepala Kenes mengingat sesuatu. Ya, cincinya mungkin tertinggal di sekitar situ. Ingatan setelah mencuci tangan kini kembali terngiang. Dengan cepat, Kenes melangkah menuju tumpukan piring dan mangkuk yang baru saja dibersihkan. Matanya meneliti setiap sudut tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan cincin pernikahannya. Kedua karyawannya menjadi heran dengan kelakuan Mbak Bos. "Lagi nyari sesuatu? Atau lagi berantakin sih, Mbak Bos?" tanya Anto yang ikut membantu memasukkan mangkuk ke rak piring. Kenes mendesah tanda menyerah. Mungkin belum rezekinya atau ... cincin itu ngambek karena sempat menganggapnya tidak menarik. "Enggak cari apa-apa," jawab Kenes pura-pura kuat. Padahal malu bercampur bingung kalau ketahuan menghilangkan cincin kawin. "Oh ... kalau gitu, ya, udah kita pulang. Kan, semuanya sudah beres," ajak Yuyun. "Kalian pulang dulu aja, nanti biar aku yang kunci," jawab Kenes seraya mempersilakan mereka pulang lebih dulu. Niatnya, ia ingin mencari sekali lagi cincinnya, siapa tahu ada tempat yang terlewat. Kedua karyawan itu berlalu meninggalkan Kenes sendirian. Setelah mereka menghilang di balik pintu, ia kembali melanjutkan pencarian. Baik dari ujung kiri sampai ujung kanan. Namun, tetap saja nihil, tidak ketemu. "Memang bukan rejeki ... harusnya pas dikasih mengucapkan terima kasih," rutuk Kenes sembari meremas rambutnya. Ia melangkah kembali ke meja kasir. Tangannya gesit menata penghasilan dan memasukkan dalam wadah khusus. Kemudian menguncinya rapat. Sebuah usaha yang bukan di kota besar, ia kadang ingin memberikan upah yang sesuai dengan hasil kerja karyawannya. Danesh yang melihat dua pengawal Kenes sudah meninggalkan warung menjadi bertanya-tanya. Kenapa istrinya juga belum keluar. Daripada pikiran ke mana-mana, Danesh memilih menyusul ke warung. Setelah sampai, ia bisa melihat wanita yang wajahnya tampak lusuh dan serius sedang duduk bersandar di kursi. Sepertinya Kenes belum menyadari kehadiran sang pria. "Sayang ... kok, belum keluar? Yuyun sama Anto udah pulang. Aku jadi nyusul ke sini. Wajahmu kenapa? Kusut begitu?" tanya Danesh sedikit panik. Hatinya merasa kasian melihat sang istri terlihat lelah. Kenes mendongak. Ada energi positif yang ia dapat karena melihat prianya. Ia yakin dengan ucapannya yang ikhlas akan cincinnya. "Tadi aku habis usaha cari cincinnya, tapi tetep enggak ketemu. Maaf, Mas ... jaga cincin aja enggak bisa," sesalnya lagi dengan wajah semakin tertunduk. -----***----- Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN