BAB 16 C

1052 Kata
SUAMI ONLINE 16 C Oleh: Kenong Auliya Zhafira Sementara di tempat lain, pria yang baru saja dikirimi pesan pertama kali sedang sibuk dengan para pembeli sayur-sayur hidroponik. Mereka datang dan pergi silih berganti meski baru beberapa menit duduk istirahat. Silviana yang melihat Danesh kerepotan menjadi tergerak ingin membantu. Bukankah sebagai teman harus saling membantu? "Aku bantuin ya? Kasian sama yang lain kalau nunggu terlalu lama," tawarnya yang langsung mengambil kantong plastik untuk menyimpan sayur sawi pilihan pengunjung. "Wah ... makasih. Maaf, nih, malah ngerepotin. Kamu di sini, kan, mau beli juga malah jadi bantuin," jawab Danesh seraya menoleh sekilas. Sedetik kemudian kembali sibuk dengan pengunjung. Hampir satu jam keduanya sibuk tanpa bisa istirahat sama sekali. Danesh bisa sedikit bernapas lega saat pengunjung terakhir berpamitan pulang. Sudah menjadi peraturan Danesh kalau ada jeda satu jam untuk beristirahat. Wanita yang pernah patah hati itu duduk di kursi kayu dengan wajah penuh keringat. Begitu juga Danesh. Duduk berjejeran dengan jarak yang tidak agak jauh adalah perisai sang pria untuk menjaga kepercayaan istrinya. "Sekali lagi, makasih ... gara-gara kamu jadi bisa selesai di waktu yang tepat," ucap Danesh setelah meneguk air mineral dalam botol yang terletak di dekat kursi kayu. "Sama-sama. Oh, ya ... gimana perasaan setelah nikah? Aku kira kamu bakal nolak perjodohan kemarin," tanya Silvi ingin tahu perasaan pria yang pernah membuatnya patah berkali-kali. Danesh tampak berpikir. Ia tidak mau menabur garam ke luka yang mungkin belum kering. "Em, gimana ya ... dari awal lihat fotonya, aku sebenarnya udah ngerasa klik. Sebagai anak, aku juga ingin membuat orang tua bahagia. Karena sejatinya dalam setiap hubungan akan menemukan caranya sendiri untuk bisa menaklukan hati pasangannya. Dengan catatan, kita melakukan semua perjuangan tanpa harus memaksa dia menerima kita jika hati belum bicara. Aku harap kamu bisa menemukan pria yang mau mendengar isi hatimu," jawab Danesh layaknya berpidato. Silviana mengangguk mengerti. Baginya, mencintai seseorang yang tidak menginginkan kehadirannya bukanlah hal sia-sia. Meskipun hati kesakitan tapi dirinya belajar bahwa tidak semua cinta harus memiliki. Ia bisa menjadi pribadi yang lebih kuat jika nanti hatinya dihantam luka lain. "Wuih ... keren! Ternyata menikah bisa membuat pria jadi puitis," puji Silviana diikuti tawanya. "Oiya jelas dan harus itu! Pria kadang juga harus puitis untuk senjata jika istri merajuk," jawab Danesh dengan tawa yang tidak kalah heboh. "Ya udah. Aku balik dulu. Udah dapet sayur juga. Salam buat Om dan Tante. Salam juga buat istrimu." Silviana bangkit berdiri dan melangkah menuju parkiran. Hatinya juga ikut melangkah meninggalkan impian cintanya yang sudah menjadi milik orang lain. "Hati-hati ...!" teriak Danesh saat wanita yang pernah menawarkan hatinya berlalu menjauh. Silviana melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan. Kini hatinya merasa lega untuk benar-benar melepaskan semuanya. Satu cinta menghilang, maka akan ada cinta lain yang menunggu. Danesh duduk kembali setelah memastikan Silviana tidak terlihat lagi oleh mata. Setelah obrolan dengannya, mendadak kepala Danesh mengingat Kenes. Ia ingin menyapanya lewat pesan. Jemarinya menyentuh layar ponsel dan merangkai beberapa kata manis untuk istrinya. Namun, satu pesan baru menghiasi kotak masuk. "Dari Kenes ternyata," batinnya menjadi riang gembira. Persis seperti anak TK yang mendapat balon dari gurunya. Seulas senyum menghiasi kedua pipi membaca pesan dari wanita yang telah menjadi kekasih halalnya. Tanpa menunggu lama, Danesh membalas pesan tersebut dengan debar yang semakin menjadi. Danesh [Aku lagi istirahat. Barusan pengunjung terakhir, Silviana sudah pulang. Kamu pasti masih sibuk. Terima kasih sudah mengirim pesan. Itu berarti kamu sedang memikirkanku. Ya udah, met sibuk ria. Nanti aku jemput.] Danesh memasukkan kembali ponsel di saku celana. Matanya memandang sayuran yang hijau dan terlihat subur. Rasanya menyegarkan. Mungkin hatinya sekarang juga merasakan kesegaran akan perubahan sikap Kenes. Cintanya menjadi semakin tumbuh subur dan menghijau menghiasi hati. Setelah masa istirahat selesai, Danesh melanjutkan lagi kegiatannya. Karena tidak terlalu ramai, ia memilih memeriksa tanaman dari rak atas ke bawah lalu ke bagian lainnya. Takut ada hama atau ulat. Namun, sepertinya aman karena sang ayah rutin menyemprotkan nutrisi dan vitamin juga insektisida alami untuk menangkal hama. Jika, bergelut dengan kegiatan membuat waktu seolah tidak terasa. Matahari kini sudah berada di ufuk barat. Danesh bergegas bersiap-siap untuk menjemput Kenes, mungkin berangkat setelah salat Maghrib. ~~ Waktu yang dinanti akhirnya tiba. Selepas salat Maghrib, Danesh berpamitan pulang pada orang tuanya. Meski tidak tinggal bersama tapi Danesh akan sering berkunjung untuk membantu mengelola sayur hidroponik. "Ma ... aku pulang dulu. Sekalian jemput Kenes," pamit Danesh pada sang mama yang sedang menonton acara kesukaan. "Hati-hati. Jangan lupa, kabari orang tua Kenes untuk kumpul di rumah kontrakannya," pesannya masih selalu sama. "Jangan lupa juga untuk segera membuat cucu," ucap Ayah ikut menimpali. "Insya Allah ... ya udah, aku pamit. Assalamu'alaikum ...." "Wa'alaikumsalam ...." Danesh meninggalkan sejenak rumah orang tuanya untuk menjemput sang istri tercinta. Bisa menjemput dan mengantar seperti sekarang akan selalu menjadi kegiatan yang tidak akan membosankan. Motor milik Kenes melaju dengan kecepatan sedang menyusuri jalanan yang penerangan lampunya tidak terlalu banyak. Maklum, masih ada jarak sawah antara rumah satu dengan rumah yang lain. Setelah melewati kesunyian, akhirnya lampu-lampu yang menghiasi di setiap jalan menjadi pemandangan indah. Danesh masih mengendarai dengan aman. Tiga puluh menit akhirnya membawa Danesh sampai di depan warung Kenes. Ia dapat melihat masih ada beberapa pengunjung yang menikmati seblak di malam hari. Ia memilih duduk di atas motor sembari menunggu Kenes selesai bekerja. Danesh menatap langit yang dipenuhi banyak bintang. Terlihat cantik. Andai bisa, ia ingin memetik satu untuk Kenes agar cintanya selalu berkilauan. Ketika sedang menikmati indahnya alam, ada suara yang memanggil. "Mas Bos!" Anto melangkah cepat menghampiri pria yang bisa membuat juragannya klepek-klepek. Danesh berbalik menatap Anto yang membawa dua bungkusan kantong sedang di kedua tangannya. "Eh, Anto. Bawa apaan?" "Mau buang sampah. Oh, ya, lihat Mas Bos, aku jadi inget sesuatu." Anto merogoh sakunya mencari cincin yang ia temukan di dekat tumpukan piring. Danesh mengernyitkan dahinya, menunggu benda apa yang sedang dicarinya. Seketika matanya melebar melihat benda yang begitu disesalkan Kenes ada di telapak tangan Anto. "Ini, punya, Mbak Bos, bukan? Tadi mau ngasih langsung, aku lupa," ucap Anto sembari cengar-cengir tidak jelas. Danesh mengambil cincin dari tangan Anto, lalu melirik bagian dalam. Ternyata memang benar, karena ada ukiran namanya. "Makasih ya ...." "Sama-sama. Saya pamit, Mas Bos ...." Anto berlalu menuju ke tempat pembuangan sampah. Danesh menatap cincin itu sekali lagi. Kenes pasti senang jika tahu cincinya ketemu. "Haruskah aku buat kejutan untuk ini? Siapa tahu nanti malam bisa dapat jatah." -----***---- Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN