Jam mata kuliah pertama sudah selesai sejak lima menit lalu. Kini aku, Kenny dan beberapa teman kami yang lain tengah menunggu pesanan makanan kami datang di kantin.
"Cal, kata anak-anak tadi kamu diantar cowok ya?" selidik Kenny.
Aku mengangkat kedua bahuku sebagai tanda bahwa aku sangat tidak peduli.
"Wah... parah. Masa melepas masa lajang, sahabatnya nggak diceritain," protes Kenny.
Andai ini bukan tempat umum, ingin sekali rasanya aku melemparkan meja berukuran 1×2 m di hadapanku ke kepala Kenny.
"Diem deh!" kesalku.
Kenny terkekeh kecil melihat kekesalanku. Dia memang selalu begitu. Menyebalkan.
Makanan pesanan kami datang bersamaan dengan getaran di ponselku.
Aku pun segera memeriksanya.
Nomor asing. Tapi, aku mengenalnya. Ini adalah nomor Edwin yang memang belum sempat aku simpan sejak semalam.
Aku memilih mengabaikannya. Aku memilih mulai menyantap hidangan di depanku karena tak mau membuang waktu istirahat makan siangku yang sangat berharga hanya untuk hal tidak penting. Namun, beberapa detik kemudian ponselku kembali bergetar.
"Angkat aja kenapa sih, Cal! Siapa tahu penting," usul Kenny.
"Nggak penting," balasku cepat.
Ting!
Sebuah pesan masuk.
Aku cukup penasaran dengan isinya. Akhirnya, aku pun membukanya.
'Angkat telepon dariku atau aku akan ke kampusmu sekarang!'
"Astaga! Kenapa dia sangat suka mengancamku sekarang?" ucapku refleks.
"Siapa?" tanya Kenny sembari mengunyah makanannya.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Kenny, ponselku kembali bergetar.
Aku menghela napas berat sebelum akhirnya beranjak menjauh dari teman-temanku untuk mengangkat telepon Edwin.
"Yaelah... yang udah taken, kalau dapet telepon dari pacar langsung ngejauh," ejek Kenny. Aku tak menggubrisnya.
"Halo"
"Kenapa harus ku ancam dulu baru kau mengangkat teleponku?"
"Hmm.. aku sedang makan siang. Kamu tahu kan, betapa berharganya jam istirahat makan siang bagi mahasiswi sepertiku," jawabku apa adanya.
"Itu bukan alasan yang tepat untuk kamu mengabaikan telepon dariku, Calista,"
"Lalu apa maksudmu lebih baik aku tidak makan saja dan mengangkat teleponmu itu?" tanyaku.
"..."
Aku tak mendengar jawaban apapun lagi darinya.
"Apa sudah tak ada yang ingin kamu bicarakan? Aku ingin melanjutkan acara makan siangku yang tertunda," kesalku.
"Hmm.. baiklah. Makanlah yang banyak! Aku tidak mau kamu sampai sakit karena kekurangan makan," ujarnya.
Oh, baguslah kalau dia sadar.
Aku pun segera mengakhiri sambungan telepon. Dasar! Tidak jelas banget orang itu. Apa coba tujuannya menelepon tadi? Buang-buang waktu saja.
Dan... baru saja aku duduk kembali di bangkuku, ada sebuah pesan masuk ke ponselku.
'Pastikan tidak ada seorang pun pria di meja makanmu!'
Aku melirik ke arah Kenny yang membalasku dengan tatapan penuh tanya.
"Ada apa?" tanyanya, seakan dia sadar dengan arti tatapanku yang tak biasa. Aku menggeleng kemudian menyimpan kembali ponselku.
Dia pikir dia siapa sampai berhak mengatur hidupku? Apalagi soal Kenny. Aku jauh lebih lama mengenal Kenny daripada laki-laki tidak jelas itu. Jadi tentu saja aku akan memilih mengabaikan peringatannya barusan.
"Habis berantem ya sama cowok kamu?" selidik Kenny.
"Aku single, ya!" ketusku.
"Tungguin aku masuk ke kelasnya!" pintaku pada Kenny ketika teman-temanku mulai bubar karena sebentar lagi memasuki jam kuliah kami berikutnya.
Dasar Edwin gila! Benar kan, aku sampai hampir ketinggalan teman-temanku yang lain karena harus meladeninya tadi.
"Iya. Kunyah aja yang bener, nggak usah buru-buru!" balas Kenny sabar.
*
Jam kuliahku hari ini telah usai. Aku memukul lengan Kenny dengan buku di tanganku. Aku kesal karena dari tadi ia terus mengejekku.
Yup. Saat ini aku sedang bersamanya. Berjalan keluar dari gedung perkuliahan seperti biasanya.
"Aww.. aww.." pekik Kenny sembari berlari menjauhiku
Aku terus mengejarnya sembari mendumel kesal.
"Kamu punya nyawa berapa sih berani ngejekin aku mulu?" tanyaku.
"Aww.. iya iya maaf. Bercandaan doang juga. Ish galak banget sih, kayak ayam habis bertelur." Tuh kan dia ngejek lagi.
"Ih.... ngeselin banget sih kamu!" kesalku.
"Iya maaf, Cal," ujarnya entah tulus atau tidak.
Kenny menahan tangan kananku yang hendak memukulnya lagi. Tubuhnya masih bergerak kesana-kemari menghindari tendangan-tendangan kakiku.
"Ya ampun! Tanganku cuma dua. Aku nggak bisa kalau harus megangin kaki kamu juga," keluh Kenny.
"Rasain! Nih.. nih.. siapa suruh iseng banget jadi orang? Rasain!" Aku masih terus melayangkan tendangan-tendangan ke arahnya.
"Calista Ardiansyah!"
Aku tersentak mendengar suara itu. Seketika, semua gerakanku terhenti.
"Lepaskan tanganmu dari kekasihku!"
Aku sempat merinding mendengar suara dingin nan penuh ancaman itu.
Dengan cepat, aku menarik tanganku dari Kenny, kemudian menatap sengit ke arah pria bersetelan jas mahal itu.
"Aku bukan pacar kamu!" kesalku pada lelaki itu. Rasa kesalku terhadap Kenny bahkan belum berkurang sedikitpun. Dan laki-laki gila itu malah menambahnya sekarang.
Dia tetap mempertahankan ekspresi dinginnya.
"Dia pacar kamu?" bisik Kenny padaku.
Aku menghela napas panjang kemudian menarik tangan Kenny.
"Ayo pulang!" ajakku, mengabaikan pertanyaan Kenny sebelumnya.
"Eh... aku cuma bawa motor," ujar Kenny.
Aku membelokan langkahku menuju parkiran motor, karena sebelumnya aku menariknya ke arah parkiran mobil.
Baru beberapa langkah, kakiku terhenti ketika seseorang menghadangku.
Edwin. Dia menatapku garang. Membuatku terdiam, mati kutu.
"Lepaskan tangannya!" suruhnya dengan nada dingin.
Aku tak menyahutinya. Aku malah semakin erat memegang tangan Kenny hingga terdengar ringisan kecil dari mulut sahabatku itu.
Dan aku rasakan, Kenny maju beberapa langkah kemudian berhenti tepat di sampingku.
"Aku bilang lepaskan tangannya, Calista!" bentak Edwin.
Aku memejamkan mataku erat-erat untuk sesaat. Takut? Tentu saja. Aku tidak suka dibentak. Bahkan kedua orang tuaku tak pernah melakukan hal menyebalkan itu padaku.
"Maaf sebelumnya, tapi Calista tidak suka dibentak seperti itu," ujar Kenny sembari melepaskan tangannya dariku.
Aku menatap ke arah Kenny sembari menggelengkan kepalaku. Kenny membalasku dengan senyuman.
"Hari ini, biar saya yang mengantarnya pulang. Sepertinya dia akan..."
"Tidak. Dia pulang denganku," potong Edwin cepat.
Kenny kembali mengalihkan pandangannya ke arah Edwin. Melemparkan tatapan protes pada pengusaha muda itu.
"Kenapa? Dia kekasihku. Wajar jika aku mengantarnya pulang," ucap Edwin yang sepertinya risih dengan tatapan Kenny.
"Aku nggak mau," tolakku.
"Calista," desis Edwin.
Dia menatapku tajam. Matanya seakan pisau yang menancam di jantungku.
"Ak.. aku mau pulang sama Kenny," ujarku hati-hati.
Aku tidak mau berada dalam bahaya saat hanya berdua dengannya. Apalagi saat emosinya seperti ini. Dia sangat mengerikan saat sedang marah.
"Jangan membuatku marah, Calista!" balasnya penuh penekanan.
"Kamu sudah marah. Dan kamu menakutkan saat marah. Kamu bisa saja membunuhku saat kita hanya berdua," cicitku. Entahlah tapi memang auranya semengerikan itu saat marah seperti ini.
"Aku nggak mau," lanjutku pelan.
Kenny menatapku dengan tatapan tak percaya. Setelah itu cepat-cepat ia melayangkan tatapan yang sulit diartikan ke arah Edwin.
"Anda psikopat?" tanya Kenny dengan nada bodohnya yang ia tujukan pada Edwin.
Aku dengar Edwin menghela napasnya. Kemudian, aku rasakan ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
"Aku tidak mungkin melukaimu, Calista. Kamu kekasihku," ujarnya melembut.
"Tapi kamu gila! Bagaimana bisa aku percaya padamu?" teriakku.
"Cal!" tegurnya. Aku menundukkan kepalaku ketika kembali mendengar nada mengerikan itu meluncur dari mulut Edwin. Apa aku bilang, dia memang mengerikan.
"Menurut aku dia nggak punya aura kriminal. Yang ada kentara sekali aura konglomeratnya. Kamu aja kali yang terlalu alay," bisik Kenny.
"Jangan berbisik dengan kekasihku! Jauhkan wajahmu!" tegur Edwin tak ramah.
"Nah, kalau over protective, aku rasa benar," lirih Kenny.
"Ayo Calista!" Edwin menarik tanganku ke arah mobilnya.
Aku mengikutinya dengan langkah beratku. Dia tidak menarikku dengan kasar. Hanya saja, aku tetap bisa merasakan paksaan darinya.
Dia membukakan pintu sampingnya untukku kemudian mendorongku pelan untuk segera masuk.
Beberapa detik kemudian, ia sudah duduk di sampingku. Ia langsung menjalankan mobilnya tanpa berucap sepatah kata pun padaku.
"Apakah kamu ada niat untuk menyakiti atau membunuhku?" tanyaku polos. Pasalnya, aura mengerikan masih terpancar jelas dari laki-laki dewasa di sampingku ini. Dan kali ini, kami hanya berdua di dalam mobil. Tidak salah kan, kalau aku lebih waspada?
Ditambah lagi, kejadian beruntun mawar hitam itu terus membayangiku. Rasanya aku jadi parno sendiri setiap saat.
Edwin masih terdiam. Aku pun semakin merasa terancam.
"Kata orang, diam artinya 'Ya'. Jadi, kamu berniat untuk membunuhku?" tanyaku lagi dengan tangan yang mulai bergetar dan degup jantung tak karuan.
"Aku sudah mengatakannya tadi," ungkapnya singkat.
"Mengatakan apa?" bingungku.
Aku dengar ia menghela napas panjang. Dan aku masih setia menunggu jawabannya. Namun dia tak kunjung bersuara.
"Loh.. ini bukan arah ke rumahku!" kagetku.
Aku kembali merinding. Apakah ia akan membawaku ke tempat sepi kemudian membunuhku dengan kejam?
Tidak. Ku mohon aku belum mau mati sekarang.
Papa, Mama, tolong Calista!
Bersambung ....
Kira-kira apa yang akan Edwin lakukan ke Calista? Apa benar dugaan Calista kalau Edwin adalah seorang psikopat? Atau bahkan, mungkinkah Edwin ada kaitannya dengan teror mawar hitam yang selama ini menghantui Calista?
Penasarannn?? Nantikan kelanjutannya besok. Ramaikan kolom komentar biar semangat mengetikku lebih membara, dan kita bisa sama-sama puas main puzzle bersama :)
Terima kasih sudah mampir dan mengapresiasi ceritaku :)