Black Rose - 06

1549 Kata
Hay... chapter 6 datang...  Selamat membaca kisah Calista dan Edwin. Masih dari sudut pandang Calista, ya. Karena entah kenapa, untuk genre misteri aku merasa lebih nyaman pakai POV si tokoh utama  Edwin menghentikan laju mobilnya di halaman sebuah rumah yang besarnya dua kali lipat dari rumahku. Melihatnya dari depan saja aku yakin, jika pemilik rumah ini adalah salah satu konglomerat terkaya di negeri ini, lebih dari Papa. Apakah ini rumah keluarga Edwin? "Ayo turun!" ajak Edwin. Aku tersingkap kemudian membuka pintu mobilnya secara refleks. "Ini rumah siapa?" tanyaku sesaat setelah menutup kembali pintu mobil. "Masuk!" ajaknya lagi. Aku pun mengikuti langkah Edwin memasuki rumah itu.  Sepi. Itulah yang ku rasakan. "Apakah ini rumahmu? Kenapa sepi sekali? Di mana keluargamu?" tanyaku lagi. Edwin menghentikan langkahnya kemudian menghadap ke arahku secara tiba-tiba. "Aku tidak punya keluarga," jawab Edwin. Aku dapat mendengar kesedihan dari nada bicaranya. Ini pertama kalinya aku mendengar suaranya yang begitu memilukan. "Oh.. maaf," ujarku. Sepertinya aku salah bicara. Aku bertanya terlalu jauh. Dia tersenyum. Lalu dia meraih tanganku dan menarikku lebih dalam memasuki rumahnya. "Duduklah! Aku akan menyiapkan makanan ringan untukmu," ujar Edwin lembut. Aku sempat menyerit sebelum akhirnya menurut padanya. Aku duduk di sebuah kursi di ruang makan.  Aku dapat melihat dengan jelas Edwin yang kini tengah sibuk di dapur. Dia mengambil beberapa buah kentang kemudian mengupasnya. Wow. Bahkan aku tidak bisa mengupas kentang serapi yang Edwin lakukan. Itu luar biasa. Dia nampak begitu ahli memainkan pisau di tangannya. Sepertinya, memasak adalah salah satu keahliannya tersembunyi yang ia miliki. Lima belas menit kemudian.... "Makanlah!" Aku tercengang melihat masakannya. Simple, french fries dan puding setengah jadi berwarna pink yang sangat cantik. "Benarkah kau yang membuatnya?" tanyaku. "Bagaimana yang kau lihat?" Bodoh. Jelas-jelas dari tadi aku melihat Edwin memasaknya. Kenapa masih bertanya? "Untukku?" Dan lagi, aku merasa melemparkan pertanyaan yang begitu bodoh entah untuk keberapa kalinya. Edwin tertawa kecil. Tangannya terulur untuk mengacak-acak rambut atasku. "Isshh.." kesalku "Makanlah! Habiskan! Aku mau ganti baju dulu," suruhnya lembut. Aku mengangguk. Makan adalah salah satu hobiku. Jadi tak mungkin aku menolaknya. Setelah kepergian Edwin, aku mulai menyantap masakan pria itu. Hmm.... Enak sekali. Bahkan lebih enak daripada french fries dan puding yang biasanya aku beli. Ah ya, aku tidak begitu pandai memasak meskipun aku suka makan. Aku lebih suka membeli makanan yang ingin aku makan, daripada membuatnya sendiri. Aku menghabiskan dua makanan itu dalam waktu beberapa menit saja. "Kamu menyukainya?" tanya seseorang dari arah belakangku. Aku menolehkan kepalaku dan tersenyum melihat Edwin yang kini hanya memakai celana panjang dan kaus santainya. Lagi, aku seperti menemukan sosok lain dari laki-laki itu. Sosok yang menambah nilai plusku terhadapnya. Ternyata dia tak semengerikan yang aku pikir. "Masakanmu enak juga. Kenapa tidak jadi chef saja?" tanyaku basa-basi. Edwin menarik kursi di hadapanku kemudian duduk di sana. "Enak saja. Tidak sembarangan orang boleh memakan masakanku," jawabnya. Tidak sembarangan orang? Lalu aku??? "Besok minggu aku akan menjemputmu lagi ke sini. Akan aku masakkan makan siang untuk kita. Bagaimana?" tawarnya. "Hah?" kagetku. Bukankah barusan dia bilang tidak sembarangan orang boleh memakan masakannya? "Oh ya, aku lupa. Aku tidak menerima penolakan. Minggu jam sepuluh siang aku akan menjemputmu. Dan sebagai bonus, kamu mendapat tontonan gratis melihatku memasak," ujar Edwin dengan sombongnya. "Kamu bilang, tidak sembarangan orang boleh memakan masakanmu," bingungku. Aku meringis saat Edwin mencubit pipi kiriku gemas. Oh tolonglah, aku bukan lagi balita yang suka diperlakukan seperti ini. "Sakittt!" ringisku. "Kamu bukan orang sembarangan, Calista. Kamu itu berarti untuk hidupku. Orang terpenting di hidupku saat ini," terang Edwin. Aku terdiam. Memikirkan setiap kata yang Edwin katakan. Benarkah? Tapi mengapa? Kenapa harus aku? "Apa yang istimewa dariku?" tanyaku. "Hmm... kau cantik," pujinya. "Terima kasih. Tapi di luar sana masih banyak yang lebih cantik dariku. Dan yang seusiamu pun juga ku rasa banyak yang lebih baik dariku. Secara karir, jangan ditanya. Bahkan aku belum lulus kuliah," terangku. Mendengar deskripsiku tentang diriku sendiri, aku baru sadar, ternyata di hadapan seorang Edwin Romi aku ini bukan apa-apa. Sangat tidak sebanding dengannya. Edwin tersenyum kemudian menatapku serius. "Karena kamu berbeda. Dan aku hanya menginginkanmu sebagai milikku, bukan orang lain," ujarnya serius. Aku menundukkan kepalaku. Menghindari tatapannya yang begitu memabukkan. "Kamu adalah satu-satunya yang aku punya, Calista. Setelah bertemu denganmu, aku seperti mendapat sebuah alasan," lanjutnya. "Alasan apa?" bingungku "Alasan untuk apa aku hidup selama ini. Dan, jawabannya adalah dirimu," jawab Edwin dalam satu tarikan napas. Aku tersentuh dengan kata-katanya. Ah... ku rasa pipiku mulai merona sekarang. Rasanya panas, dan aku malu. "Hmm.. siapa yang mengajarimu memasak sampai masakanmu bisa seenak itu?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan. Edwin serkekeh. Sepertinya ia mengetahui maksud pertanyaan yang baru saja aku lontarkan. "Tanteku. Dia memang hebat dalam segala hal. Apa lagi urusan dapur," ujar Edwin. "Wow. Benarkah? Di mana Beliau sekarang?" tanyaku begitu antusias. Kalau Edwin saja bisa memasak seenak itu, bukankah itu artinya 'guru' nya bisa melakukan lebih baik? "Sudah meninggal. Aku sudah bilang kan, aku sebatang kara sekarang," terang Edwin. Lagi. Aku melihat kesedihan di sorot matanya. "Ma.. maaf. Aku nggak bermaksud buat...." "Sudahlah, tidak apa-apa. Toh sekarang aku sudah memilikimu. Itu yang terpenting sekarang," potong Edwin cepat. Setelah berbincangan di ruang makan, Edwin mengajakku berkeliling rumah mewahnya. Ia juga menanyakan banyak hal tentangku. Dari mulai keluarga, sekolah, teman-teman, pokoknya semua tentangku. Apakah dia serius menginginkanku untuk menjadi kekasihnya? Tapi, setelah apa yang kami lalui hari ini, sepertinya laki-laki itu serius dengan ucapannya. Pukul 16.00, Edwin mengantarku pulang. Tampak Mama yang sudah menunggu di teras depan. "Astaga, sayang! Kamu dari mana saja?" tanya mamaku. "Calista dari rumah saya," jawab Edwin yang setia berdiri di sampingku. "Loh, Nak Edwin?" kaget mamaku. "Maaf, Calista buat Mama khawatir ya?" Mama kembali beralih padaku. Beliau menggeleng. "Jangan diulangi lagi ya, sayang! Kalau mau ke mana-mana, izin Mama sama Papa dulu!" ujar Mama. Edwin meraih tangan kananku kemudian menggenggamnya. Aku lihat Mama sedikit menyerit bingung melihatnya. "Saya akan menjaga Calista selagi dia pergi bersama saya. Anda tidak perlu khawatir," ungkap Edwin. "Hmm... tapi, apa kalian memiliki hubungan spesial? Atau hanya karena mas...." "Calista kekasih saya," potong Edwin. Aku melemparkan tatapan protesku pada Edwin. Kenapa dia begitu mudahnya mengatakan hal itu pada mamaku? "Hmmm... Ma..." "Benarkah?" tanya Mama. Edwin mengangguk mantab. "Jadi Tante tak perlu khawatir saat Calista pergi bersama saya. Karena saya pastikan, tak ada seorang pun yang berani menyentuhnya saat saya berada di sampingnya," terang Edwin panjang lebar. Mama menatapku. Seperti mencari kepastian dariku. Namun, aku hanya diam. Entahlah. Aku sendiri tak mengerti dengan jalan pikiranku saat ini. "Ba.. baiklah. Asal Nak Edwin berjanji akan selalu menjaga Calista, Tante akan merestui hubungan kalian," balas Mama pada akhirnya. Aku tercengang mendengar kalimat-kalimat yang Mama lontarkan. "Semudah itu?" kagetku. "Maksud kamu?" bingung Mama. Aku menoleh ke arah Edwin yang saat ini menatapku tajam. Baiklah, aku harus kembali mengalah dan mengunci rapat mulutku. "Eng.. enggak, Ma. Tapi Mama kan belum kenal Edwin juga. Masa-" "Sudahlah. Aku sudah cukup bersyukur mendapat restu dari mamamu," potong Edwin. Seketika suasana menjadi hening. "Nak Edwin mau masuk dulu?" tawar Mama. Edwin menggeleng. "Tidak usah. Lebih baik Calista beristirahat sekarang. Saya tidak ingin mengganggunya beristirahat," tolak Edwin. Tak lama setelah itu, Edwin pamit pulang. Aku dan Mama pun segera masuk ke dalam rumah. "Kamu serius berpacaran dengan Nak Edwin? Kamu dulu apa dia dulu yang mengungkapkannya?" tanya Mama. "Ma, Edwin pengen Calista istirahat loh. Kok malah Mama kepoin sih?" kesalku. Mama menghadangku yang hendak menaiki anak tangga. "Mama nggak kepo. Mama cuma mau tahu aja, kok bisa gitu kamu pacaran sama dia?" desak Mama. "Ceritanya panjang, Ma," ujarku sembari menghentak-hentakkan kakiku. Tatapan Mama berubah menjadi sendu. Kedua tangannya bertengger di bahuku. "Kamu terpaksa menjalaninya? Apa dia menyakitimu?" tanya Mama. "Siapa yang berani menyakiti Calista?" Suara itu berhasil membuatku dan Mama menolehkan kepala. Papa? Papa berjalan ke arah kami. Gawat. Bisa jadi masalah besar kalau Papa sampai tahu inti pembicaraanku dengan Mama. Bisa-bisa aku disidang oleh kedua orang tuaku itu. Dan payahnya, aku tidak tahu harus menjawab apa atas rentetan pertanyaan mereka nantinya. "Apa ada orang yang melukaimu, sayang?" tanya Papa lembut setelah aku bersalaman dengan Beliau. Aku menggeleng. "Tidak ada, Pa," jawabku cepat. "Kamu tidak bohong kan?" selidik Papa Aku kembali menggeleng. "Semua baik-baik saja, Pa. Tidak ada yang melukai Calista," jawabku lagi. Papa mengangguk percaya kemudian mencium puncak kepalaku. "Ya sudah, Papa ke kamar dulu ya!" pamitnya. Aku mengangguk dan membiarkan Papa pergi.  Aku menghela napas panjang. Satu masalah, selesai. Aku kembali menatap Mama yang masih menghadang jalanku. "Mama masih penasaran sama hubungan kamu dan Edwin," ujar Mama sebelum akhirnya membiarkanku menaiki anak tangga. Maaf, Ma... tapi aku rasa ini bukan waktunya. Perlakuan Edwin padaku juga baik. Aku mulai melihat sisi baik pada laki-laki itu hari ini. Aku tidak mau Mama membencinya jika tahu dan menjadi salah paham dengan masalah kami yang sebenarnya. Karena menurutku, ini memang terlalu rumit untuk aku jelaskan sekarang. *** Bersambung .... Apakah sebaiknya Calista belajar menerima Edwin? Toh dia nggak bisa lari semudah itu dari Edwin. Dan dia juga mulai bisa melihat sisi baik dari seorang Edwin Romi. Aku mau mengingatkan, cerita ini genrenya misteri roman. Aku pertama menulis ini di aplikasi oren, dengan judul yang sama, baru dapat 9 bab di awal 2018, lalu aku unpublish karena saat itu aku mau fokus ke seriesnya MBF dulu, karena menurutku cerita ini cukup berat. Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa ramaikan kolom komentar, biar nanti dapat notif balasan saat chapter selanjutnya sudah terpublish :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN