Black Rose - 04

1413 Kata
Malam menjelang. Saat ini aku tengah menikmati makan malam bersama orang tuaku. "Cal, kenapa cuma diam saja dari tadi? Biasanya kamu akan cerita banyak hal saat makan malam." Aku memutar tatapanku ke arah Papa. "Hmm... Calista tidak apa-apa kok, Pa. Capek aja," dustaku. Aku memang merasa aneh hari ini. Ucapan Edwin terus melayang-layang di otakku. Ada apa ini? Aku tidak berhadap lebih padanya, bukan? "Cal," panggil Mama. "Ya, Ma?" sahutku. "Apa kamu masih memikirkan pengirim kado kemarin?" tanya Papa. Aku menggeleng. "Lalu kamu kenapa, sayang?" tanya Mama khawatir. "Calista cuma capek aja, Ma, Pa. Udah yuk, dilanjut aja makannya!" balasku berusaha mengalihkan perhatian. Selesai makan malam, aku segera pamit ke kamarku. Aku beralasan ingin mengerjakan PR fisika yang susah. Bohong! Aku langsung duduk di tepi tempat tidurku sembari memijat pelipisku sampainya di kamar. "Aku, kekasihmu. Dan kau milikku. Tidak ada bantahan untuk itu," Tidak! Berhentilah memikirkannya, Calista! Di sini kesannya seperti kamu mengharapkan semua itu nyata. Padahal tidak! Seharusnya kamu tidak begini, Cal! Getaran ponselku yang berada di atas nakas berhasil membuyarkan lamunanku. Aku pun segera meraihnya. Tertera nomor yang tak dikenal melakukan panggilan. 'Siapa?' pikirku. Dengan ragu, aku pun mengangkatnya. "Halo, maaf siapa ya?" "Halo, sayang. Ini aku, Edwin." Edwin? Dia dapat kontakku dari mana? Untuk apa dia menghubungiku malam-malam begini? Tidak! Pikiran buruk itu tidak boleh menghantuiku lagi! Dia hanya membual, Cal! Apa yang ia katakan itu tidak serius. Jangan sampai kamu baper gara-gara dia. "Calista," "Hmm... ya. Maaf ada apa ya?" tanyaku tetap berusaha sopan. Terdengar helaan napas panjang di seberang sana. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku barusan? "Sudah aku katakan berkali-kali, jangan menganggapku orang asing seperti itu! Aku kekasihmu." Aku memilih diam. Sibuk dengan pikiranku sendiri. Berusaha menyadarkanku dari alam mimpi. "Calista!" Aku sempat terpenjat mendengar suara Edwin yang cukup keras dan tegas. "Ku harap mulutmu masih utuh dan ada pada tempatnya sekarang." "Ma.. ma.. maaf," cicitku. "Apa yang sedang kau lakukan?" "Tidak ada," jawabku apa adanya. "Beristirahatlah! Jangan sampai kamu sakit!" "Hmm.. baiklah." "Tapi... tunggu! Aku ingin bertanya beberapa hal pada Anda, emm.. maksudku, kamu." "Hmm.. katakanlah!" Aku ragu untuk mengatakannya. Aku hanya ingin memastikan jika ia hanya bercanda saat meng-klaimku sebagai kekasihnya. Tapi bagaimana cara aku mengatakannya? "Tentang ucapanmu sejak tadi siang, dan emmm.. semuanya, apakah itu... hmmm..." sssh kenapa tiba-tiba lidahku terasa kelu dan tidak bisa berbicara dengan jelas sih? Padahal apa yang mau aku ucapkan sudah ter-planning dengan baik di kepalaku. "Ya. Semua benar. Aku bisa mengulanginya jika kau merasa itu perlu," potongnya. Dari nada bicaranya, dia mengatakannya seolah benar-benar tanpa beban. "Eh! Tidak!" potongku cepat. "Tapi aku nggak.." "Sudah aku katakan juga, jika aku tidak menerima penolakan. Aku tetap kekasihmu, meski sekarang kamu tidak bisa langsung menerimaku!" potongnya dengan nada dingin. Aku terdiam ketika merasakan tenggorokanku kering. "Kamu paham?" Aku tak langsung menjawab. Memang aku harus menjawab apa? Aku paham, hanya saja aku tidak bisa menerimanya. "Paham?" ulangnya karena tak kunjung mendapat jawaban dariku. "Hmm.." balasku pada akhirnya. Telepon pun dimatikan secara sepihak. Aku menghela napas panjang kemudian menelangkupkan tanganku menutupi wajah. Kekasih? Apa benar aku sekarang memiliki seorang kekasih? Tapi... kenapa juga harus dia yang menjadi pacar pertamaku? Maksudku, di antara banyaknya laki-laki yang aku kenal, kenapa harus dia? Sepertinya aku pun tak kekurangan teman laki-laki yang sebaya denganku. Sadarlah, Cal! Bangunlah! Ini hanya mimpi! Tidak mungkin dia kekasihmu. Tidak mungkin seorang Edwin Romi benar-benar menjasi kekasihmu. * Hari berganti. Aku sudah siap dengan pakaian sekolahku. Aku pun segera membuka pintu utama rumahku selesai aku sarapan dengan Mama dan Papa. 'Sekk..' Sepertinya aku menginjak sesuatu. Aku melihat ke bawah dan menemukan sebuah bunga di samping kaki kiriku. 'Good morning, my Black Rose' Itulah yang tertulis di sebuah kertas kecil yang menempel pada tangkai bunga yang aku injak. Setangkai mawar hitam. Sama persis seperti yang ku dapat di hari ulang tahunku. Siapa si peneror itu sebenarnya? Membuat kesal saja pagi-pagi begini. Aku melemparkan mawar hitam serta surat kaleng itu ke tempat sampah sebelum akhirnya menghampiri Pak Joko. "Ada apa, Non? Kok sepertinya Nona terlihat kesal?" tanya Pak Joko. "Itu, Pak. Ada teror mawar hitam lagi," jawabku. "Apa Bapak tahu siapa pengirimnya? Atau ada orang yang mencurigakan masuk ke pekarangan rumah?" tanyaku. Pak Joko tampak berpikir. "Sepertinya tidak ada, Non. Apa surat itu berisi ancaman atau semacamnya?" Aku menggeleng. "Yang tadi sih enggak. Tapi pas ulang tahunku kemarin iya," terangku. "Apa tidak sebaiknya lapor ke pihak berwajib saja, Non? Sepertinya ini masalah serius," usul Pak Joko. Apakah perlu? Jujur saja, awalnya aku sempat takut dengan ancaman itu. Tapi, setelah dua hari berlalu tak ada gangguan apapun yang aku dapat selain mawar hitam dan surat kaleng pagi ini. Sepertinya ia tak cukup serius dengan ancamannya. "Sepertinya belum perlu, Pak. Udah yuk, Pak berangkat!" ujarku. Pak Joko mengangguk mengerti kemudian menyalakan mesin mobil.  Baru beberapa meter kami meninggalkan pekarangan rumah, Pak Joko menghentikan laju mobil kami. "Ada apa, Pak?" bingungku. "Itu, Non," jawab Pak Joko menggantung. Aku mengalihkan tatapanku ke depan. Sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik berhenti tepat di depan mobilku. Tunggu! Sepertinya aku mengenali mobil itu. 'Glep' Dugaanku benar. Mobil itu adalah mobil yang mengantarku pulang kemarin. Mobil Edwin. Edwin berjalan ke arahku kemudian membuka pintu belakang mobilku. Tepatnya, pintu di sampingku. "Non..." Pak Joko. "Keluar!" suruh Edwin dengan nada dingin. Tunggu! Apa aku berbuat salah padanya? Kenapa nada bicaranya terdengar sangat tidak mengenakan? "Cepat keluar, Calista!" ulangnya. Tak mau berdebat, aku pun menuruti ucapannya. Aku berdiri berhadapan dengannya. Menatapnya dengan penuh tanya. "Ada apa ya?" tanyaku. "Non.." Ternyata Pak Joko juga ikut keluar dan menghampiriku dengan terburu-buru. "Jangan ikut campur!" ujar Edwin sembari menatap tajam Pak Joko. "Ta.. tapi.. tapi, Non..." "Tidak apa-apa, Pak. Saya mengenalnya kok. Beliau bukan orang jahat," balasku berusaha menenangkan Pak Joko. Aku tersentak saat merasakan tanganku di tarik paksa oleh Edwin. Dia menarikku dan membawaku hingga mobilnya. "Anda penculik? Anda mau menculik majikan saya?" tanya Pak Joko yang masih terus mengejar kami. "Saya bilang pergi dan tidak usah ikut campur!" usir Edwin pada Pak Joko, bahkan laki-laki itu juga mendorong sopirku ketika merasa jalannya di halangi. "Tunggu sebentar!" Aku menghempaskan kasar tangan Edwin hingga pegangannya terlepas. "Anda mau apa lagi sih? Aku mau sekolah," kesalku. "Kamu ke sekolah bersamaku!" Aku hanya diam. Menatap tak percaya ke arahnya. Hanya untuk alasan tidak penting itu dia menghalangi laju mobilku? "Cepat masuk!" suruhnya lagi setelah membuka pintu mobilnya. Aku menggeleng. "Aku nggak mau," tolakku. Ku lihat rahangnya mengeras. Dia mencengkram tanganku kuat lalu mendorongku hingga duduk di samping kursi kemudi mobilnya. 'Brakks' Aku kembali tersentak saat mobil di sampingku di ditutup secara kasar. "Non Calista!" pekik Pak Joko. Sangat jelas kalau Beliau khawatir dengan posisiku sekarang. Baru saja Pak Joko mendekat hendak menolongku, Edwin memukulnya hingga tersungkur. Aku menutup mataku sejenak. Tak tega melihat kekerasan di depan mataku sendiri. Apakah Edwin sudah gila? Apa dia adalah jenis orang yang ringan tangan? Atau lebih parahnya, apa dia adalah psikopat? Dengan secepat kilat, kini Edwin sudah duduk di sampingku. Ia memasang sabuk pengamannya dengan tenang kemudian segera menghidupkan mesin mobilnya. Ia bertingkah seolah tidak berbuat hal buruk apapun. "Apa kamu baru saja menculikku?" "Bahkan kamu menganiaya supirku!" "Hey! Kamu dengar aku? Aku akan melaporkanmu kepada pihak berwajib!" Ancamanku seolah angin lalu baginya. Ia tetap mengemudikan mobilnya santai di jalanan ramai ibu kota. Aku pun memilih melipat kedua tanganku serta mengalihkan tatapanku ke arah lain. Setelah sepuluh menit kami saling terdiam, Edwin menghentikan laju mobilnya. Tepat di depan gerbang sekolahku. "Hari ini kamu pulang pukul tiga. Dan aku usahakan akan sampai di sini beberapa menit sebelum kamu keluar," terang Edwin. "Untuk apa?" bingungku. "Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku yang akan mengantar jemput kamu sekolah mulai hari ini," balas Edwin. Aku menghela napas. Harus bagaimana caraku menyampaikan pada pria ini jika aku tidak menyetujuinya? Bahasa apa yang sebaiknya aku gunakan agar dia bisa mengerti ucapanku? "Tidak ada penolakan, Calista. Sekarang turunlah dan belajar dengan baik! Kamu harus jadi calon ibu yang cerdas untuk anak-anakku kelak!" ujar Edwin sembari menepuk puncak kepalaku lembut. Ah... jangan lupakan senyum aneh yang ia lempar setelah mengatakannya. Aku menganga tak percaya mendengar kalimat terakhir yang Edwin katakan. Apakah ia ingin sekali merasakan tamparanku? *** Bersambung.... Akhirnya..... setelah banyak drama, kita bisa bertemu setiap hari dengan pasangan Calista dan Edwin bulan ini. Jangan lupa, genre utama cerita ini misteri romantis, jadi tidak sekadar baper-baperan seperti ceritaku yang lain, tapi melalui cerita ini, aku ingin mengajak pembaca untuk sebuah misteri besar di kehidupan Calista. Bagaimana, bersediakah kamu bermain puzzle denganku? Jangan lupa ramaikan kolom komentar juga! Mari bermain tebak-tebakan bersamaku! :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN