5. He

983 Kata
"Aku akan ikut pindah ke Jakarta, " Ucap Bening yang membuat Vina terkejut. "Kamu serius? " Seingat Vina, kemarin Bening menolak usulannya untuk pindah ke Jakarta. "Iya. Kenapa enggak? Setelah aku pikir-pikir, tawaran bekerja di Jakarta bukan hal buruk. Tante Isti kemarin juga minta aku kembali ke Jakarta. " Hal itu memang benar namun Bening menolak keinginan tantenya. "Tapi bukannya kamu nggak mau kembali ke Jakarta karena Sa- maksud aku mantan kamu? " "Sampai kapan aku harus sembunyi. Seperti kata kamu aku harus hadapi dia. Apa salahnya bertemu mantan?" "Tapi kalau di-" "Aku bisa mengurusnya. Kamu jangan khawatirkan hal itu. " Walaupun Bening memberikan alasan yang masuk akal tapi Vina masih ragu jika Bening mengambil keputusan itu begitu saja. Dia sangat kenal Bening. Sahabatnya itu keras kepala. Jika sudah memutuskan A, makan akan tetap A. Tidak akan berubah menjadi B. Tapi ya sudahlah. Setidaknya dia tidak akan meninggalkan Bening di Surabaya sendirian. Sahabatnya itu tidak punya siapa-siapa di sana. "Salad-nya enak." Bening menikmati salad yang di bawa Vina. Di surabaya Bening tinggal di rumah Vina. Sebenarnya mereka tinggal bersama tetapi Vina jarang pulang. Jangan tanya kenapa dia jarang pulang ke rumahnya sendiri? Dia kebanyakan pulang ke rumah Ben. "Sekarang aku benci salad. Padahal itu makanan favoritku. " Vina terlihat ngeri melihat Bening yang lahap memakan salad. "Itu bawaan bayi. Sebaiknya kamu jangan keseringan makan salad, kasihan bayi kamu. Makan yang banyak itu lebih baik. " Vina mendelik. "Kamu nyuruh aku jadi gendut? " Bening terkekeh. "Nanti juga kamu bakal gendut. Baret badan kamu pasti naik banyak. Ya... Kira-kira 15-20 kilo, bahkan bisa lebih. " Vina syok. Baginya naik berat badan sekilo saja itu sudah masalah besar apalagi sebanyak itu. "Itu mengerikan. " Bening hanya bisa tertawa. Sebenarnya, tanpa Vina tahu Ben menemui Bening dan mengajaknya bicara empat mata. Laki-laki itu meminta agar Bening mau ikut pindah ke Jakarta. Bening sudah tahu jika Vina menolak pindah ke Jakarta karena dirinya. Melihat Ben yang memohon membuat Bening merasa tidak enak. Dengan berat hati ia pun mengatakan iya. Walaupun berat Bening tidak mau di cap sebagai orang yang tidak tahu diri ataupun orang yang tidak tahu Terima kasih. Kalau bukan karena kebaikan Vina dan Ben, dia tidak akan seperti sekarang. Vina yang menampungnya, serta Ben yang memberikannya pekerjaan. Untuk ketakutan terbesarnya, ia singkirkan terlebih dahulu. Dia bisa memikirkannya nanti. *** Hanya butuh waktu dua hari Bening sudah berpindah dari Surabaya ke Jakarta. Dia hanya mempersiapkan diri serta barang-barangnya. Semuanya sudah dipersiapkan Ben. Dari tiket, sampai apartemen milik Vina yang sudah siap huni. Memang, mempunyai banyak uang bisa mempermudah segalanya. Dan sudah hampir sebulan ini Bening bekerja di perusahaan milik keluarga Ben. Semuanya berjalan lancar. Tidak ada tanda-tanda dirinya akan bertemu dengan mantannya. Bening sendiri menghindari berpergian keluar rumah. Kecuali ke kantor - apartemen. Berbelanja kebutuhan rumah pun selalu ia lakukan setelah pulang kerja. Serta mengunjungi Frans dan tantenya di akhir pekan. Vina sendiri ia suruh datang menemuinya di apartemen. Bening selalu menolak jika diajak keluar. Padahal wanita itu sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pernikahan. "Sudah sampai mana persiapannya? " Tanya Bening saat Vina mengajaknya makan siang. Bening memilih makan siang di kantin kantornya saja. Dia menghindari makan di luar kantor. Vina mengedikkan bahu acuh. Sahabatnya itu memainkan sendok di mangkok soto yang ada di hadapannya. Vina masih terserang morning sickness. Membuat semua makanan yang masuk kedalam perutnya keluar lagi. "Aku nggak tau apa-apa. Semua di urus sama WO, mana dan juga mamanya Ben." "Aku pikir kamu ikutan ngurusin juga. " Bening lalu menyuapkan sesendok soto ke mulutnya. "Aku cuma ngurusin gaun pengantin aja. Mereka terlalu antusias karena aku mau menikah. Yaaa... Walaupun mereka juga kecewa, sih, saat tau aku tek dung duluan. " Bening mengangguk mengerti. Orang tua mana yang tak kecewa jika anaknya hamil duluan. "Gimana asisten rumah tangga yang aku pekerjakan di apartemen? Bagus, kan? Siapa tau kerjanya nggak bener." "Bagus, kok. Kerjanya rapi. " "Baguslah. Aku tadinya pikir perlu ganti asisten lagi." "Kamu berlebihan. Kamu pikir ganti asisten itu kayak ganti baju." "Ya, siapa tau. Tapi untunglah kerjanya bagus jadi kamu bisa kerja tanpa kepikiran. " "Makasih, ya, Vin. Kamu memang sahabat yang terbaik. Aku nggak tau harus balas semua kebaikan kamu dengan apa. " "Aku udah ngeri dengerin ucapan Terima kasih kamu. " Vina bergidik. Bening terkekeh. "Aku cuma punya itu buat bilang Terima kasih. Kalau uang, aku sekarang belum punya banyak buat lunasin semua bantuan kamu. " "Aku nggak minta kamu kembalikan semua yang pernah kasih ke kamu." "Tapi yang kamu kasih ke aku terlalu banyak. " Vina mendesah. Dia malas kalau berbicara dengan Bening tentang masalah bantuan. Senyum Vina mendesah lega saat melihat layar ponsel yang menunjukkan pesan dari mamanya. Lebih baik dia pergi dari pada melanjutkan percakapan yang tidak penting bersama Bening. "Aku balik dulu, mama udah sampai didepan. " Vina berjanji akan pergi dengan mamanya. Tadi dia menemui Ben sebentar lalu mengajaknya makan siang. "Oh, oke. Tapi sotonya belum kamu makan. " "Aku nggak nafsu. " "Tapi kenapa tadi pesan? Jadinya mubadzir, kan? " "Kamu bisa menghabiskannya kalau mau. " Gurau Vina. Bening mendelik. Dia sudah kenyang dengan semangkuk sotonya sendiri. "Kamu gila. Kamu pikir aku kuli." Vina hanya tertawa kemudian pergi. "Hai, Ning. " Sapa Kiki teman satu divisinya. Mereka sedang menunggu lift bersama karyawan yang lain untuk kembali ke ruang kerja mereka. "Tadi yang sama kamu di kantin itu calonnya pak Ben, ya? " "Iya." "Kalian kelihatannya dekat. " "Ya, kami dulu teman SMA. " "Oh." Tidak tahu kapan pandangan Bening bergeser kearah samping. Matanya langsung melebar saat melihat sosok berjas hitam yang baru keluar dari lift untuk diperuntukkan untuk para direksi. Laki-laki itu tidak sendiri, ada beberapa orang bersamanya. Bening melihat laki-laki itu untuk beberapa saat. Memastikan pengelihatannya tidak bermasalah. Benar, itu Samudera. Dia tidak mungkin salah lihat. Dengan cepat Bening mengalihkan pandangan lalu menundukkan kepala. Berharap sosoknya tidak di kenali diantara para karyawan yang lain. Jangan sampai dia terlihat. Jangan. Jangan sampai Samudera menoleh dan melihatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN