Bab.5 Bukan Kebetulan

1862 Kata
Apakah memang hanya sebuah kebetulan saat Dirga bertemu Key di atas jembatan semalam? Bagaimana bisa begitu pas waktu Key nyaris celaka, lalu tiba-tiba Dirga muncul begitu saja di sana? Bukan, semua tentu saja bukan sebuah kebetulan. Pada kenyataannya, sejak awal Dirga memang sudah mengikuti Keyra. Dia menunggu di mobilnya yang diparkir di pinggir jalan tak jauh dari depan rumah Bian. Jantungnya hampir copot melihat mobil Key oleng menyerempet pembatas jalan. Apalagi saat dia menangis berdiri di atas jembatan. Dirga takut setengah mati Key nekat melompat, makanya terpaksa turun dan muncul di depan gadis kecilnya itu. Sayangnya saat dia baru saja merasakan bahagia bisa memeluk Key, justru berantakan dalam sekejap gara-gara kemunculan Lisa yang berujung salah paham. Seharian Dirga uring-uringan di kantor. Sumpah demi apa dia sangat menyesali kebodohannya sudah memberikan akses apartemennya ke wanita ular satu itu. “Apa dia demam lagi?” tanya Dirga terlihat tidak tenang di meja kerjanya dengan ponsel menempel di telinga. “Iya, tapi sudah reda setelah minum obat,” jawab Jeje. “Mau makan kan? Tadi pagi dia belum sempat sarapan.” “Makan kok, tadi siang mamanya datang menjenguk dan menyiapkan makanan buat Key,” jelasnya. Dirga paling benci saat Key sedang sakit begini. Khawatir, tapi juga tidak bisa mendekat. Hanya memantaunya lewat Jeje, asisten yang sebenarnya adalah seorang bodyguard pilihan dan sengaja Dirga tempatkan di samping Key. Tentu saja juga atas persetujuan Lovia, mama Keyra yang waktu itu juga khawatir setengah mati anaknya tinggal sendirian di luar. “Besok jadwalnya dimana?” “Pagi pemotretan sebagai ganti jadwal hari ini, lalu makan siang sama Pak Eka Baskara. Sorenya ada undangan podcast,” jawab Jeje membeberkan jadwal Key untuk seharian besok. “Eka Baskara yang boss skin care itu kan?” “Iya.” “Ok!” Dirga melempar ponselnya kasar ke atas meja. Jengkel bukan main setiap kali gadis kecilnya itu pergi bersama pria lain, apalagi dengan yang namanya Eka Baskara. Boss skin care yang sering bersikap over manis ke Keyra, dan kadang menunjukkan sifatnya yang sedikit berlebihan. Pintu dibuka dari luar setelah terdengar ketukan. Dirga mendecak pelan melihat dua orang yang muncul di sana. Pasti bakal kena ceramah kakaknya lagi. “Ciee … yang semalam sudah tidur sekamar dengan Key! Nunggu puluhan tahun, akhirnya bisa juga ngeloni anak orang!” olok Satria, adik ipar kakaknya yang mulutnya luar biasa nyinyir itu. “Mulut laknat!” dengus Dirga beranjak bangun menyusul mereka duduk di sofa. “Jangan sampai kelewatan, Ga! Kita sama-sama tahu segila apa Bian. Apalagi kalau mendapati kamu benar-benar bersama anaknya,” ucap Ibra, kakak Dirga yang sudah sejak jaman kuliah dulu bersahabat kental dengan papa Key. “Aku masih waras. Lagipula cepat atau lambat setelah aku bisa meluluhkan hati Key, Bang Bian juga akan tahu hubungan kami. Jadi kenapa juga harus kucing-kucingan?!" “Benar kata Bontot, percuma ditutup-tutupi. Perang sepertinya sebentar lagi akan dimulai. Berhadapan dengan Bang Bian itu pasti akan terjadi. Semua hanya soal waktu,” sahut Satria berdiri dari duduknya dan menuang kopi. Iya, Ibra tentu saja tahu itu. Pria yang tampak makin gagah di usia matang menginjak empat puluh lima tahun itu menghela nafas panjang. Andai bisa dia tentu saja ingin berdiri di tengah antara Dirga dan Bian, karena baginya adik dan sahabat sama berarti. Tapi, dia sangat paham sekeras apa sifat Bian. Ibra hanya khawatir kali ini persahabatan mereka tidak akan terselamatkan lagi. “Bagaimanapun caranya aku harus bisa di samping Key, Bang. Keadaannya tidak baik-baik saja seperti yang kita kira. Dia tidak sekuat itu menghadapi tekanan dari papanya selama ini. Sialan Bang Bian! Dia pasti akan menyesal seumur hidup kalau tahu seberapa parah sudah merusak mental anaknya,” ucap Dirga dengan suara gemetar dan mata memanas ingat keadaan Key semalam, juga apa penjelasan dokter. “Key kenapa?” tanya Ibra. “Dia menderita tremor psikogenik. Tangan kanannya tiba-tiba gemetar setiap kali dalam keadaan stress. Aku juga baru tahu semalam saat dia pingsan dan memanggil dokter untuk memeriksanya.” Ibra dan Satria tampak diam tercengang. Apa yang mereka khawatirkan sejak dulu akhirnya terjadi juga. Mental bocah itu akan kena karena tertekan oleh keegoisan papanya. Padahal sejak awal mereka sudah memperingatkan Lovia untuk lebih waspada pada kondisi kejiwaan anaknya itu. Key bagi Ibra sudah seperti anaknya sendiri, karena dia melihatnya dari lahir. Juga menyaksikan sendiri seberapa berat Key melalui masa kecilnya hingga akhirnya memberontak pergi dari rumah. Bagaimana dia tidak ikut terpukul mendengar keadaannya yang seperti itu. “Via tahu?” “Tidak ada yang tahu,” Dirga menggeleng dengan wajah muramnya. “Wah, bisa retak lagi rumah tangga mereka kalau sampai Via tahu soal ini,” sahut Satria. “Jadi itu yang membuatnya tidak lagi meneruskan hobinya mendesain gaun,” gumam Ibra baru paham kenapa Key justru banting setir ke dunia model. “Terbayang tidak bagaimana emosinya Om Herman kalau tahu cucu kesayangannya menderita mental sampai segitunya? Bang Bian benar-benar akan tersandung oleh keegoisannya sendiri kali ini,” lontar Satria meletakkan kembali kopinya. "Selain soal Key, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ucap Ibra. Dirga meringis mendapat tatapan lekat dari kakaknya. Pasti Jeje juga laporan soal kedatangan Lisa ke apartemennya tadi pagi, makanya kakaknya terlihat jengkel bukan main. “Otakmu taruh mana, Ga?! Seberapa pun penting berkas yang diminta mantan mertuamu, bagaimana bisa kamu memberikan akses masuk ke ular seperti Lisa! Sukurin sekarang jadi bumerang mengacaukan semua. Goblokmu itu kadang memang nggak kira-kira!” dengus Ibra. “Waktu itu sudah mepet pesawat mau terbang, Bang. Jadi ya sudah asal aku iyakan. Pikirku nanti tinggal blokir aksesnya lagi, dan ganti sandi pintu. Ternyata setelah balik dari Bali aku lupa,” ujar Dirga. “Sejak dulu aku sudah sering memperingatkan kamu untuk berhati-hati dengan dia. Lisa ini sepertinya sama gilanya dengan Riana, mantan istri Aksa. Kamu akan menyesal kalau terlalu meremehkan dia!” tegur Ibra entah sudah keberapa kalinya memperingatkan Dirga soal Lisa. “Lagipula kenapa kamu masih meladeni mantan mertuamu yang makin ngelunjak dan tidak tahu diri itu?! Baik boleh, g****k jangan. Paham nggak sih kamu, kalau mereka cuma ingin memanfaatkan kebaikanmu. Bohong soal sakitnya Hena saja harusnya mereka sudah malu ke keluarga kita. Sekarang Hena sudah tidak ada, masih saja banyak maunya. Mereka pikir siapa mereka!” Satria terkekeh mendengar iparnya yang selalu uring-uringan setiap kali membahas soal mertua Dirga itu. Wajar, karena setelah sakit Hena makin parah waktu Dirga pun banyak tersita untuk menemaninya wira-wiri berobat ke Singapura. Sedang proyek resort mereka di Lombok saat itu sedang sibuk-sibuknya. Alhasil mereka semua jadi pontang-panting tidak karuan untuk bagi tugas. Yang lebih menyebalkan setelah Hena pergi, orang tua dan sepupunya itu masih terus merecoki hidup Dirga. Jadi bagaimana mungkin Ibra dan orang tuanya tidak emosi. “Aku akan cari waktu untuk menyelesaikan urusanku dengan orang tua Hena. Beneran, permintaan mereka makin ngaco dan di luar nalar. Masa minta aku mau menikahi Lisa.” “b*****t tidak tahu malu!” umpat Ibra sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. “Coba Tante Dewi dengar ini, pasti langsung dicari ke rumahnya dan dicabein muka besannya,” timpal Satria tertawa terbahak. “Kapan kamu mau kesana? Biar nanti papa dan mama sekalian ikut. Kali ini selesaikan secara tuntas, buat mereka paham dan sadar posisi. Apa yang kamu lakukan untuk Hena itu sudah sangat lebih dari cukup, Ga! Jangan hiraukan lagi apapun permintaan mereka. Buang jauh-jauh rasa kasihan atau tidak tegamu, mereka tidak pantas mendapatkan itu,” tegas Ibra. “Iya, aku tahu. Nanti kalau mau kesana aku bilang ke papa dan mama,” sahut Dirga mengangguk. “Lagi kan lucu. Apa yang harus dikasihani, sedang mereka juga keluarga kaya dan masih punya anak angkat Lisa sebagai penerusnya! Seratus persen aku yakin, pasti ada maksud lain kenapa mereka masih tidak mau melepasmu dan justru menyodorkan Lisa. Ada yang ijo kinyis-kinyis seperti Key, mana doyan piranha tua kayak dia,” ujar Satria menggeleng. Kejadian tadi pagi saat Lisa lancang asal masuk dan mengacaukan segalanya, juga kekurangajarannya ke Key sudah membuat Dirga meradang. Cukup sudah dia bersabar selama ini menghadapi mantan mertuanya dan juga Lisa. Harusnya memang setelah Hena pergi, dia menyudahi hubungan tidak menyenangkan kedua keluarga mereka ini. “Nay katanya mau ulang tahun? Kapan?” tanya Dirga tentang anak sambung Satria yang sudah mau menginjak tujuh belas tahun itu, tapi Ibra malah tertawa terkekeh. “Aishhh … bikin pusing saja permintaannya!” keluh Satria menghempaskan punggungnya kesal. “Memangnya Nay minta apa?” tanya Dirga. “Minta diizinkan main ke klub. Katanya penasaran pengen lihat nightclub kayak apa. Aku bilang boleh, tapi harus aku antar sendiri dan nggak boleh lewat jam dua belas.” “Cih, dikira cinderella kali! Sendirinya saja dulu tukang nongkrong di nightclub dan gonta-ganti teman tidur. Sekarang giliran anak perempuannya beranjak dewasa kelimpungan juga kan!” cibir Dirga tergelak geli. “Buaya takut karma!” timpal Ibra, dan mereka tertawa ngakak. “Nay bukan Comel yang biasa pecicilan dan doyan berantem. Kalau dia sebar-bar Jingga, aku tidak akan khawatir melepasnya keluar,” sahut Satria. Si comel Jingga, anak kembar Ibra yang sifat dan kelakuannya bikin semua orang gedeg. Dua abang kembarnya bahkan lebih anteng dan kalem dari dia. “Untung yang punya sekolah kakeknya sendiri. Kalau tidak pasti tiap hari pulang bawa surat panggilan orang tua, saking rajinnya dia bikin rusuh terus!” lanjut Satria cekikikan ingat kelakuan keponakannya yang satu itu. “Nakalnya masih wajar kok,” ujar Ibra justru tampak santai. “Wajar? Abangnya sampai tidak punya teman perempuan gara-gara dibully Jingga. Sudah berapa orang dibuat babak belur karena mengejek Leta anak mantan pembunuh? Rhea jatuh ketimpuk bola basket, sama Comel balas disleding sampai hampir pingsan padahal juga bukan sengaja. Paling parah waktu Juna bonyok berantem sama anak sekolah lain, sampai tawuran beneran yang anaknya dibawa ke rumah sakit. Titisanmu itu! Klop banget kalau sama Hera, sudah kayak botol nemu tutupnya.” “Nah itu kamu tahu! Dia bukan asal hajar kok. Harusnya memang begitu, masa harus diam kalau saudara diusik orang lain,” sahut Ibra. Dirga sampai ikut geleng kepala. Keponakannya yang satu itu sejak kecil memang sudah sebar-bar itu sifatnya. Tapi, jangan salah! Jingga kasar di luar, namun lembut ke saudara-saudaranya. Pintu diketuk dari luar, lalu sekretaris Dirga pun masuk. “Pak, apartemen yang Bapak mau sudah deal. Barusan pihak agen properti kasih kabar.” “Kamu urus semua, kalau bisa secepatnya beres. Usahakan beberapa hari ini bisa langsung ditempati,” titah Dirga dengan wajah berbinar senang. “Baik.” Begitu sekretarisnya keluar Dirga baru sadar Satria dan abangnya sedang menatapnya lekat. “Gila kamu, Ga,” ucap Satria. “Kalau Key tahu kamu juga pindah kesana justru bisa membuatnya merasa tidak tenang, Ga,” tegur kakaknya. “Nggak, kalau tidak dipepet terus akan semakin sulit meraihnya. Aku bisa gila kalau harus menunggunya lebih lama lagi,” sahut Dirga. “Kalau begitu kamu juga harus sudah siap mental, karena Bian pasti tidak akan tinggal diam setelah tahu kamu juga pindah kesana!” “Aku tahu.” Ibra menghela nafas berat. Sudah tiba waktunya, dan mau tidak mau persahabatannya dengan papa Key akan kembali berada di ujuk tanduk. Namun, seperti janjinya dulu ke Dirga sebelum mereka memintanya pindah ke Lombok. Kali ini apapun yang terjadi, dia akan berada di samping adiknya dan menerima semua resiko demi bisa menyatukan Dirga dengan Key. Apapun itu resikonya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN