BAB 8: KAMPUS

1661 Kata
Darius segera menyelesaikan makannya dan langsung masuk ke kamarnya, tepatnya ke kamar mandi. Dia sengaja mandi dengan menggunakan air dingin untuk meredakan panas yang tiba tiba datang tadi, padahal sekarang sedang musim dingin. Dia harus mengeyahkan pemandangan pinggang ramping dan mulus Morin dari otaknya. Namun bukannya bayangan itu hilang tapi malah ditambah bayangan tengkuk dan bahu mulus Morin yang dilihatnya semalam. Darius masih berdiri di bawah pancuran air dingin. Dia bingung dengan reaksi tubuhnya sendiri. Setelah sekian lama dia hidup sendiri dan tidak pernah menyentuh wanita, mengapa baru sekarang tubuhnya bereaksi seperti saat dirinya puber? Dan mengapa harus tubuh keponakannya yang bisa membuat pikirannya kemana mana? Tiba tiba sebuah pikiran mengerikan melintas di kepalanya. Jangan jangan dia p*****l? Tapi dia langsung menepis pikiran itu. Jika dia memang menyimpang seperti itu, harusnya tubuhnya sudah bereaksi dari saat Morin masih kecil. “Hachi!” Darius mematikan pancuran air itu dan segera mengeringkan tubuhnya, dia tidak tahu sudah berapa lama dia di bawah pancuran air dingin itu hingga tubuhnya sekarang kedinginan. Setelah memakai pakaiannya, dia kembali ke ruang kerjanya. Memang tidak banyak yang bisa dia lakukan selain bekerja. Selain bertemu dengan teman temannya, dia menghabiskan waktunya dengan bekerja dan dia menikmati waktu yang dia habiskan untuk bekerja. **** Morin sekarang sedang menunggu Albert menjemputnya di lobby apartemen. Sebuah mobil sport berhenti di depannya, Albert keluar dari pintu pengemudi dan membukakan pintu untuknya. ‘Silakan masuk marmalade” kata Albert sembari tersenyum. “Jangan menyebutku seperti itu” jawab Morin ketus, matanya mendelik kesal pada pria itu. “Baiklah strawberry” Albert tertawa melihat Morin yang sudah menggembungkan pipinya lagi. Kalau sekarang mereka hanya berdua, dia pasti akan mencubit Albert sampai ungu. Morin duduk di mobil itu dan memakai sabuk pengaman. Albert menutup pintu itu dan kembali ke tempatnya untuk mengemudikan mobil itu. “Aku masih tidak percaya kamu berhasil membujuk Om Darius untuk mengijinkanmu tinggal di apartemennya” kata Albert saat mulai menjalankan mobilnya menuju kampus X. “Tidak ada kata tidak bisa dalam kamusku” jawab Morin sombong. “Tidakkah kamu mau mencoba mencari pacar yang sepantaran saja? Apa enaknya mengejar om om?” tanya Albert. Dia bingung dengan gadis cantik disebelahnya. Gadis itu bisa mendapatkan pria manapun, tetapi memaksa mengejar om om yang tidak tertarik padanya. “Tidak. Aku tidak mau yang lain. Hanya Om Darius yang aku mau dan aku pasti mendapatkan apa yang aku mau” jawab Morin kekeuh. Untuk hal lain mungkin dia bisa berkompromi, tapi tidak untuk yang satu ini. Bukannya dia tidak mau mencari pria lain. Dia sudah pernah berpacaran dulu saat kelas sepuluh dan sebelas, namun itu hanya sebentar karena dia selalu membandingkan pria pria itu dengan om tercintanya dan akhirnya selalu merasa tidak ada yang sehebat om-nya. Begitu juga pria pria lainnya, teman Om Gavin pun ada yang tertarik padanya. Tapi jika dia bandingkan dengan Darius, tetap saja mereka semua di bawah om tercintanya. Entah dia yang berat sebelah atau memang Darius begitu hebatnya. Pria itu memang hebat dalam segala hal kecuali wanita dan dia bersyukur akan hal itu, kalau tidak si om pasti sudah nikah sebelum dia dewasa. Mereka sudah sampai di universitas X. Albert menemani Morin berkeliling kampus itu, membawanya ke fakultas yang merupakan jurusan yang akan diambilnya. Morin sangat antusias untuk melihat lihat. Apalagi teman Albert ada yang merupakan asisten dosen disana yang bisa membantunya masuk ke ruangan praktek yang memiliki teknologi terbaru. Universitas X termasuk salah satu universitas terbesar dan tercanggih di dunia, jadi semua peralatannya menggunakan teknologi terbaru. Tanpa terasa mereka berada di kampus itu hingga siang, dan sudah waktunya Albert masuk kelas mata pelajarannya. Morin yang sudah lapar menuju food court kampus untuk makan sambil menunggu Albert selesai kuliah. Dia sedang berbalas chat dengan teman temannya saat beberapa pria yang sepertinya kuliah disana juga mendatanginya dan duduk semeja dengannya. Penampilannya memang sangat menarik perhatian. Selain karena dia orang asia, warna rambutnya yang seperti gulali itu pasti akan membuat orang menoleh dua kali saat melihatnya. “Halo cantik. Boleh kenalan” salah satu dari pria itu mengulurkan tangannya untuk menowel dagu Morin dan gadis itu langsung menepis kasar tangan itu. PLAK “Jangan sentuh aku” kata Morin. Dia memasukan ponselnya dan menatap waspada tiga pria yang sekarang duduk di mejanya. Pria yang dia tepis tangannya marah, pria itu langsung berdiri dari kursinya dan sekarang berdiri di sebelah kursi Morin. Begitu juga dengan kedua orang temannya yang sekarang berdiri di belakang kursi Morin, memerangkap Morin diantara mereka bertiga. Mereka tersenyum jahat. “Dasar gadis tengil sok cantik. Sepertinya kamu perlu diberi pelajaran” kata si pria yang berdiri di depan Morin. “Lebih baik kita bermain sebentar” katanya lagi dengan seringai jahatnya. Morin hanya menatap pria itu dengan wajah datar. Dia paling malas mengurusi sampah seperti ini. Dia melirik sekeliling, ada lumayan banyak orang disini, tapi sepertinya orang orang itu tidak berniat membantunya. Dasar pengecut. “Sekarang kau takut setelah tahu tidak akan ada yang mau membantumu?” Pria itu tertawa lalu menjambak rambut Morin dan menariknya ke belakang. Morin langsung mengambil gelas air di mejanya dan memukulkannya ke wajah pria itu sekuat tenaga hingga gelas itu pecah. PRANG! “Arrgh” teriak Pria itu yang langsung mundur beberapa langkah dan memegang pipinya yang sekarang mengucurkan darah segar. Morin menghampiri pria itu dan meninju tenggorokan pria itu, lalu menendang perutnya hingga pria itu terpental menabrak tembok. Darah segar langsung keluar dari mulut pria itu. "Masih mau main lagi?" tanya Morin angkuh, yang langsung dijawab dengan gelengan oleh pria itu. Morin lalu membalik tubuhnya menghadap dua pria yang sekarang pucat menatapnya. “Lebih baik kalian bawa dia ke rumah sakit sebelum dia tidak bisa bicara lagi” kata Morin dingin seraya berjalan ke arah pintu keluar food court dipandangi semua orang disana. Morin tidak melihat seorang pria yang sebelumnya berjalan ke arahnya dan berniat untuk membantunya. Pria itu sekarang kembali ke mengikuti Morin dalam jarak aman sembari mengirimkan chat pada orang yang menyuruhnya. Kedua teman pria yang dihajar Morin langsung menghampiri temannya yang sudah terduduk di lantai dengan darah mengucur dari bibir, sebelah telinga dan pipinya. Pria itu memegangi lehernya yang terkena pukulan Morin, dia bahkan tidak bisa mengeluarkan suara untuk mengeluhkan sakit luar biasa yang dirasakannya. Morin yang merasa moodnya memburuk berjalan keluar kampus. Dia mau mencari cafe atau mall di dekat sini. Hanya karena tubuhnya yang terlihat kecil dibandingkan orang lokal, bukan berarti dia lemah. Semenjak dia diculik Jeffry Wirawan, dia belajar bela diri dari omah Rosaline. Dia mempelajari semua cabang bela diri yang dia tahu, termasuk cara membunuh dengan tangan kosong dan menggunakan senjata. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk mengurangi trauma yang dia miliki. Dia mencuci otaknya sendiri dengan pemikiran bahwa semakin kuat dirinya maka akan semakin baik, dia bisa melindungi dirinya sendiri. Ponselnya berbunyi dan dia melihat kalau omnya yang menghubunginya. Dia menjawab panggilan itu “Dimana kamu?” kalimat pembuka yang manis sekali, cibir Morin. “Lagi keluar kampus. Albert sekarang sedang kuliah, jadi kurasa aku akan ke mall dekat sini saja.” Morin melangkah di trotoar menuju ke arah bangunan yang tampak seperti mall di ujung jalan. “Tunggu di kampus saja. Orangku akan menjemputmu kesana” Darius memberi perintah. “Aku sedang menunggu Albert selesai kuliah. Sekitar satu jam lagi. Sekarang aku mau ke mall membeli beberapa perlengkapanku yang kurang.” Morin tidak mengindahkan perintah Darius. Dia seperti mendengar helaan napas dari seberang sana, tapi dia tidak peduli. “Pulanglah Morin, jangan membuatku khawatir. Nanti om akan menemanimu berbelanja.” Morin menghentikan langkahnya. Perkataan Darius barusan langsung memperbaiki moodnya. “Om pulang jam berapa nanti?” tanyanya. Terdengar helaan napas lagi. Tapi bukan Morin namanya kalau dia peduli, yang penting dia bisa kencan dengan omnya. “Aku belum tahu. Aku akan usahakan menyelesaikan pekerjaanku hari ini secepatnya” “Kalau begitu aku tunggu di kantor om saja” kata Morin sudah kembali ceria. Tidak terdengar jawaban lagi dari seberang sana hingga Morin menatap layar ponselnya karena berpikir kalau ponselnya mati. “Baiklah. Katakan pada Raymond untuk mengantarmu ke kantor” Jawab Darius setelah beberapa saat. Lalu telepon itu diputus sepihak oleh Darius. Sekarang Darius sedang memijat kepalanya yang tiba tiba pening. Baru berapa jam saja diluar apartemen, keponakannya sudah membuat masalah. Gadis itu menghajar anak salah satu penyumbang dana terbesar di Universitas X, hal ini bisa membuat gadis itu tidak jadi diterima di kampus itu. Darius menghubungi kenalannya yang merupakan salah satu pemilik Universitas X dan menawarkan untuk memberikan sumbangan rutin dengan nilai fantastis sebagai imbalan kalau mereka tidak boleh memberikan identitas Morin pada siapapun. Yang jika sampai informasi itu bocor, maka mereka akan berurusan dengan Volle. Ini adalah ancaman berselimut sogokan. Lalu Darius menghubungi orang IT perusahaannya untuk menghilangkan semua link video dan gambar yang diambil orang orang di foodcourt itu. Dalam waktu lima belas menit, semua cctv yang menangkap gambar Morin di kampus itu lenyap. Begitu pula dengan rekaman dan gambar yang diambil oleh orang orang di foodcourt itu, semua tidak bisa dibuka dan hilang tanpa jejak. Bukti keberadaan Morin di kampus itu sekarang hanyalah orang yang sedang mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit, yang entah membutuhkan waktu berapa lama untuk bisa kembali mengeluarkan suaranya? Sebuah mobil berhenti di sebelah Morin. Pria muda yang tadi membuntutinya di kampus sekarang membukakan pintu untuknya. “Silakan nona” sapa pria itu. “Siapa kamu?” tanya Morin dengan alis berkerut. Dia merasa belum sampai sepuluh menit sejak omnya memutuskan sambungan telepon mereka. “Raymond nona. Saya yang akan mendampingi anda saat anda tidak bersama Tuan Darius” jawab pria itu. Dia sudah di perintahkan Darius untuk tidak lengah sedikitpun, harus selalu berada dalam jarak satu meter dari gadis itu. Jangan sampai kejadian tadi terulang kembali. “Kemana kau akan membawaku?” tanya Morin. Dia ingat tadi Darius menyebutkan nama Raymond. “Kemanapun nona mau pergi” jawab Raymond. “Kalau begitu Volle Tower” kata Morin saat masuk ke mobil itu. “Baik nona” jawab pria itu seraya menutup pintu dan kembali ke posisinya sebagai supir dadakan hari ini. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN