Operasi berjalan dengan lancar, nyawa Amran akhirnya bisa diselamatkan meski saat ini belum juga siuman. Menurut dokter, pria itu kemungkinan mengalami koma pasca operasi. Putri diharapkan tak terlalu khawatir, sebab para petugas medis akan terus memantau perkembangan kesehatan pria itu.
Putri berjalan lunglai menuju pantry, ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya di lantai tiga. Meski hatinya berteriak ingin menemani Amran di rumah sakit, tapi apalah daya jika pekerjaannya di sini juga tak bisa ditinggalkan. Tak mungkin ia mangambil resiko dipecat, karena memang saat ini ia benar-benar sangat membutuhkan uang yang banyak untuk merawat Amran. Meski biaya rumah sakit ditanggung oleh Gama sesuai perjanjian mereka, tapi tetap saja ada banyak biaya tak terduga yang harus Putri tutupi sendiri. Ia tak mau jika harus meminta-minta pada Gama.
"Kusut banget tuh muka." Suara nyaring Irma membuat Putri menoleh.
Putri tersenyum kecil. "Hai, Ir," sapanya.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya Irma serius.
Putri menghela napas, bingung harus bercerita atau tidak. Dia belum lama mengenal Irma, rasanya canggung jika harus membahas masalah pribadi seperti ini. Akan tetapi, Putri juga merasa ingin sekali berkeluh kesah, setidaknya membagi beban pikiran yang bersarang di kepalanya.
Ingin bercerita pada Risa, tapi Putri tahu, wanita itu juga sedang dalam masalah besar mengingat pertengkaran Risa dan Kendra malam itu. Jika menelpon Ibuk di kampung, Putri takut menambah beban orangtuanya yang sudah tua.
"Tunangan aku... kecelakaan tadi malam," ujar Putri akhirnya.
Irma terkejut, matanya melebar seketika. "Serius? Terus gimana keadaannya?" ucap gadis itu prihatin.
"Koma," lirih Putri serak. Matanya sudah berkaca-kaca.
Irma berjalan mendekat, memeluk tubuh Putri yang sudah gemetar karena tangisan. "Sabar, ya... tunangan kamu pasti kuat," ucapnya serak.
Putri mengangguk masih sambil terisak. "Iya, makasih, Ir," jawabnya.
"Yaudah, kami harus tetap semangat dan bordoa supaya tunangan kamu cepat sembuh, ya," nasihat Irma. "Aku mau anterin kopi dulu untuk Bu Dewi," imbuhnya seraya melepaskan pelukan mereka.
Putri tersenyum, lalu mengangguk pelan yang dibalas Irma dengan mengangkat tangannya yang terkepal sambil menyerukan, "Semangat!"
Tinggal lah Putri sendiri di ruangan ini, gadis itu menarik napas keras. Ia benar-benar merasakan beban berat di pundaknya.
Putri menyeduh kopi dengan pikiran melayang, hatinya tak tenang meninggalkan Amran sendirian di rumah sakit, meski banyak perawat di sana, itu tidak masuk dalam hitungan.
Suara pintu terdorong pelan, menampakkan sosok tegap Gama yang muncul dengan wajah lelah. "Buatkan saya kopi," titahnya.
Putri terdiam sejenak, entah kenapa jantungnya berdetak tak seperti biasa. Apalagi bertemu Gama mengingatkan Putri tentang perjanjian mereka waktu itu.
"Kamu dengar saya?" tegur pria itu terlihat jengkel.
Putri tergagap, lalu dengan sigap mengambil gelas dan menyeduh kopi untuk dosen tampan itu.
"Jam lima sore saya tunggu di parkiran!"
Putri menoleh dengan kerutan kecil di dahi. "Maksud, Bapak?" tanya gadis itu tak mengerti.
Gama berdecak. "Kamu bodoh atau tuli?"
"Dua-duanya!" jawab Putri dongkol.
Pria itu menerima kopi yang disodorkan Putri. Lalu menyesapnya perlahan, membuat Putri melotot kaget nyaris menjerit, "Masih panas...!" pekiknya memperingatkan.
Gama melirik sekilas, tapi tak berniat mengindahkan.
Putri hanya bisa menggerutu melihat pria itu tak mempedulikan ucapannya.
"Ingat! Jam lima! Saya tidak mentolerir keterlambatan!" Pria itu hendak beranjak, tapi segera ditahan Putri.
"Maksud bapak... ehm... itu... masalahnya jam lima saya masih dalam jam kerja, Pak."
"Saya tidak peduli! Bukankah kamu pintar membuat alasan."
Putri mendengus jengah, perkataan Gama seolah-olah ia adalah pekerja yang hobinya membolos dengan seribu macam alasan saja.
"Ingat perjanjian kita! Kamu tak akan bisa lari." Gama melangkah keluar setelah memberikan peringatan tersebut pada Putri.
Gadis itu terduduk dengan lunglai, tanpa diingatkan pun dia tak akan pernah lupa. Bahkan di setiap malam ia begitu uring-uringan memikirkan hal itu. Belum lagi perkembangan Amran yang begitu lambat sehingga Putri belum bisa merasa tenang.
Pagi tadi Putri mendapat telepon dari ibunya di kampung. Beliau mengabarkan bahwa semua keluarga Amran kebingungan karena tidak bisa menghubungi pria itu. Ada kabar penting yang harus mereka sampaikan, dan pihak keluarga meminta tolong pada Ibu Putri agar menghubunginya.
Rasanya Putri ingin menangis dan bercerita semuanya kepada ibunya, tapi gadis itu takut membuat keluarganya di kampung khawatir. Toh sebentar lagi Amran sembuh, dan setelahnya mereka semua bisa kembali menghubungi pria itu tanpa menambahi beban ibu Amran yang sedang sakit.
Putri melirik jadwalnya. Siang ini ia bertugas merapikan taman di depan ruang fisioterapi. Gadis itu bergegas membawa peralatan yang diperlukannya, ia harus selesai sebelum jam lima sore. Atau kalau tidak, ia akan menjadi santapan kemarahan dosen kejam tak punya hati itu.
Putri seketika mendengus saat dengan tak tau dirinya bayangan pria itu melintas di benaknya.
Gadis itu menatap sekeliling yang sedang sepi, tak sengaja matanya menatap seorang mahasiswa yang sedang merokok di bagian sudut gedung ini. Putri menggertakkan giginya, merasa marah dengan kelakuan laki-laki itu yang sudah melanggar peraturan kampus.
"Hei, kamu!" pekik Putri lantang.
Laki-laki itu menoleh terkejut, tapi seketika tersenyum mengejek ketika tahu bahwa yang memergoki dirinya adalah seorang petugas kebersihan, bukan seseorang yang ditakutinya.
"Berani kamu merokok di sini, ya! Harusnya kamu rajin belajar! Banggain orang tua yang sudah capek-capek kerja untuk kuliahin kamu. Bukannya malah nonggok di sini sambil ngerokok!" omel gadis itu panjang lebar.
Laki-laki itu menghembuskan asap rokok dari mulutnya, membentuk bulatan random dengan penuh gaya. "Tugasmu di sini jadi tukang sampah, bukan ngurusin hidup orang lain," ucapnya pedas.
Putri melotot kaget mendengar hinaan laki-laki yang bernama Bryan itu. Bukannya ia sakit hati, hanya saja Putri tak menyangka seorang yang berpendidikan seperti orang ini mampu berbicara sekotor itu.
"Oh... jadi begitu?" tanya Putri mencemooh. "Ya sudah! Aku juga nggak berminat ngurusin kamu!" ucapnya ketus.
"Bagus!" Ucap laki-laki itu santai.
Putri menggerutu kesal, dengan tenaga ekstra ia melakukan tugasnya membersihkan taman. Lebih cepat selesai lebih baik. Dia juga tak ingin berlama-lama melihat wajah mahasiswa sombong itu.
___
Pukul lima lewat tiga puluh menit Putri tiba di parkiran yang sudah sepi, sejak tadi ia mengintip di balik tembok, memindai suasana yang lumayan ramai sejak tadi karena keberadaan beberapa mahasiswa yang hendak pulang.
Gadis itu mendekati Rangerover berwarna hitam metalik yang terparkir di sana. Putri mengetuk kaca perlahan, matanya masih siaga mengawasi sekelilingnya.
"Ngapain kamu? Masuk!"
Suara keras Gama membuat Putri menjengit kaget. Apalagi saat melihat wajah garang pria itu yang memerah karena emosi. Putri yang tak mau menambah masalah segera masuk ke dalam, duduk diam di sebelah pria itu yang mulai menjalankan mobil.
Putri melirik kaca spion. Sekilas ia dapat melihat seseorang berdiri dengan kedua tangan terlipat di d**a. Dia mahasiswa sombong itu, Bryan.
____
Tbc