7. Menikah dengan Gama?

931 Kata
Putri berlari kencang melewati koridor rumah sakit Pelita Arma. Teguran dari beberapa orang yang di tabraknya tak ia hiraukan, saat ini yang ada di pikirannya hanya Amran, Amran, dan Amran. Kondisi pria itu saat ini belum ia ketahui pasti, pasalnya polisi hanya mengabarkan bahwa telah terjadi kecelakaan antara sepeda motor yang diduga dikendarai oleh Amran dengan sebuah truk berisi bahan bangunan. Putri sangat ingat bahwa malam itu Amran tak memakai helm, betapa merasa bodohnya gadis itu tidak memaksa Amran demi keselamatannya. Terbayang di benak Putri kebersamaan mereka malam tadi, tentang semua raut wajah Amran yang berubah-ubah seperti memiliki beban pikiran yang tak Putri tahu apa itu. Mungkinkah hal itu menjadi salah satu sebab Amran tak konsentrasi dalam berkendara? Putri pun tak tahu. Sesampainya di ruang rawat Amran, Putri tak diperbolehkan masuk karena dokter sedang menangani keadaan pria itu. Putri duduk di atas kursi sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Sabar, Put." Suara lembut Risa membuat Putri mendongak. "Amran, Mbak... Amran..." ucapnya terisak. "Kamu sabar, serahkan sama yang kuasa," nasihat Risa. "Aku... aku merasa bodoh, Mbak. Nggak peka dengan sikap Amran yang berbeda..." "Ssst... nggak ada satupun manusia yang bisa menebak takdir Allah, Put. Kita hanya bisa berdoa, memohon agar diberi kemudahan." Pintu ruangan Amran terbuka, keluar seorang perawat yang tampak tergesa-gesa. "Hallo... Dok, iya... Pasien gawat darurat..." Putri menahan napas, lalu keluar satu orang lagi dari ruangan tersebut. Putri langsung bergegas menghampiri. "Bagaimana keadaan tunangan saya, Sus?" tanyanya. "Mohon maaf, kami akan mengusahakan semaksimal mungkin. Kami sedang berusaha menghubungi dokter Gama, beliau dokter terbaik kota ini." "Dokter Gama.... maksudnya... Gama... Barack?" tanya Putri tak percaya. "Iya, benar. Saya permisi, mungkin saat ini lebih baik pihak keluarga mengurus administrasi pasien agar bisa dilakukan tindakan lebih lanjut secepatnya." Putri terdiam, pikirannya jauh melayang yang sialnya malah menuju pada satu wajah yang tak seharusnya ia bayangkan di saat seperti ini. Sialan! Risa datang mendekat, mengajak Putri duduk di sebelahnya. "Put, Mbak barusan telpon budhe di kampung." Putri menoleh. "Mbak ngabarin ibuk?" tanyanya. Risa menarik napas panjang. "Iya... hampir," ucapnya berat. "Maksud Mbak?" tanya Putri bingung. "Budhe cerita... ibu Amran... lagi sakit keras di kampung," ujar Risa lembut. Putri tersentak kaget, meski di ucapkan dengan suara lembut, tapi tetap saja hal itu mampu membuat jiwa Putri terguncang hebat. "Mbak... maksudnya gimana... Ibuk Amran sakit apa, Mbak?" "Nggak tahu, budhe cuma bilang sakitnya parah, harus berulang kali cuci darah. Mbak nggak sempat tanya lagi, Put. Untuk ngabarin keadaan Amran pun Mbak nggak sanggup." "Astagfirullah, Mbak. Cobaan apa lagi ini..." rintih Putri pilu. "Sabar, Put... sabar..." Risa memeluk Putri yang menangis senggugukan. "Aku harus gimana, Mbak..." "Sabar... kamu harus sabar..." "Pasien harus segera ditangani, tapi jadwal dokter Gama full hari ini. Tidak ada cara lain, kita harus berusaha sendiri." "Kita harus tenang, masih ada dokter Arnold 'kan?" "Iya, tapi di bagian ini dokter Gama lebih berkopenten..." "Kita harus dukung dokter Arnold semaksimal mungkin." Percakapan kedua perawat itu membuat Putri menahan napas, jadwal Gama penuh? Jika memang begitu apakah keselamatan Amran tak akan bisa tertolong. Entah pemikiran darimana, gadis itu segera bangkit dari duduknya, lalu berlari meninggalkan Risa yang kaget bercampur bingung melihat sikap Putri. Sesampainya di area parkir Putri menabrak seorang pria berjas putih. "Maaf... Pak__" mata Putri membelalak. "Pak Gama?!" serunya terkejut. "Ngapain kamu di sini?" tanya pria itu mengernyit. Putri langsung ingat apa tujuan awalnya tadi. Gadis itu meraih kedua tangan pria itu, "Dokter... saya mohon... tolong tunangan saya." Kerutan di dahi Gama hilang, berganti dengan wajah datarnya. "Saya mohon... bantu saya kali ini saja, Pak." "Saya sibuk," ucap pria itu singkat. "Tolong, Pak.... apa saja akan saya lakukan asal bapak bersedia menolong," mohon gadis itu. Pria itu bersedekap, dan otomatis genggaman tangan Putri terlepas. "Apa yang akan saya dapatkan?" tanyanya angkuh. "Apa saja... selagi saya bisa akan saya lakukan!" Ucap Putri bertekad. "Termasuk menikah dengan saya?" "Apa?" Putri terkesiap, bagaikan disambar halilintar di siang hari. "Menikah dengan saya, maka saya akan bantu laki-laki itu." "Tapi... tapi... Pak.... " Putri kehabisan kata-kata. "Iya atau tidak. Saya hanya terima satu jawaban. Penawarannya begini, saya... akan mengurus semua biaya dan menangani langsung pasien ini asal, kamu menikah dengan saya." "Pak... saya... saya..." "Semakin lama kamu mengambil keputusan maka akan beresiko pada tingkat keselamatan laki-laki itu, sebab nyawanya saat ini hanya ditopang oleh mesin buatan manusia." "Baik. Saya setuju, tapi bapak janji Amran harus selamat seperti sedia kala, jika tidak maka perjanjian itu tak akn berlaku." "Tentu." Pria itu mengacungkan ponselnya. "Kamu tidak bisa berlari, ada bukti rekaman di dalamnya." Putri melotot tak percaya, bisa-bisanya laki-laki itu memikirkan hal itu. Benar-benar pria yang tak mau rugi sedikitpun. Hembusan napas pasrah Putri terdengar sebagai tanda berserah pada sang kuasa. Jodoh, maut, serta rezeky adalah kehendak Allah. Jika memang Amran jodohnya, ia sangat berharap semoga ada cara untuk kembali bersama, dan Putri akan mengusahakan itu semampunya. Tapi, untuk saat ini keselamatan pria itulah yang terpenting, Putri tak bisa berbuat banyak sekarang ini selain memasrahkan diri pada sang kuasa. ____ "Put, tadi Mas Kendra ke kasir, mau urus biaya administrasi Amran. Tapi, kok udah lunas sih? Kamu dapat uang sebanyak itu darimana, Put?" cecar Risa dengan wajah khawatir bercampur bingung. Putri tersenyum kaku. "Mbak sama Mas Kendra tenang saja, aku nggak mau ngerepotin kalian, makanya tadi aku pergi nyari pinjaman dari atasan aku," ucapnya berbohong. Sebenarnya Putri tak menyangka Gama bergerak secepat itu, memenuhi semua janjinya seperti apa yang ia ucapkan tadi, termasuk menangani operasi Amran dengan tangannya sendiri. Risa mengerutkan dahi dalam. "Sebanyak itu?" tanyanya. Putri memutar otak mencari alasan. "Iya... Soalnya bos aku baik banget, Mbak," ujarnya gugup. "Kamu nggak bohong 'kan?" tanya Risa curiga. Putri menggeleng kencang. "Nggak, Mbak. Seperti yang mbak bilang, Allah pasti kasih kita kemudahan. Mungkin ini jalan yang tuhan kasih untuk aku." "Ya sudah kalau begitu, Mbak cuma nggak mau kamu terjerumus ke hal-hal yang nggak baik karena masalah ini." "Iya, Mbak, makasih banyak, ya." Risa mengangguk seraya tersenyum tulus. Wanita itu merangkul Putri, menguatkan gadis itu agar tegar dalam menghadapi cobaan berat di hidupnya kali ini. ____ Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN