"Ah... ntar hoax lagi, dulu-dulu juga begitu," sahut Junia.
"Ini beneran nyata! dari narasumber terpercaya!" ucap Irma yakin.
"Masa sih? ada bukti nggak?" tanya Junia.
Irma merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel serta mencari-cari sesuatu di sana. "Nih, lihat!" ucapnya seraya memamerkan layar ponselnya.
"Wah... Bener ini!" pekik Junia kaget.
"Aku bilang juga apa!" dengus Irma. "Put, mau lihat nggak?" tanya Irma tiba-tiba.
Putri yang sedari tadi masih menguping sambil menyimpan seragamnya menoleh kaget. "Lihat apa?" tanyanya.
"Bukti dari gosip terbaru... terhot... markotop... top di kampus sini! yang kita ceritain tadi. Masa kamu nggak denger sih!" Ucap gadis itu antusias.
Putri tersenyum kikuk, dia tentu saja dengar.
"Eh, tunggu-tunggu!" Irma memotong Putri yang hendak bersuara. "Karena gosip ini menyebar, aku jadi lupa, kemarin kamu ada apa sama Pak Gama?" tanya gadis itu menyelidik.
Putri mengerutkan dahi. "Nggak ada apa-apa kok, apalagi sama pak Gama," jawabnya.
"Masa sih?" Irma menyipit curiga. "Kemarin dia langsung narik kamu loh, di depan aku sama Dody lagi. Pak Gama itu nggak terbiasa begitu. Dia anti banget malah sama makhluk di sini."
"Ya, mungkin karena urgent aja, kan aku ketumpahan air panas," tukas Putri.
"Biasanya ada yang jatuh di depan mata aja dia pura-pura nggak lihat," cibir Junia.
"Setuju! Saran aku sih Put, kamu hati-hati sama Pak Gama. Aku lihat kamu polos banget soalnya," nasihat Irma.
Putri tersenyum. "Iya, terimakasih," ucapnya.
"Jadi, mau lihat nggak nih?" tawar Irma sekali lagi.
"Tunjukin aja kali, dia masih malu-malu tuh," celetuk Junia.
"Oh, iya. Sementang masih baru," ucap Irma terkikik. "Nih, lihat deh, menurut kamu, ngapain mobil Pak Dokter parkir cantik di Sasimi malam-malam begini?" tanya gadis itu dramatis.
"Ya... ya... siapa tahu Pak Gama kerja di situ," Jawab Putri seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Ow... ow... si tuan Putri yang teramat polos!" kekeh Junia. "Masa iya Pak Gama buka praktek di sana?"
Putri kali ini menggaruk pipinya canggung. "Hehe... Iya juga. Tapi, kalau dia misalnya mau cari wanita malam atau apa 'kan nggak apa-apa? toh dia belum menikah, jadi..."
"Jadi... menurut kamu ini wajar?" tukas Irma.
"Ya... mungkin... aduuuh... aku nggak tahu... intinya aku nggak peduli dan nggak mau ikut campur!" ucapnya tegas.
Irma mengerutkan dahi. "Kita juga nggak mau ikut campur kali, Put. Cuma, seorang Gama itu rasanya nggak afdol kalau nggak digosipin."
Putri meringis, memang benar, sosok Gama seakan menyedot banyak sekali perhatian dari makhluk di kampus ini. Rasanya amat sayang sekali jika ada satu cuil saja bagian dari Gama yang dianggurkan begitu saja tanpa di nikmati, termasuk gosipnya sekalipun.
"Yaudah yuk, pulang!" ajak Irma.
Junia dan Irma sudah keluar dari ruang kebersihan, tinggal Putri seorang yang sedang membenahi tas punggungnya. Meski jiwa masih di sini, tapi pikiran gadis itu melayang entah kemana.
___
Putri mendapat pesan tiba-tiba dari Amran yang berkata akan datang menjemput Putri untuk pergi jalan-jalan hari minggu ini. Kebetulan sekali karena memang Putri sedang libur.
"Mbak Risa mau nitip oleh-oleh apa?" tanya Putri pada sepupunya yang sedang memasak itu.
Risa menoleh, lalu tersenyum. "Nggak perlu repot-repot, Put."
"Nggak repot, Mbak. Sekali-kali doang ini,"
"Apa aja deh, terserah kamu aja."
Putri tersenyum, lalu seketika teringat sesuatu. "Mas Kendra keluar kota, Mbak?" tanyanya.
Risa menoleh sebentar. "Mungkin," jawabnya, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
Putri mengerutkan dahi tak mengerti. "Mbak masih belum mau cerita?" tanya gadis itu hati-hati.
Risa mengulas senyum tipis. "Nggak perlu jadi pikiran kamu, Put. Yang penting kamu fokus kerja, dan semoga tahun depan bisa terwujud cita-cita kamu dan Amran," ucap wanita itu tulus.
"Amiin," sahut Putri, "Tapi Mbak jangan pernah sungkan kalau mau cerita sama aku."
"Tentu."
Suara sepeda motor memasuki pekarangan rumah, Putri sudah hapal sekali suara itu. "Mbak, Amran udah dateng, tuh. Kami pergi dulu, ya," pamit Putri.
"Oke. Hati-hati," sahut Risa seraya tersenyum.
____
Setelah puas berkeliling seraya menyantap kuliner di kaki lima, keduanya pun memutuskan untuk pulang. Tepat pukul sepuluh lewat tujuh belas menit mereka sudah tiba di rumah.
"Mau mampir dulu?" tawar Putri.
Amran menggeleng, seraya menaikan sleting jaketnya. "Lain kali, ya. Sudah mau hujan."
Putri mengangguk, dan berniat masuk ke dalam rumah.
"Put," panggil Amran.
Putri berbalik. "Ya," sahutnya.
"Jaga diri baik-baik ya di sini."
Putri mengerutkan dahi. "Ngomong apa sih!" seru Putri tak suka.
Amran mengulas tersenyum tipis. "Aku 'kan jauh, Sayang. Nggak bisa jagain kamu setiap waktu, jadi kamu harus jaga diri baik-baik. Aku doain dari jauh," jelasnya.
Putri berjalan mendekat, lalu mencium pipi Amran secepat kilat. "Aku pasti jaga diri di sini. Jangan khawatirin aku, kamu baik-baik di sana, ya."
Amran terlihat salah tingkah, membuat Putri mau tak mau tersenyum geli.
"Ya sudah, aku pulang dulu," pamit pria itu.
Putri melambaikan tangan. "Hati-hati di jalan. Helmnya jangan lupa di pakai," ucap gadis itu.
"Iya, di depan komplek aja. Soalnya mau berhenti di bengkel sebentar."
"Oke. Bye!"
"Bye!"
Putri masuk ke dalam rumah, meletakkan bungkusan berisi rawon yang tadi dibelinya untuk Risa.
"Aku mau kita cerai!"
Langkah kaki Putri terhenti ketika mendengar suara teriakan Risa yang berasal dari dalam kamarnya.
"Ngomong apa kamu?!"
Itu suara Kendra yang Risa yakin baru saja pulang dari luar kota.
Saat gadis itu akan melangkah menuju kamar Risa dan Kendra, suara ponsel dari saku menghentikannya.
Putri mengernyit heran, dari nomor tak dikenal.
"Hallo..." Sapanya.
"..."
"Iya, benar, saya sendiri."
"..."
"Apa?!" pekik gadis itu tak percaya. "Bapak jangan bercanda! Tunangan saya baru saja pulang!" bentaknya marah.
"..."
"Nggak mungkin... Mbak Risaaaaa... Mas Kendra...." Putri berlari menuju kamar keduanya, "Mbak Risaaaaa... Mas Kendra..." Putri mengetuk pintu kamar dengan tergesa-gesa.
"Ada apa, Put?" Risa muncul dengan wajah terkejut.
"Mbak, Amran... Mbak... Amran... kecelakaaan...."
"Astagfirullah, dimana Put?"
"Nggak tahu, Mbak... nggak tahu," ucap Putri seraya mengacungkan ponselnya.
Kendra yang paham langsung sigap mengambil ponsel Putri yang ternyata masih tersambung dengan si penelpon yang Kendra tebak dari pihak kepolisian.
Putri sendiri sudah tak sanggup lagi untuk berdiri, sehingga Risa harus dengan susah payah menuntunnya untuk duduk di sofa.
Kalimat Amran tadi terngiang di telinga gadis itu, yang memintanya untuk menjaga diri sendiri. Mungkinkah itu sebuah pertanda yang sayangnya tak Putri sadari.
Sungguh, Putri ingin sekali berlari menemui Amran, tapi ia merasa tubuhnya sangat lemas, bahkan untuk mengangkat tangannya saja ia tak sanggup.
Putri berharap semua ini hanyalah sebuah mimpi.
___
Tbc