Episode 21 : Makan

1294 Kata
Permainan pertama telah usai. Sesuatu yang mengejutkan adalah, peserta yang bertahan hanya tersisa kurang dari setengah, karena banyak peserta yang gugur di rangkaian permainan pertama, mulai dari Household Games hingga Jujur atau Tantangan. Para peserta yang tersisa, berkumpul kembali di ruangan kubus putih yang menjadi tempat awal mereka bangun saat terjebak di dalam permainan cinta paling syahdu di abad ini, Couple Games. Para peserta memfokuskan diri ke satu orang, di mana di dalam cuplikan permainan di dalam elevator, pemain tersebut tega menghabisi nyawa peserta lain, di saat semua orang mencoba sekuat tenaga untuk bertahan hidup. Para peserta takut akan menjadi korban selanjutnya dari peserta yang mengenakan nomor 17 tersebut. “Baiklah para peserta sekalian,” seru Pota yang kembali muncul di layar monitor empat arah yang ada di tengah ruangan. “Kita akan segera memasuki permainan kedua! Yeay!” Pota berseru sambil mengangkat tangan, menampakkan antusiasme yang tinggi terhadap permainan selanjutnya. Seluruh peserta hanya menghela nafas, mereka merasa tidak sanggup lagi untuk melanjutkan permainan. “Hei… hei… hei, kenapa kalian terlihat lemas?” ucap Pota dengan menyeret suara, seakan memperlihatkan jika ia sangat peduli kepada para peserta. “Tidak… tidak… tidak, kalian tidak boleh lemas di sini!” Tidak lama setelah itu, sebuah lubang muncul di salah satu sudut ruangan dan melemparkan bingkisan berisi roti dan air minum ke dalam ruangan. Beberapa bingkisan itu menghantam kepala dan badan peserta yang berdiri di area bingkisan itu mendarat, membuat mereka mengaduh kesakitan. “Makanlah! Aku tidak ingin kalian kelaparan di permainan selanjutnya!” seru Pota. Beberapa peserta segera mengambil makanan yang ada di lantai, namun beberapa peserta lain mengabaikan perkataan Pota, hingga tiba-tiba, moncong senjata api muncul dari sudut atas ruangan. “Jika kalian tidak mau makan, maka tidak ada alasan untuk kalian hidup, ehe. Lebih baik kalian mati saja, bagaimana?” Para peserta seketika berubah panik dan segera mengambil makanan yang ada di lantai. Mereka semua tahu, Pota tidak pernah bermain-main saat memberikan ancaman. Berbeda dengan peserta lain yang segera memakan bingkisan mereka dengan lahap, Eva hanya duduk di lantai sambil memegang bingkisan di tangannya, tanpa memasukkan bingkisan itu ke dalam perutnya. Juan yang ada di samping Eva, memandangnya tanpa bersuara. Ia tahu, kekasihnya sedang berada dalam suasana hati yang buruk, sama seperti dirinya. Hal itu dikarenakan permainan yang berlangsung di dalam elevator yang berhasil memporak-porandakan rasa percaya yang ada di hati keduanya. Juan perlahan memakan bingkisan di tangannya sembari terus menyaksikan Eva yang tidak bergerak dari tempatnya. Meski awalnya Juan berniat membiarkan Eva, berpikir mungkin setelah ini Eva akan melahap makanan di tangannya karena sudah terlalu lapar. Karena Juan pun tidak lupa jika sejak datang ke tempat ini, mereka belum memakan apapun sama sekali. Namun semakin Juan menunggu, Eva tidak kunjung melahap makanannya. Hal itu membuat Juan merasa geram, melihat Eva tampak tidak peduli dengan dirinya sendiri. “Makanlah!” Juan sedikit meninggikan suara kepada kekasihnya. Eva hanya diam, seakan tidak mendengar ucapan dari Juan. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Juan yang awalnya berdiri, ikut duduk di samping kekasihnya. “Aku tahu, suasana hatimu sedang buruk. Tapi dengan tidak peduli terhadap tubuhmu sendiri, tidak membuat semuanya menjadi lebih baik, Sayang.” Juan mengelus kepala Eva perlahan sambil tersenyum hendak menghiburnya, namun ditepis oleh kekasihnya. Senyum simpul yang awalnya terukir di wajah Juan, seketika luntur digantikan oleh raut wajah terkejut, tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh kekasihnya. Juan berpikir, apakah Eva masih marah karena mengetahui Juan pernah berbisnis dengan orang yang paling Eva benci? Atau ada alasan lain? Juan harus mencari tahu lebih lanjut tentang hal itu, karena awalnya Juan berpikir bahwa suasana hati Eva yang buruk tersebut karena situasi tidak menyenangkan yang mereka alami saat ini. Tetapi ketika melihat perlakuan Eva terhadapnya, Juan berpikir pasti ada sesuatu yang sangat salah saat ini dan harus memastikan itu agar ke depannya mereka bisa keluar dari tempat ini dengan selamat. Mendengar ucapan Juan, membuat Eva hanya menggelengkan kepala, tanpa menjawab apa yang menjadi rasa ingin tahu di kepala Juan. Juan tetap saja memakan bingkisan di tangannya, karena bagaimanapun ia harus menyiapkan tubuhnya untuk menyelamatkan Eva jika ada sesuatu yang terjadi kepada mereka. “Jika kau tidak ingin bercerita sekarang, tidak masalah. Tapi ingatlah, kita harus keluar dari permainan ini dengan selamat!” Juan berdiri, lalu beranjak meninggalkan kekasihnya sendirian. Tidak, Juan tidak benar-benar meninggalkan Eva, ia hanya memberi ruang kepada Eva dan mengawasinya dari jauh, berharap kekasihnya bisa memperbaiki suasana hatinya yang tengah hancur. “Wah, senang sekali rasanya menyaksikan anak-anakku makan dengan lahap, ehe!” Pota berpangku tangan sambil tengkurap di lantai, seakan sedang mengawasi semua orang dari atas. Sikap yang ditunjukkan Pota terlihat jika ia sedang merendahkan para peserta dan menganggap mereka hanya mainan. Beberapa peserta melirik ke arah monitor empat arah yang terpasang di tengah ruangan dengan mata sinis, namun mereka tidak bisa berbuat apapun untuk melawan. Sejenak kemudian, Pota bangkit dari posisi tengkurap, meregangkan sendi sejenak, kemudian mulai berbicara serius. Tapi, seserius apapun Pota, tetap saja ia mengatakan semuanya seperti sedang bercanda. “Baiklah… baiklah!” Pota bertepuk tangan beberapa kali, seakan sedang berbicara dengan murid taman kanak-kanak. “Kita akan segera memasuki permainan kedua, ayo semangat!” Pota mengangkat tangan tinggi-tinggi, seakan ingin mengajak anak balita bermain. Seluruh peserta saling berpandangan satu sama lain dengan raut wajah lelah. Mereka merasa tidak diberikan waktu istirahat sejak permainan pertama dimulai. Namun Pota yang ada di dalam layar, seakan tidak peduli dengan stamina para peserta yang masih terkuras habis, meski baru saja mereka menyantap makanan. Ya, makanan pertama yang diberikan sejak pertama kali tiba di sini. Belum selesai Pota mengoceh, tiba-tiba dua buah pintu muncul. “Nah, pintu menuju permainan selanjutnya sudah terbuka. Pemain laki-laki, silakan masuk melalui pintu sebelah kanan. Sedangkan peserta perempuan, silakan masuk melalui pintu sebelah kiri. Selamat bersenang-senang!” Seluruh peserta kembali saling melirik setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Pota. Sepertinya tidak ada pilihan lain bagi mereka selain mengikuti arahan dari badut kentang nakal itu. Tidak sedikit peserta yang enggan untuk berpisah. Beberapa peserta saling tidak ingin meninggalkan kekasihnya karena takut tidak bisa bertemu lagi. Banyak peserta perempuan yang menangis, sementara para peserta laki-laki banyak yang mencoba menguatkan kekasihnya. Sementara Eva, tanpa ragu dan tanpa menoleh ke arah Juan segera beranjak memasuki pintu sebelah kiri. Juan hanya bisa melihat Eva dari balik punggungnya, berharap setelah ini mereka bisa bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik. Setelah punggung Eva tidak terlihat lagi, barulah Juan berbalik dan berjalan menuju ke pintu sebelah kanan. Setelah melewati pintu di ruang kubus putih, Juan dihadapkan kembali dengan lorong gelap panjang yang seakan tidak memiliki ujung. Cukup lama Juan dan para peserta pria yang lain berjalan, hingga tiba di mana terdapat sumber cahaya di ujung lorong. Sebagian peserta berlari dengan antusias, ingin permainan segera dimulai dan mereka bisa berjumpa kembali dengan sang kekasih Sebagian lain termasuk Juan, memilih berjalan santai karena tahu jika permainan tidak akan dimulai sebelum semua peserta berkumpul. Keluar dari lorong, para peserta dihadapkan dengan lima buah pintu yang terbentang dari ujung kiri hingga ujung kanan. Pintu yang berukuran cukup besar dengan nomor yang tercetak jelas dan dapat terbaca oleh seluruh peserta, membuat peserta yang ada di barisan belakang pun bisa membacanya. Di bagian depan pintu, terdapat sebuah toples kaca yang berisi bola berwarna warni dengan angka yang tertulis di permukaannya. Di antara bola-bola itu juga terdapat banyak butiran styrofoam yang bisa mempersulit siapapun yang ingin memilih angka tertentu. Di belakang toples itu, telah berdiri seseorang yang mengenakan topeng badut kentang. Inilah kali pertama para peserta bertemu langsung dengan administrator permainan, setelah sebelumnya Pota hanya tampak di dalam layar. Hal serupa juga terjadi di ujung lorong tempat para peserta perempuan berada. Badut bertopeng kentang juga muncul di sana. Artinya saat ini ada dua orang yang mengenakan topeng badut kentang yang menjadi administrator permainan. Lalu sebenarnya, ada berapa kentang yang bertugas mengurus permainan ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN