Episode 22 : Labirin Cinta

1875 Kata
“Baiklah, aku akan menjelaskan peraturan permainan ini, yeay!” Pota mengangkat tangan di depan para peserta, membuat semua orang yang ada di tempat itu memandang Pota dengan mata jijik. Ingin rasanya mereka semua membunuh Pota saat ini juga, namun mereka sadar jika tidak memiliki kuasa untuk melawan kuasa dari administrator permainan. Salah bergerak sedikit saja, maka semua orang yang ada di sana akan kehilangan nyawa. Hal itu membuat semua peserta tidak memiliki keberanian untuk bertindak, begitu juga dengan Juan yang hanya diam. Sesekali Juan menengok ke belakang, khawatir akan keselamatan kekasihnya, Eva. Apalagi ini adalah kali pertama Juan berpisah dengan sang kekasih sejak memasuki permainan ini. Permainan kedua adalah Maze Game, di mana peserta harus mengambil satu dari lima bola di dalam toples yang ada di depan mereka. Bola-bola itu nanti akan menentukan, dari pintu mana peserta akan memasuki permainan. Maze Game adalah permainan labirin di mana semua orang yang masuk akan mencari pasangan mereka dan jalan keluar dari labirin yang cukup rumit di depan mereka. Cukup? Ah tidak, labirin di depan mereka diatur sedemikian rupa agar tidak banyak peserta yang lolos dari permainan. Bagaimanapun, siksaan fisik dan mental adalah sajian utama permainan ini. Pota pun menjelaskan, jika para peserta bertemu dengan pasangan milik peserta lain, maka mereka harus melanjutkan permainan bersama dengan orang tersebut. Artinya, penghianatan akan tersaji dengan apik di dalam Maze Game. Masing-masing peserta akan diberikan pin khusus yang akan menyala apabila mereka sudah bertemu dengan lawan jenis. Namun pin itu tidak akan menyala jika mereka berada di dekat peserta yang sesama jenis. Masing-masing peserta mulai mengambil bola milik mereka dan mendaftarkannya ke Pota yang berdiri di depan para peserta. Total ada sekitar dua puluh peserta yang berhasil lolos ke permainan ini. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan peserta yang pertama kali memasuki permainan. Sekitar lebih dari setengah peserta gugur di permainan pertama dan permainan di dalam elevator. Juan mendapatkan urutan nyaris terakhir ketika mengambil bola yang berisi angka tersebut, karena Juan melihat punggung Eva terlebih dahulu sebelum memasuki ruangan ini. Dengan hati-hati, Juan mengambil satu dari lima bola yang ada di dalam toples. Setelah mendapatkan bola, Juan mengangkat tangannya dari toples perlahan dan membuka genggaman tangan pelan-pelan juga. Juan menghela nafas panjang saat mengetahui nomor yang ia dapatkan. Nomor lima, pintu paling ujung yang isinya tidak diketahui oleh para peserta. Jalur seperti apa yang menunggu mereka, rintangan apa yang menanti di balik pintu itu, tidak ada peserta yang tahu akan hal tersebut. Pota kemudian menginstruksikan para peserta untuk berdiri di depan pintu, sesuai dengan nomor yang mereka dapatkan. Dengan lesu namun penuh harap, Juan mengikuti perintah dari badut kentang tersebut. Ia berdiri di depan pintu nomor lima, bersama dengan para peserta lain. Sesekali Juan menoleh ke arah orang-orang yang berdiri di depan pintu nomor lain, namun ia tidak berkomentar apapun karena merasa semua orang akan mengalami nasib yang sama dengannya. Juan hanya takut, entah dirinya maupun Eva, bertemu dengan orang lain terlebih dahulu sebelum dirinya. “Baiklah, para peserta, mari bersenang-senang!” Pota mempersembahkan permainan kedua. Sesaat setelah Pota berteriak, kelima pintu yang ada di depan para peserta terbuka, begitu juga dengan pintu yang ada di hadapan para peserta wanita. Semua peserta berbondong-bondong bergegas memasuki ruangan, kecuali Juan yang terlihat tidak bertenaga. Ia masih tetap merasa cemas dengan keselamatan kekasihnya. Baru saja para peserta memasuki labirin , tiba-tiba pintu yang mereka lewati tertutup, tergantikan dengan tembok tebal yang terbuat dari beton. Juan hanya menoleh ke belakang saat pintu itu menghilang. Ia dan dua peserta lain saling tatap. Juan memperhatikan nomor yang tercetak di bagian depan pakaian dua peserta lain. “Lima, tiga puluh,” gerutu Juan pelan. Ia tidak ingin suaranya didengar oleh peserta lain, karena tidak ingin orang-orang di sekitarnya tahu jika dirinya saat ini sedang mengamati gerak-gerik peserta lain. Bagaimanapun, Juan tidak bisa percaya kepada orang lain, mengingat tragedi yang melibatkan peserta nomor 17. Mereka bertiga masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Peserta nomor 5 menyadari jika ada sesuatu yang salah dengan peserta nomor 22, Juan. Melihat Juan menatapnya penuh curiga, peserta nomor 5 justru mengulurkan tangan sambil mengatakan namanya, “Lucas, dari Kota Industri!” Juan menatap tangan Lucas, lalu menyusuri ke atas hingga mata mereka bertemu. Lucas mengukir senyum, berharap uluran tangannya disambut. Namun Juan masih tetap tidak bergerak, ia masih tidak percaya kepada orang lain. Melihat uluran tangan Lucas tidak bersambut, peserta nomor 30 berinisiatif meraih tangan Lucas dan berkenalan dengannya. “David, aku juga dari Kota Industri,” sahut peserta nomor 30. “Wah, kita berasal dari satu daerah yang sama?” Lucas semakin mempererat jabatan tangannya kepada David. David pun merasa memiliki teman seperjuangan, ia dengan senang hati berteman dengan Lucas, sementara Juan masih diam mematung. “Juan, aku juga dari Kota Industri,” sahut Juan sambil berlalu, tanpa melakukan kontak fisik dengan dua peserta yang lain. “Astaga, dingin sekali pria itu! Padahal kita sama-sama berasal dari Kota Industri{“ gerutu Lucas sambil mengangkat bahu. David pun berdecih sambil menggeleng pelan. Ia berpikir, seharusnya para peserta saling membantu untuk bisa lolos dari permainan ini, bukannya saling bersaing satu sama lain. Belum lagi, tugas para peserta hanya menemukan pasangan mereka, lalu keluar dari tempat ini dengan selamat, tidak perlu saling membunuh. Lucas mengerlingkan mata, ia ikut kesal dengan tingkah Juan, lalu mereka berdua berjalan mengikuti Juan yang sudah meninggalkan dua orang itu sendirian. Setelah beberapa saat berjalan, kini di hadapan mereka terdapat percabangan ke kanan dan kiri. Juan berhenti dan berpikir, jalan mana yang harus ia lewati. Juan menoleh ke kanan dan kiri, bingung mengambil keputusan. Sementara Lucas menginstruksikan David untuk melewati jalur kiri. “Kau yakin?” tanya David. Lucas hanya mengangkat bahu dan menjawab singkat, “kita tidak pernah tahu sebelum mencoba.” Setelah itu, lucas dan David berlalu meninggalkan Juan di tengah pertigaan. Namun baru beberapa langkah berjalan, Lucas menghentikan langkah kaki dan menghela nafas panjang. David yang bingung dengan apa yang dilakuan teman barunya itu, menepuk bahu Lucas perlahan. “Kenapa?” tanya David. Lucas hanya berdecih, lalu berblik menghampiri Juan yang masih berdiri mematung. Sejak permainan pertama, Juan memang selalu menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan mengambil keputusan. Hal itu bisa saja membuatnya tertinggal di dalam labirin tanpa bisa keluar. “E-eh,” ucap Juan ketika Lucas menyeret tangannya. Pria berwajah latin itu berjalan tertatih mengikuti tenaga Lucas yang seakan tidak memberi ampun padanya. “Kau lambat dan terlalu takut untuk mencoba, Anak Muda,” sahut Lucas. Juan mengernyitkan dahi, tidak suka dengan perkataan dari Lucas. “Kau juga masih kecil, Bocah!” seru Juan. Sayangnya, meskipun ia sekuat tenaga mencoba melepaskan diri dari cengkraman Lucas, tetap saja tidak berhasil meloloskan diri. “Hei, lepaskan!” Juan berusaha memberontak, namun tidak berhasil. Akhirnya, mereka bertiga berjalan beriringan, meski satu di antaranya harus dipaksa untuk menyusuri labirin bersama. Di tengah jalan, Lucas merogoh sesuatu dari sepatunya. Juan dan David memandangnya dengan heran, ketika Lucas mengeluarkan sebuah tongkat kecil, berukuran sekitar tiga sentimeter yang terbuat dari logam. “Aku memungut ini dari permainan pertama, siapa tahu berguna,” ucap Lucas sambil melempar logam yang ia pegang ke udara. Juan dan David tampak bingung dengan apa yang dilakukan oleh Lucas, hingga akhirnya mereka bertemu dengan pertigaan lain. Lucas berdiam diri dan berpikir sambil melihat ke segala arah, mencoba mengambil keputusan. Lucas menghela nafas panjang, menyadari jika dua orang yang ada di sampingnya sama sekali tidak bisa diandalkan dalam penjelajahan labirin. Akhirnya, Lucas meunjuk ke arah kanan. Juan memandang Lucas dengan curiga, karena saat ini Lucas seakan memutuskan sesuatu dengan ragu, tidak seperti ketika ia bertemu dengan pertigaan yang pertama. Namun saat mereka bertiga berjalan ke arah kanan, ia mencoret dinding labirin yang terbuat dari beton dengan tongkat logam yang ia bawa. Dari sinilah Juan dan David menyadari fungsi dari tongkat logam tersebut, yaitu untuk menjaga mereka agar tidak tersesat. Di sudut lain, Eva sangat tidak beruntung karena masuk ke dalam labirin sendirian. Entah bagaimana ceritanya, tidak ada peserta lain yang mendapatkan nomor pintu yang sama seperti Eva. Perempuan berambut lurus hitam itu berjalan menyusuri labirin seorang diri, tanpa membawa apapun di tangannya. Saat Eva bertemu dengan percabangan jalur, ia hanya bisa menoleh ke kanan dan kiri lalu mengambil satu jalur secara acak. Eva dan para peserta lain berpikir jika permainan ini hanya sekadar menyusuri labirin dan mencari tambatan hati. Namun mereka semua salah, karena banyak hal yang sudah menunggu mereka di depan. Penyusuran panjang yang Eva lakukan berhasil membawanya bertemu dengan segerombolan peserta perempuan lain. Ada sekitar empat atau lima orang berjalan bersama, saling bercanda seakan mereka sedang berada di dalam wahana permainan. Ketakutan yang ditunjukkan oleh para peserta saat sebelum memasuki labirin, seakan lenyap ketika para perempuan itu berkumpul. Bukannya mendekat karena menemukan teman, Eva justru mengendap-endap dan mengintip mereka dari jauh, lalu mengikuti ke mana langkah kaki mereka berjalan. Dengan begini setidaknya Eva tidak tersesat sendirian. Jika memang tidak menemukan jalan keluar, setidaknya Eva menemukan teman seperjuangan. “Hei!” Seseorang menepuk bahu Eva dari belakang, membuat perempuan muda itu segera menepis dan bergerak menjauh, serta memasang kuda-kuda siaga. Eva bersiap untuk bertarung, jika perempuan di depannya itu menyerang. Eva memperhatikan perempuan yang tersenyum manis kepadanya. “Nomor 5, ha?” tanya Eva dengan nada tinggi sambil tetap memasang kuda-kuda siaga. “Kalian adalah pasangan yang seakan tidak mengenal takut saat memasuki ruangan kubus putih. Apa yang kau inginkan dariku?” Eva terlihat panik, ia menoleh ke kanan dan kiri mencari apapun yang bisa ia gunakan untuk menyerang. Sayangnya, labirin tempat mereka berdiri hanya berisi ruangan kosong dengan tembok beton tinggi yang mengelilinginya. “Tenanglah, peserta nomor 22. Aku tidak ingin apapun darimu,” sahut peserta wanita nomor 5 sambil mengangkat tangan dan mengukir senyum canggung di wajahnya. Ia tahu, peserta nomor 22 sedang dilanda kepanikan. Mungkin memang dirinya tidak bisa percaya kepada orang lain. “Dari mana kau muncul? Aku dari tadi sendirian, kau tidak mungkin datang begitu saja!” Peserta nomor 5 tertawa sambil menutup mulutnya ketika mendengar ucapan dari Eva. Mata Eva yang bergerak cepat ke kanan dan kiri membuatnya sangat mudah ditebak jika sedang panik. “Kau terlalu fokus kepada para peserta yang kau intai, hingga tidak sadar ada orang lain yang juga mengintaimu,” ucap peserta nomor 5. “Aku Lilia,” lanjut peserta nomor 5 sambil mengulurkan tangan kepada Eva. Perempuan yang berdiri sedikit jauh dari Lilia itu, hanya diam tanpa komentar. Ia masih tidak bisa percaya kepada orang lain, apalagi orang yang berlagak ramah seperti perempuan di depannya. Lilia menghela nafas, ia kecewa uluran tangannya tidak disambut ramah oleh peserta nomor 22 di depannya. “Baiklah jika kau tidak mau berkoalisi, aku akan berjalan sendirian.” Lilia memalingkan muka dan berjalan menjauh dari Eva. Melihat Lilia bersungguh-sungguh meninggalkannya, membuat Eva akhirnya bergerak mengikutinya. Ia bahkan sedikit berlari, agar tidak tertinggal dari peserta nomor 5 di depannya. “Eva, aku Eva,” celetuk peserta nomor 22 itu sambil mengimbangi langkah dari Lilia, membuat peserta wanita nomor 5 itu tersenyum tipis sambil tetap berjalan. Lilia senang, ia berhasil menemukan orang lain untuk berjalan bersamanya. Tapi, bukankah ini semua seperti kebetulan? Lucas yang kebetulan mengenakan nomor 5, bertemu dengan Juan di pintu masuk labirin. Sedangkan Lilia yang merupakan kekasih dari Lucas, bertemu Eva saat kekasih dari Juan itu kebingungan di dalam labirin. Entahlah, memang terlalu banyak kebetulan yang mengiringi perjalanan dari peserta nomor 5.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN