Episode 5 : Preparation

1580 Kata
“Anak-anak, ayo bangun!” “Sampai kapan kalian akan tidur terus?!” “Anak-anak, ayo main!” “Ah, kalian sama sekali tidak menyenangkan, berapa lama kalian akan terus tidur?!” “HEI!” Suara Pota terdengar nyaring dari pengeras suara yang terpasang di sudut ruangan. Para peserta masih terlelap di lantai jerami ala Jepang atau yang biasa disebut dengan tatami, di dalam ruangan dengan dekorasi khas Asia Timur. Pota terus saja meneriakkan hal-hal tidak penting untuk memancing para peserta agar bangun. Peserta nomor 22, Juan, sayup-sayup mendengar gerutu dari administrator permainan bertahan hidup itu, membuatnya pelan-pelan bangkit sambil memegangi kepala yang masih terasa berat. Saat ia bangun dan duduk, dunia terasa berputar di dalam matanya. Pusing, pening, rasanya seperti ia baru meminum minuman keras dalam porsi yang besar. Juan mengedarkan pandangan ke sekitar, menatap ruangan tempatnya terbangun dengan heran. Juan sadar jika ia lagi-lagi dipindahkan ke ruangan lain. Juan masih saja bertanya-tanya, jika memang kamar mewah tempat ia terbangun sebelumnya tidak memiliki pintu, lantas bagaimana ia diangkut? Juan melihat ke samping, ke arah Eva yang masih tetap terlelap. Juan menelusur dari kepala hingga kaki, menyaksikan Eva dengan rasa kasihan. Juan menghela nafas, meratapi nasibnya yang terbawa ke dalam permainan bertahan hidup tanpa ia tahu alasannya. “Hei, bangun!” Juan menggoyang-goyangkan badan Eva perlahan, membuat perempuan berambut sepunggung itu perlahan mulai sadarkan diri. “Emh…” Eva melenguh pelan, sedetik kemudian ia mengucek mata dengan malas. Sepertinya Eva belum sadar jika berada di tempat lain. Sama seperti Juan, Eva bangun sambil memegangi kepala, merasa dunia berputar karena pusing. Eva terdiam sesaat, sadar bahwa saat ini ia sedang berada di tempat yang berbeda dari sebelumnya. “Di mana ini? Kita dipindahkan lagi?” tanya Eva lirih. “Benar, pusing sekali kepalaku. Lagi-lagi sepertinya ruangan ini tidak memiliki pintu keluar.” Juan kembali mengedarkan pandangan, melihat sekeliling tempat ia berada yang tampak tidak memiliki pintu. “Bukankah di depan kita itu pintu geser?” Eva menunjuk tepat ke depan, ke arah kertas transparan yang menjadi dinding ruangan tempat mereka berada. “Pintu geser? Itu terlihat seperti dinding bagiku,” sahut Juan. “Itu namanya Shoji, Sayang, pintu geser tradisional khas dari Jepang. Mungkin kita bisa keluar dari sini jika melalui pintu itu,” sahut Eva lirih. Gadis dengan tahi lalat di pipi kirinya itu berusaha berdiri dengan tertatih. Kepalanya yang masih terasa berat, membuat Eva kesulitan untuk bangkit. Melihat Eva yang tengah kesusahan, membuat Juan berinisiatif menguatkan dirinya berdiri terlebih dahulu, kemudian mengulurkan tangan kepada kekasihnya, membuat Eva tersipu dengan sikap jantan dari lelaki di sampingnya. Pota masih saja mengoceh di pengeras suara, karena beberapa pemain masih ada yang terlelap. Sepertinya obat tidur yang kugunakan memiliki dosis terlalu tinggi. Eva menggenggam tangan Juan erat-erat, berjalan perlahan ke arah shoji, memperhatikan dengan seksama seluruh bagian dari pintu geser tersebut. Juan yang ingin segera menyelamatkan Eva, mengulurkan tangan hendak menyentuh pintu geser tersebut. “Tunggu, Juan!” Eva merentangkan tangan di depan tubuh Juan, menghentikan gerakan kekasihnya yang tinggal beberapa sentimeter lagi menyentuh shoji. “Ada apa?” tanya Juan sambil menoleh ke arah Eva dengan heran. “Ada yang aneh,” sahut Eva sebelum kemudian ia mendekatkan diri ke arah shoji di depannya. Dengan seksama ia memperhatikan shoji itu, berjaga-jaga apabila ada sesuatu yang salah di sana. Eva merogoh kaos yang ia kenakan dari bawah, melepas salah satu plester yang terpasang di tubuhnya. Plester yang semula digunakan untuk menutupi salah satu area pribadinya itu, ia lemparkan ke arah shoji. “Ah!” teriak Juan dan Eva bersamaan sambil menutupi mata mereka dengan telapak tangan. Plester yang Eva lempar, seketika meledak dan terbakar saat menyentuh permukaan shoji. “Sudah kuduga,” gerutu Eva. “Jebakan?” Juan mendekatkan diri ke permukaan shoji, lalu memicingkan mata, berusaha melihat apa yang terpasang di sana. “Dugaanmu benar, Sayang,” puji Juan pada kekasihnya yang berhati-hati. Juan melihat samar-samar ada garis berwarna merah yang melintang dari satu ujung shoji ke ujung lain. Sebuah garis laser panas sangat tipis yang mampu meledakkan apapun yang menyentuhnya. Di dalam ruangan lain, beberapa orang berteriak kesakitan dan ketakutan. Mereka berpikir pintu yang terdapat pada ruangan yang mereka tempati adalah jalan keluar dari permainan ini. Entah pikiran polos mana yang meracuni para peserta, kenapa mereka begitu naif? Apakah mereka berpikir ini hanya film sehingga bisa bertindak seenaknya? Pota yang mengawasi semua peserta dari ruangan CCTV menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, kejadian apa yang sedang menimpa para peserta. Salah satu ruangan memperlihatkan empat jari tangan peserta pria terpotong setelah menyentuh permukaan shoji. Meski hanya bagian ujung jari yang terluka hingga putus, sakit yang dirasakan oleh peserta benar-benar menyiksa. Pakaian putih pria tersebut pun menjadi kotor dengan banyaknya bercak merah yang timbul akibat darah yang memuncrat dari tangannya yang terpotong. Dari dalam ruangan CCTV, Pota menekan tombol untuk menghidupkan mikrofon yang tersambung ke seluruh ruangan. “Mohon hati-hati semuanya, karena pintu shoji yang ada di ruangan itu dilengkapi laser panas yang bisa memotong tangan kalian, ehe.” Pota terlihat sangat senang saat menyaksikan para peserta tersiksa. Ia bahkan menggoyang-goyangkan kepala dan kaki, sesekali ia tertawa sambil menunjuk kamera yang memperlihatkan kepanikan dari para peserta. “Kenapa kau tidak bilang dari tadi, dasar Badut Kentang payah!” protes kekasih dari pria yang tangannya terpotong. “Kau protes, Nona Manis?” Pota terlihat tidak senang dengan peserta yang menggerutu kepadanya. Sayangnya, suara Pota juga dapat didengar oleh peserta di ruangan lain, membuat mereka yang tidak melakukan apapun menjadi bingung dengan arah obrolan. “Kau sendiri yang tidak berhati-hati dalam bertindak, dasar payah!” ejek Pota. “Dasar Kentang Busuk! Kau selalu bertindak seenaknya!” Kekasih pria yang terpotong tangannya itu berteriak semakin kencang, Pota yang berada di ruang CCTV sampai mengepalkan tangan. Badut kentang itu rupanya juga bisa marah. Pota menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Meski Pota sedang marah, tetapi ia tidak boleh menunjukkan emosi kepada para peserta, demi menjaga profesionalitas katanya, hahaha. “Kau bilang aku seenaknya sendiri, bukan? Kalau begitu…” Suara tembakan beruntun terdengar dari ruangan nomor 1, tempat di mana pria dengan tangan terpotong dan kekasihnya berada. Tidak lama setelah itu, tidak lagi terdengar suara dari dalam ruangan tersebut. Kerasnya suara tembakan bahkan terdengar hingga ke tempat Juan dan Eva berada, membuat dua sejoli itu saling menggenggam tangan satu sama lain. Mereka berdua tahu, jika bertindak sembarangan akan membahayakan nyawa mereka sendiri. Juan dan Eva harus bertindak cerdik jika ingin keluar dari permainan ini dengan selamat. Sementara beberapa peserta lain, justru berteriak semakin histeris mendengar suara tembakan. Mereka masih belum siap jika harus kehilangan nyawa di sini. “Hei… hei… hei… ayo tenang anak-anakku sekalian…” ucap Pota sambil menepuk tangan. Pota bersikap seperti guru TK yang berusaha menenangkan anak didik yang sedang rewel. Sayangnya, sikap ramah dan lemah lembut Pota tidak dapat disaksikan oleh para peserta yang hanya mampu mendengar suaranya. Lagipula, para peserta Couple Games juga tahu jika Pota adalah kentang psikopat yang berlagak imut. Pemandangan panik yang tercipta di beberapa bilik, berbanding terbalik dengan pemandangan yang ada di kamar nomor 7. Gadis oriental dengan badan padat berisi itu, terlihat berseteru dengan kekasihnya. Lelaki Asia Tenggara berkulit coklat eksotis menatap gadis itu dengan sorot mata penuh kebencian. Mereka berdua duduk saling berjauhan, berbeda dengan para peserta lain yang saling menguatkan satu sama lain. Gadis oriental itu hanya duduk di tepi ruangan, menatap ke depan, mengabaikan suara berisik dari luar ruangan mereka. Bahkan dua orang penghuni bilik nomor 7 tidak bergeming saat mendengar suara tembakan dari luar. Sepertinya, dunia luar hanya hiburan bagi mereka. Konflik internal yang terjadi di antara keduanya, mungkin jauh lebih penting bagi mereka. “Baiklah, karena semua peserta sudah bangun, sekarang saatnya kita mulai permainan pertama. Pasti kalian semua tidak sabar dengan permainan ini bukan? Benar bukan? Iya bukan? Ehe.” Kalimat menyenangkan yang Pota lontarkan, terasa bagai mimpi buruk bagi para peserta. Sebagian besar dari mereka tahu, bahwa apa yang akan mereka mainkan adalah permainan yang mempermainkan nyawa manusia. Sebelum permainan dimulai saja, sudah ada setidaknya empat orang yang menjadi korban kekejaman Pota. Saat aku, Ramagendhis, bertanya kepada Pota, badut kentang itu berdalih bahwa ia hanya ingin menunjukkan rasa cinta kepada para peserta. Pota sangat menyayangi para peserta Couple Games, seperti mainan yang baru ia beli dari toko. Karena rasa sayang itulah akhirnya membuat Pota akan senang hati membuang siapa saja yang tidak bisa membuatnya senang, karena Pota menganggap peserta tersebut seperti mainan rusak. Meski memang baru dibeli dari toko, tetapi jika sudah rusak, maka mainan itu hanya bisa dibuang. Begitu kira-kira isi kepala Pota hanya memikirkan kesenangannya sendiri. Pria gempal yang ada di ruangan nomor 18, menangis sejadi-jadinya saat mendengar suara tembakan dari luar biliknya. Saat Pota mengatakan bahwa permainan akan dimulai, pria itu menangis semakin histeris, membuat kekasihnya terus menerus berusaha menenangkan bayi besar yang ada di sampingnya. Sungguh, sikap cengeng yang ia tunjukkan sangat berbanding terbalik dari fisik yang ia miliki. Seorang pria besar biasanya pemberani dan kuat. Sayangnya, pria besar kita yang satu ini hanyalah bayi besar penakut yang mungkin bisa mengompol di celana sewaktu-waktu. Sebagian peserta mempersiapkan diri dengan permainan pertama yang akan dimulai, meski mereka tahu bahwa mereka tidak akan siap menghadapi apapun yang dimainkan. Tetapi tenang, Couple Games tidak akan menyajikan permainan sulit di awal-awal. Kita hanya akan melakukan permainan sederhana, permainan yang menguji seberapa sayang para peserta kepada kekasihnya. Permainan ini adalah permainan saling melayani. Sebagai suami, para peserta pria harus bisa membuat istri mereka puas. Sebagai istri, mereka harus bisa menyenangkan suami. Kira-kira, permainan seperti apa yang akan dimainkan? PARA PENONTON, APAKAH KALIAN SIAP?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN