UNCONDITIONAL.
EDWIN menyukai Elle. Itulah kira-kira yang terbesit di benak pria itu. Edwin hanya laki-laki biasa dan ia menyukai semua wanita. Lekuk tubuh wanita dan desahannya, pun dengan Ele. Namun apakah Elle sama seperti wanita yang selama ini ditidurinya? Ataukah wanita yang satu ini berbeda?
Dalam perjalanan cintanya, Edwin memang belum pernah menginginkan seorang wanita seperti ia menginginkan Elle. Edwin bahkan rela menjatuhkan harga dirinya sendiri demi melayani wanita itu di malam pertama mereka saling memadu kasih. Bagi Edwin, Elle lebih dari sekedar pemuas hasratnya. Entah apa yang membuat Edwin tertarik pada wanita itu. Bahkan saat berdiri berhadapan seperti sekarang pun, Elle seolah memancarkan sesuatu yang selalu menarik perhatiannya.
Maka dari itu, Edwin menghalalkan segala cara agar ia bisa menghabiskan waktu bersama Elle lagi. Salah satunya dengan memberi pilihan yang sulit untuk Sang Putri.
“Kalau kau terus berdiri di sana dan melihatku, lama-lama kau bisa mandi dengan air liurmu sendiri!” Elle berkata ketus, membuat Edwin tertawa dalam hati.
“Aku berliur?” tanya Edwin polos. Edwin tahu kalau Elle sedang menyindirnya. Ia memandangi Elle seperti seekor anjing melihat tumpukan tulang.
“Tidak.” Elle memutar bola matanya. “Kapan kau membawaku keluar dari sini?” tanya Elle ketus.
Edwin memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku celana. Ia mengambil ponselnya. Ponsel itu memang terlihat seperti ponsel pada umumnya. Hanya saja sedikit lebih telah. Pria itu menekan salah satu tombol pada gawainya dan muncullah sesuau dari bawah ponsel.
Sebuah pisau memanjang seolah keluar dari ponsel tersebut. Seriangian nakal bermain di bibir Edwin, pria itu bisa merasakan ketakutan di dalam manik mata Elle. “Kau tidak bermaksud membawaku ke neraka, kan?” tanya Elle dengan suara bergetar.
“Kau hanya memintaku membawaku keluar dari sini, bukan?”
“Iya. Tapi bukan berarti kau melukaiku atau membunuhku.” Elle mundur satu langkah. Wanita itu berpikir jika ia mundur lagi, satu atau mungkin lebih peserta rapat pasti akan melihatnya.
Bukannya menjawab pertanyaan Elle, Edwin justru berbalik. Pria itu sibuk dengan sebuah jendela yang berada tepat di depan mereka. Sebenarnya Elle berpikir untuk memakai jendela tersebut dalam upaya melarikan diri dari Edwin. Namun ia sangat yakin kalau jendela itu terkunci dari dalam. Dan sialanya ternyata Edwin membawa sesuatu untuk mencongkel jendela sialan itu.
Sebelum menarik Elle ke cerukan tembok dan mengajak wanita itu berbuat nakal, Edwin sudah menghitung semua kemungkinannya. Ia sadar di mana mereka berada. Edwin yang sebelumnya telah mengawasi tempat itu, sudah tahu kalau di sana terdapat cerukan tembok yang lumayan dalam dan tersembunyi sbeuah jendela yang tidak terlalu besar tetapi cukup untuk dilewati oleh satu orang.
Awalnya Edwin hanya ingin berbicara empat mata dengan Elle. Ia tidak merencakan akan berbuat yang tidak-tidak dengan wanita itu. Bahkan ia sendiri terkejut tatkala mendapati Elle ternyata adalah seorang putri. Namun nalurinya sebagai lelaki justru meminta lebih. Edwin menginginkan Elle lebih dari hanya sekedar bercakap-capak.
Setelah berhasil mencongkel jendela, Edwin berbalik dan melihat Elle tangah menunggu dengan panik. Alasan kekhawatiran Elle tak lain adalah ruangan meeting yang kini dipenuhi banyak orang. Satu atau dua dari mereka mungkin saja mendengar bisik-bisik Edwin dan Elle lalu memergoki mereka. Dan Edwin masih cukup waras untuk tidak mempermalukan wanita terhormat itu.
Edwin membuka jendela kaca itu lebar-lebar dan memberi isyarat kepada Elle untuk segera masuk. Wanita itu dengan cekatan melompat perlahan melalui bingkai jendela. Begitu sampai di sebuah ruangan yang ternyata adalah ruangan yang tidak terpakai, Elle bergantian dengan Edwin memegangi jendela tersebut dan membiarkan Edwin lewat.
Setelah Edwin berhasil melewati bingkai jendela, Elle seger mentutup jendela tersebut perlahan dan menguncinya lagi. Keduanya mendesah pelan. Ruangan itu gelap gulita.
“Bagaimana kau melakukannya?” tanya Elle dalam kegelapan yang menyergap keduanya.
“Aku bekerja untuk seorang mafia. Tentu saja aku bisa melakukan ini. Apa kau tahu di mana kira sekarang?”
Tentu saja Elle tahu. Mereka berada di dalam salah satu ruangan yang sudah lama sekali tidak dipakai. Dulu, Elle selalu bersembunyi di tempat ini bersama seseorang. Ia ingat betul setiap detail ruangan ini. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk tidak lagi datang ke tempat ini setelah sosok itu pergi meninggalkannya. “Dulunya tempat ini adalah ruang belajar dan perpustakaan. Tapi sudah lama sekali ayahku menutup ruangan ini.”
Edwin mengambil ponsel dari saku celananya. Begitu ia menekan sebuah tombol, sebuah proyeksi transparan muncul di hadapan mereka. Hal kecil itu berhasil membuat seorang Elle hampir terjungkal, Edwin menggunakan kesempatan itu untuk memeluk wanita tersebut dari belakang.
“Astaga!” seru Elle tertahan. “Kau membuatku takut! Apa itu tadi?”
“Aku hanya membuat ruangan ini lebih terang.” Jawab Ewdin singkat seraya mendaratkan bibirnya di pipi Elle.
“Edwin, kau mencuri kesempatan dalam kesempitan!” gerutu Elle seraya menjauh dari d**a bidang Edwin yang nyaman dan berotot. Elle juga manusia biasa. Jika dihadapkan pada pria dengan tubuh proporsional seperti Edwi, ia pasti akan meleleh dalam pelukan pria itu. Dan sejujurnya Elle tidak menyukai sisi liarnya yang satu ini.
“Memang.” Jawab Edwin lengkap dengan seringaian nakalnya.
“Dasar b***t!”
“Kemarin iblis, sekarang b***t. Besok apa lagi?”
“Akan kupikirkan. Aku belum mendapat ide untuk julukan selanjutnya.”
Edwin terkekeh. Sedikit demi sedikit ia bisa melihat isi ruangan tersebut. Ruangan itu cukup luas. Sebagian perabotnya sengaja ditutup kain agar tidak berdebu. Ada beberapa potret dua anak perempuan dan juga ayah-ibu mereka. Edwin hanya melihat sekilas potret itu. “Memberi nama julukan butuh berpikir?”
“Tentu saja. Aku butuh inspirasi.”
“Kau berlagak seperti penulis saja. Huh!” Edwin mencibir.
“Ini hidupku, aku bebas melakukan apa pun yang kumau.”
“Tidak jika berkaitan denganku. Orang lain bisa menuntutmu kalau kau memberi julukan buruk pada mereka.” Edwin berjalan perlahan menuju pintu. Elle mengikutinya di belakang.
“Oh, jadi sekarang kau tersinggung? Kau ingin menuntutku? Membawaku ke meja hijau?” Elle menyentak-nyentakkan kakinya kesal.
“Tidak. Aku akan membawamu ke apartemenku. Itu pun kalau kau mau.” Edwin masih memegang ponselnya dan semakin mendekati pintu.
“In your dream!” cibir Elle.
Edwin mengedikkan bahunya. “Whatever!” ucapnya santai.
Mereka sampai di depan pintu. Edwin berbalik dan bertanya kepada Elle. “Kau atau aku dulu yang keluar?”
“Bagaimana jika ada yang memergoki kita?”
“Saat pintu terbuka, pastikan tidak ada yang lewat. Maka tidak akan ada yang melihat kita.” Terang Edwin dan diangguki oleh Elle.
Edwin menempelkan telinganya di daun pintu. Ia masih mendengar sayup-sayup orang berjalan dan berbicara. Para pelayan yang sibuk keluar-masuk ruang meeting. Pria itu berbalik dan melihat Elle sekilas. “Belum aman.” Katanya tegas. Elle mengangguk.
Kurang lebih tiga menit kemudian, Edwin yang masih menempelkan telinganya di daun pintu itu berbalik dan menyuruh Elle untuk segera keluar karena ia tidak mendengar suara apa pun. Elle dengan semangat menggebu segera berjalan ke pintu. Sebelum Edwin membuka pintu untuknya, Elle berkata. “Di mana kau mendapatkan benda canggih itu?”
Kening Edwin mengkerut. “Kenapa?”
“Aku menginginkannya. Aku seorang putri dan aku akan mendapatkan apa pun yang kumau.”
Sebuah senyuman menghiasi wajah tegas Edwin. “Sayangnya, benda ini tidak dijual, Princess.”
“Katakan berapa harganya?”
“Kubilang ini tidak untuk dijual!” ucap Edwin tegas.
“Oh, ayolah, Ed! Kenapa kau pelit sekali?”
“Aku bukannya pelit, Princess. Benda ini memang tidak untuk diperjulabelikan di pasaran.”
“Jadi, dari mana kau mendapatkannya!” bibir Elle mengerucut. Edwin membayangkan bibir itu sedang mengirim sebuah ciuman lewat udara untuknya. Astaga!
“Dari perusahaan di mana aku bekerja.”
“Kau bisa membelinya dan memberikannya untukku. Aku akan mengganti uangmu.”
“Tidak bisa, Princess.” Edwin mendengus pelan. Putri yang satu ini benar-benar keras kepala. Terbesit di benak Edwin untuk memanfaatkan keinginan konyol Elle itu. “Kecuali…” Edwin menjeda ucapannya.
“Kecuali?” kening Elle mengekerut. Ia tidak sabar menunggue Edwin melanjutkan kata-katanya.
“Kau mau menghabiskan satu malam lagi bersamaku.”
Elle tampak berpikir keras untuk tawaran yang satu ini. Di satu sisi ia ingin sekali mendapatkan benda canggih itu, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa jika harus tidur dengan Edwin lagi. Elle bukannya takut kalau Edwin akan memanfaatkannya, sehauh pengamatannnya, meskipun mereka baru saja saling mengenal, sepertinya Edwin bukanlah tipe pria yang akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan kekuasaaan. Edwin terlihat seperti pria terhormat.
Namun, kali ini Edwin mengabaikan egonya. Ia mengubur keinginannya untuk memiliki alat canggih itu dalam-dalam. Elle takut jika terlalu sering bersama Edwin, hal itu akan membuat dirinya bergantung kepada Edwin, dalam berbagai hal. Terutama dalam hal bermain di ranjang. Wanita itu mendesah sekali. “Lupakan saja permintaanku. Aku batal menginginkan benda itu.”
Tanpa Elle sadari, di sisinya Edwin justru tersenyum simpul. Pria itu memegang handle pintu, dan sebelum ia menarik handle tersebut, Edwin berkata. “Aku akan memberimu satu.”
“Aku tidak akan menerima syarat darimu lagi, Ed.” Ucap Elle lemah. Ia mulai takut berhubungan dengan Edwin. Alasan ketakutannya adalah, Elle merasa ada sesuatu dari dirinya yang begitu menginginkan Edwin. Dan itu berbahaya bagi mereka berdua.
“Tanpa syarat.” Edwin menarik handle pintu sehingga Elle bisa keluar saat itu juga. Namun, diluar dugaannya, Elle justru berbalik dan menutup pintu itu lagi.
“Tanpa syarat?” ulang Elle dan Edwin mengangguk mantap.
Melihat anggukan Edwin, Elle sontak memeluk leher Edwin dan menciumi seluruh bagian wajah pria itu. Dimulai dari kedua pipinya, keningnya, bola mata, hidungnya dan terakhir bibirnya. Elle mencium bibir Edwin singkat, tetapi jantungnya justru berdegup kencang saat melakukan hal itu.
Elle sadar, siapa dirinya dan siapa Edwin. Mereka bahkan belum genap 24 jam saling mengenal, Namun, semua tingkah lakunya justru terlihat semakin ceroboh di hadapan Edwin. Elle menarik bibirnya perlahan. Pria itu bahkan tidak bereaksi. Hanya menatapnya lekat-lekat. “Maaf.” Cicit Elle seraya menarik lengannya dari leher Edwin.
Edwin menyinggingkan senyumnya, menahan tangan Elle di lehernya. Pria itu mengecup pelan bibir Elle, mengulumnya singkat, memberikan ketenangan bagi Sang Putri. “Kau lucu.”
“Ceroboh.” Jawab Elle malu-malu.
“Aku akan berusaha memberikan apa pun yang kaumau.”
Elle tidak bisa berkata-kata mendengar kata-kata itu keluar dari bibir Edwin. Mungkin saat dalam kondisi sadar, ia akan menertawakan rangkaian kalimat itu, tetapi saat ini sepertinya ia sedang mabuk. Bukannya tertawa Elle justru terpesona dengan iblis bernama Edwin Cyrus yang telah membuatnya terjebak di dalam ruangan perupustakaan lama.
“Kita harus keluar sekarang.” Ucapan Edwin langsung menyadarkan Elle. Wanita itu menarik diri dari pelukan Edwin dan bergegas memperbaiki rambut juga pakaiannya.
Edwin memegang handle pintu dan menariknya agar Elle bisa keluar.
Begitu wanita itu melewati ambang pintu, Edwin memanggilnya. “Princess…” dan Elle berbalik.
“Kau melupakan sesuatu.” Ucap Edwin penuh teka-teki.
Elle hanya diam. Ia melihat sekeliling. Untungnya tidak ada yang melihat mereka di sana.
“Celana dalammu masih di saku celanaku.”