12. Perempuan Jadi-jadian

1036 Kata
"Bi Hanifah lagi ngunjungin anaknya. Malam nanti baru pulang. Masa gue harus nunggu dia," "Menunggu itu lebih baik. Orang sabar bakal disayang Tuhan kok." "Nggak mau, Kak! Gue maunya sekarang! Enggak tahan sama bau debu." rengek Alista. Arsen jengah menghadapi Gadis ini. Demi apapun, ia ingin menghilang saja. "Ya..., itu resiko lah karena lo gak bersihin kamar." Alista bergerak memaksa Arsen agar mengenggam sapu. "Sekali inii aja. Minggu depan enggak deh." "Nggak, Ra." "Lo jadi Kakak jahat banget sih! Di mana-mana itu, Kakak Cowok selalu bahagiain adiknya. Bukan bikin sengsara kayak gini!" kata Alista berlebihan. Arsen pusing mendengar Gadis itu mengoceh. Mana suaranya cempreng lagi dan sikap kekanak-kanakan itu membuatnya jengah. "Lo bisa bersihin sendiri. Jadi Cewek jangan manja. Nanti kalau lo udah nikah, masa gue yang bersihin kamar?" "Ah! Bodo. Nikah mah masih jauh. Udah deh, Kak. Nyerah aja dan beresin kamar gue sampai kinclong." "Gak. Gue udah janji bakal dateng ke rumah Damian. Lo masih punya tangan utuh. Tinggal bersihin aja sendiri." "Nggak bisa! Hari ini tuh gue bakal ke rumahnya Karisa. Ada yang lain juga di sana. Gak mungkin, kan, gue gak hadir? Nanti kalau adik lo ini dicap cupu karena gak dateng, gimana? Lo mau gue dibully, Kak?" cecar Alista. Arsen mendengkus kesal. "Gue juga! Gue juga mau ke rumah temen gue. Jangan egois dong." "Lo juga jangan egois, Kak! Ngalah sama adik kek!" "Ngalah itu ada batasnya. Gak semuanya harus ngalah." tekan Arsen. "Oh, berarti lo egois. Gue lapor ke Ibu nih!" "Lo yang egois!" "Lo, Kak!" "Lo, Ta!" "Jadi Kakak nyebelin banget, sih! Salah apa gue di kehidupan sebelumnya?!" "Mimpi apa gue semalem sampai-sampai disuruh jadi babu gini." "Gue bukan nyuruh lo jadi Babu kok! Gue cuma mau Kakak nyapu, ngepel, beliin boba, lipatin baju, gantiin gorden jendela, cariin buku gue yang ilang, em... apa lagi, ya? Oh, iya! Sama anterin gue ke rumah Karisa!" "Lo bilang itu cuma? Cuma?!" Arsen menekankan kata 'cuma' dengan emosi yang meluap-luap. "Iya. Kenapa? Kurang banyak, Kak?" tanya Alista dengan rasa tidak berdosa. "Lebih dari cukup!" "Jadi lo mau bersihin, kan? Iya, kan? Kan? Kan?" Alista terlihat memohon. Dia maju, memerhatikan Arsen dengan penuh harapan. "Ayolah, Kak." "Janji deh bakal beliin makanan habis dari rumah Karisa nanti!" "Mau, ya? Masa sih Kakak tega biarin Adiknya sedih kayak gini?" "Kakak! Gue mohon se mohon-mohonya." Lengan Alista bergelayut manja di tangan Arsen yang lumayan kekar itu sambil terus mendesak. Biarkan saja Arsen menjadi risih sebab Alista tidak akan membiarkan Cowok ini pergi sebelum bersedia menuruti permintaannya. "Ada satu syarat." "Apa?" "Lo harus beresin kamar gue juga." "Ih! Gak mau." "Iya udah. Gue juga gak mau." "Sialan lo, Kak!" "Hush. Diajari siapa lo?" "Lo lah!" "Kapan?" "Nggak tau. Lupa. Udah lah. Gue mau siap-siap buat pergi." "Eits. Syarat gue gimana?" "Iya. Nanti gue beresin kamar lo deh." Arsen tersenyum lebar. Dia mengusak puncuk rambut Alista. "Nah. Baru adik gue nih." "Rambutnya jadi berantakan ih!" Suara bel samar-samar terdengar. Arsen membeliakkan mata begitupun Alista. Keduanya kemudian saling melemparkan tatapan gusar. "Jangan-jangan teman gue." "Jangan-jangan teman gue." Kata Mereka kompak. "Buruan lo sembunyi!" titah Alista. Arsen mengelak, "Lo aja!" "Kalau temen gue yang dateng, gimana?" cemas Alista, menatap sekitarnya. "Gue juga. Mending lo aja yang sembunyi di kolong kamar sana." "Enggak bisa, Kak. Siapa tau yang dateng Karisa sama temen-temen gue. Apa reaksi Mereka nanti kalau liat lo. Bisa-bisa rahasia kita terbongkar!" jawab Alista bersikukuh. "Iya udah. Mending gak usah dibuka sekalian." balas Arsen santai. "Tap, kan, enggak sopan!" lengking Alista. Arsen mengusap daun telinganya. "Jangan keras-keras dong." "Aduh, gimana, ya." Alista berusaha berpikir lebih dalam. "Pakai bajunya Bi Hanifah aja." saran Arsen tiba-tiba. Alista terperangah, tidak paham dengan saran lawan bicaranya ini. "Maksud lo?" "Nyamar jadi Bi Hanifah. Sini ikut gue." Arsen berjalan ke kamar pembantu di rumahnya yang terletak di dekat halaman belakang diikuti oleh Alista. Usai sampai, Arsen mengambil daster serta kerudung berwarna navy. "Ini." Alista menerima pakaian itu. Ia melihat-lihat. Pakaian yang ia genggam ini... dia tidak menyukainya. "Nggak mau. Gede banget." tolaknya, menyerahkan pakaian serta hitam itu kembali pada Arsen. "Harus mau." "Enggak. Lo aja," "Ngaco. Gue, kan, Cowok." Arsen tentu tidak setuju. Yang benar saja. Dia tidak mau menjadi cowok jadi-jadian. "Please, lah, Kak. Iyain." "No." Sementara di depan sana, bel masih terdengar berbunyi dan lebih memburu. "Tuh di luar udah nunggu. Mending pakai ini. Udah. Sana-sana. Hush! Hush!" desak Alista, berlagak layaknya mengusir seekor ayam. Dengan terpaksa Arsen mulai melepas bajunya dan meletakkan pakaian serta kerudung Bi Hanifah. "Makasih, Kak! Gue sayang lo." kata Alista dengan senyum sumringah, kemudian dia berlari keluar. "Halah!" Arsen menutup pintu kamar, sedangkan Alista menyandar di tembok depan pintu. Ingin tahu bagaimana penampilan Kakaknya nanti. Diam-diam, dia sudah menyiapkan ponsel di balik sakunya. Di dalam sana, Arsen risih dengan penampilannya sendiri. Argh! Rasanya dia ingin melepasnya sekarang. Mana kebesaran lagi dan kerudung ini sangat tidak cocok. Laki-laki itu akhirnya keluar dengan raut pasrah. Sudut bibir Alista terangkat. Ini saatnya mengabadikan Arsen! Dua jempretan saja sudah cukup sebagai senjatanya untuk mengancam nanti. Kapan-kapan. Kedua mata Arsen terbelalak menyadari tingkah Alista. "Eh, lo jangan gitu dong. Sini!" dengan cekatan, Arsen berlari akan mengambil ponsel itu, namun sayang. Alista lebih dulu memasukkan benda pipih tersebut di saku baju atasnya. Arsen berhenti. Ia mundur beberapa langkah. "Kenapa berhenti,? Ayo ambil." tantang Alista, memajukan dadanya. "Hapus." "Enggak. Buat apa," balas Alista santai. "Hapus atau kamar lo enggak gue bersihin." "Oh, jadi Kakak ngancam nih? Gampang kok. Aku tinggal sebar foto ini di grup sekolah." Alista maju, ia membenarkan kerudung yang dipakai Arsen. "aku lihat, Bi Hanifah kalau pake kerudung, atasnya lancip." Alista merapatkan bibir, berusaha menahan tawanya. Lagi-lagi bel terdengar. Alista baru sadar. "Sana, Kak. Nanti aku beresin sampai bersih kamarnya," Iris mata hitam Arsen memandang tajam sebelum akhirnya pergi ke ruangan depan. Arsen menunduk. Dia menutupi bagian bawah wajahnya menggunakan kerudung. Hingga pintu dibuka, terdengarlah suara yang tidak asing. "Bi Hanifah?" Karisa terheran-heran pasalnya postur tubuh Wanita di hadapannya ini berbeda dari biasa. Arsen mengangguk. "Siapa Bi Hanifah?" tanya Kiara. "Itu pembantu di rumah ini," "Kok nunduk mulu?" bisik Rifka tidak enak. "Wajah Bibi nggak apa-apa?" Karisa kembali bertanya. Arsen jengah. Ia mengangguk pelan lagi. Mereka berempat saling melemparkan tatapan heran. "Alista ada di rumah, kan, Bi?" tanya Kiara seramah mungkin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN