11. Berbuat Ulah

1046 Kata
"Lo ngomong sama gue?" lanjut Rachel bertanya. Alista memutar malas bola matanya. "Jawab. Gak usah pura-pura polos," "Jawab apaan? Gue sama sekali enggak nyelengkat kaki lo kok." Alista memukul meja milik Rachel. Suara gebrakan itu berhasil membuat semuanya hening. "Lo jangan bohong! Jelas-jelas kaki lo yang menghalangi langkah gue!" "Ya ampun, kenapa lo tiba-tiba fitnah gue?" "Yi impin, kinipi li tibi-tibi fitnih gii?" kata Alista, menirukan gaya bicara Rachel. Detik selanjutnya, ekspresinya berubah jadi garang. "Sini lo! Biar gue garuk wajah Lo biar make up Lo yang tebal itu luntur!" "Apaan, sih. Berani Lo, ya, sama gue." Rachel berdiri. Tidak terima, ia melayangkan tangan, dalam satu detik tamparan mungkin sudah mendarat di pipi Alista, tetapi seseorang dari belakang muncul dan menghentikan. Rachel menengok ke belakang, kedua matanya terbeliak lebar mendapati Arsen lah yang menahannya. "Jangan main tangan. Lo enggak mau kan wajah Lo bonyok?" Arsen melepaskan cengkraman itu. Tidak ingin larut dalam tatapan Rachel, dia juga memalingkan wajah. "dan Lo, ikut gue sekarang." lanjutnya berkata pada Alista. Arsen menggandeng lengan Alista untuk pergi dari sana. Dia tidak peduli dengan seisi kantin yang memperhatikan. Ada hal yang harus dia tanyakan sekarang. Cowok bertubuh tinggi itu berhenti di dalam kamar mandi. Tidak lupa, ia juga menutup pintu. Alista memandang Arsen dengan tatapan sebal, masih terbawa suasana yang terjadi di kantin tadi. "Ngapain Lo bawa gue ke sini?" Arsen mengeluarkan sesuatu dari balik saku. "Obat apa ini? Kenapa Lo konsumsi beginian?" katanya, menunjukkan banyak obat tablet yang masih terbungkus. Alista spontan merebut obat itu dari genggaman Arsen. "I--ini bukan apa-apa kok," "Jangan bohong. Gue nemuin ini dari tas Lo. Apa maksudnya? selama ini Lo punya penyakit? Kenapa enggak cerita ke gue?" tanya Arsen bertubi-tubi, ia tahu adiknya itu tengah menyembunyikan sesuatu. "Penyakit apa? Gue enggak punya penyakit apapun. Udah, deh, Kak. Mungkin itu obatnya Bi Hanifah. Dia kelupaan naruh di tas gue," Arsen memandang sejenak, tatapan curiga itu membuat Alista menunduk. Arsen melangkah maju, kedua tangannya memegang bahu Alista. "Kalau Lo nyembunyiin sesuatu penting dari gue, gue enggak akan pernah maafin Lo. Gue Kakak Lo, Lis. Harusnya enggak ada rahasia di antara kita," -●●●- Bangku penonton. Di sinilah tempat Alista duduk, menunggu seseorang yang masih bermain basket. Penantiannya tidak lama. Hanya beberapa menit saja Bagas sudah selesai dan akan duduk di pinggir lapangan. Alista berdiri, ia mengambil botol mineral yang ia bawa, lantas mendatangi Bagas. "Capek, ya?" Alista duduk di sebelah Bagas, ia ikut menyelonjorkan kakinya. Bagas menoleh, "Lumayan." "Nih, buat lo." Tanpa berpikir panjang, Bagas menerimanya. "Thanks." ia langsung meminumnya hingga setengah. Alista memandangi rahang laki-laki itu. Keringatnya melesat turun, membuat dia menelan ludah. "Bagas," panggil Alista. Yang dipanggil menoleh lagi. "Ya?" Lengan Bagas dipegang erat. Cowok itu mengerjap, merasakan sesuatu menyengat di tubuhnya. Sesuatu aneh. "Sebagai bentuk terimakasih gue, gue bakal kasih nomor telepon gue sama sesuatu," kata Alista dengan nada riangnya. Ia mengeluarkan pulpen, mulai menuliskan nomornya pada jari telunjuk Bagas. Sementara pandangan Laki-laki itu tidak bisa lepas dari wajah Alista. Dia akui wajah Alista tidak bosan untuk dipandang. "Udah!" Alista tersenyum puas. Ia mendongak, melihat Bagas menatapnya seperti itu senyumnya perlahan pudar. "apa ada yang salah sama gue?" Fokus Bagas terbuyar. Ia menggelengkan kepala. "Enggak. Ada itu di rambut Lo," Bagas mengulurkan tangan, akan meraih sesuatu, namun Alista lebih dulu sudah memegangnya. "Oh, ini jepitan rambut, Gas. Gue risih sama poni jadi pakai jepitan ini. Kenapa emang?" "Enggak. Gak kenapa," jawab Bagas. Dia berdiri, saat itu juga kepala Alista mendongak. "gue pergi ke loker dulu. Mau ambil seragam," "Eh, tunggu. Gue belum selesai," Alista perlahan berdiri sambil menepuk roknya yang berdebu. Bagas berhenti dan menoleh. "Apa?" Alista mengeluarkan sebuah kado yang terbungkus rapih. "Ini sebagai tanda terimakasih," Bagas mengibaskan tangan. "Lo enggak perlu kasih ini," Alista menggelengkan kepala. Ia meraih lengan Bagas, kemudian menempatkan kado itu tepat di telapak tangan. "Lo harus terima. Gue rela antri satu jam buat mendapatkan kamera itu, loh, Gue pergi dulu, ya, enggak enak diliat orang lain." Alista menyunggingkan senyum. Kedua mata Bagas memandangnya dengan tidak berkedip. Ia seolah dibius dengan kecantikan Gadis itu. **** Bagi seorang Arsenio Kavindra, hal yang paling menyeramkan adalah diperintah oleh Alista untuk membersihkan kamar Gadis itu pada hari minggu yang seharusnya libur dari segala macam kegiatan. Baru saja dipikirkan, derap langkah terdengar. Arsen terperanjat dari duduknya, penasaran dengan siapa yang datang. "Bersihin kamar gue," Alista melemparkan sapu hingga mengenai kaki Arsen. Bukan menjawab, Cowok itu malah berdiri, lantas berjalan ke depan kaca. Tangannya meraih sisir dan mulai menyisir rambut hitamnya. Alista terheran-heran dengan tingkah laku Arsen. Apa dia tembus pandang, makanya tidak digubris sama sekali? "Kak! Lo denger gue nggak sih?!" gertak Alista, merasa tidak terima. Arsen beralih mengambil jaket hitamnya, namun kegiatannya terhenti kala Alista mencekal tangannya. "Bersihin kamar gue dulu. Baru pergi." Alista melempar jaket itu ke ranjang. Cowok itu memalingkan muka. Ia tidak jadi memakai jaket tersebut. Dirinya menarik langkah ke depan lemari. Alista yang tidak mau kalah, langsung beralih berdiri di depan lemari. Arsen tergemap. Pergerakan cepat Gadis itu membuatnya syok. Alista merentangkan tangan ke pintu lemari. Ekspresinya seperti cicak yang sudah dikepung oleh pemangsa. Bibir Arsen berkedut, ia menahan tawanya. "Bersihin kamar gue. Ayolah, Kak. Lo kan lagi free." mohonnya, berharap ini yang terakhir kali. "Mau main ke rumah temen." singkat Arsen dengan tatapan datar. "Yaelah. Ini kan masih pagi. Teman-teman lo pasti belum ada yang bangun, Kak. Jadi daripada nunggu, mending Ka--" mata Alista membulat sempurna ketika Arsen tiba-tiba mengangkat tubuhnya, dan kemudian ia dijatuhkan begitu saja di lantai yang tak beralaskan apa-apa. "Anjir! Jadi cowok kok kasar banget sih!" misuh Alista. Dia memegangi punggungnya yang terasa nyeri. "sakit nih, Kak! Tanggung jawab!" "Siapa suruh gangguin gue?" Arsen meraih jaketnya kembali di ranjang, lantas ia berbalik. Mendapati ekspresi Alista seperti itu, kasihan juga. Alhasil ia mengulurkan tangan ke Gadis itu. Alista tersenyum samar. Ia justru menarik Arsen ke bawah, sedangkan dirinya berdiri. Posisi Mereka terbalik. Mungkin ini yang dinamakan karma. Tawa Alista meledak. "Sakit, kan? Gue lebih sakit tau!" sungut Alista, tapi lebih terdengar rengekan di telinga Arsen. "Kalau Lo bukan Adik gue, udah gue tenggelamkan di got." ujar Arsen sambil berdiri. Alista menghiraukan ejekan itu. "Beresin kamar gue, Kak. Please," mohon Alista, entah sudah berapa kali. Ia tidak menghitung. Arsen bangkit. "Enggak. Emangnya gue babu apa. Lagian ada Bi Hanifah. Suruh aja dia."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN