13. Kedatangan Mereka

1043 Kata
Tidak ada yang bisa Arsen lakukan selain merentangkan tangan ke dalam sebagai isyarat bahwa Alista ada. Menyebalkan sekali memang. Hari ini dia berniat untuk bersenang-senang, malah berakhir menjadi perempuan jadi-jadian. Kiara, Rifka, dan Karisa masuk. Dua di antara Mereka takjub dengan keindahan rumah Alista. Apalagi cat dinding yang berwarna biru laut itu membuat kesan menenangkan. "Kayaknya gue pernah liat rumah ini di post IG deh." duga Rifka sembari mengingat-ingat. "Post IG siapa?" "Itu Tante Bianca. Rumah ini persis banget asli." "Tante Bianca? Siapa dia?" "Ya ampun, lo nggak tau? Dia pengusaha wanita sukses yang jadi inspirasi Ibu gue. Setiap malam, Ibu gak pernah absen cerita tentang Tante Bianca, Ra." jelas Rifka. "terus katanya dia punya anak laki-laki. Tapi wajahnya gak pernah dipublish." "Gue nggak bisa bayangin gimana gantengnya dia!" lanjut Rifka heboh. Karisa diam saja, berlagak tidak tahu, tetapi pikirannya tertuju pada Arsen sekarang. "Alista mana, Guys?" tanya Kiara. Seketika Rifka jadi teringat tujuan Mereka ke sini. "Eh iya! Kok nggak muncul juga itu anak?" heran Rifka. "gue samperin dia, ya. Siapa tau jam segini dia masih tidur." lanjutnya sambil berdiri. "Lo enggak tau kamarnya, kan? Mending Bi Hanifah aja yang ke sana, Rif." sergah Karisa. "Bibi bisa panggilkan Alista ke sini, kan?" Untuk ketiga kali, Arsen melenggut. Cowok itu melenggang pergi. Pasang mata Mereka serius memerhatikan. "Dia bisu, Kar?" Kiara dengan ragu bertanya. Karisa menggeleng, "Enggak kok. Dia normal kayak kita." "Terus kenapa diem aja tadi?" "Mungkin mulutnya lagi sariawan." Karisa menjawab, tanpa mengalihkan perhatiannya pada Bi Hanifah. Cara jalan Wanita itu berbeda. Sudah ia duga dari awal. Pasti tidak ada yang beres. "Guys, gue mau ke kamar mandi dulu. Kalian duduk di sini aja sebelum Alista datang, ya." Langsung dibalas anggukan oleh Mereka berdua. Karisa mengikuti Bi Hanifah, hingga dia terhenti di dekat pintu sebuah kamar. Sebelum itu Karisa menengok ke sana kemari dan akhirnya mengintip. Lucu sekaligus kaget, bercampur jadi satu. Tawa kecil Karisa terdengar. Bisa-bisanya Arsen yang tampan kini menjelma jadi emak-emak. Karisa mendorong handle pintu, ia bertepuk tangan. Seorang Cowok yang ada di sana spontan tergemap kaget. "Arsen... Arsen... sejak kapan lo berubah kelamin?" *** "Itu kerudung kenapa lancip banget? Tante gue enggak gitu tuh pakainya." Karisa lagi-lagi tertawa. Kuping Arsen jadi panas mendengarnya. "Berisik." "Unch.. Jangan marah dong," "Gue udah foto dia, lho. Lo mau liat nggak , Kar?" timbrung Alista setelah dari tadi diam. Rasa paniknya mendadak hilang. Dia tidak khawatir rahasianya terbongkar nanti karena Karisa bukan tipe orang dengan mulut 'ember'. "Coba liat." "Hapus enggak?!" gertak Arsen lirih. "Enggak! Wle!" Arsen maju, mendekati Alista dengan sirat permusuhan. Sementara Karisa menjauh ntuk jaga-jaga. Dia takut kena pukul. "Apa?!" Arsen menyeringai. "Yakin lo nggak mau hapus? Yakin?" "Yakin! Lo mau apa?" Alista melangkah mundur. Arsen justru makin bersemangat dan melangkah maju. "Yakin?" "Yakin nih?" "Gue tau kelemahan, lo, lho." Alista berhenti saat kakinya membentur sofa. Tatapannya berubah jadi takut. Pasalnya baru kali ini melihat ekspresi Arsen yang menyeramkan itu. "Ar, jangan gitu. Alista adik lo." peringat Karisa. Arsen tentu tidak menghiraukan. Alista menelan berat salivanya. "Gue laporin ke Ibu!" Jari-jari Arsen bergerak menggelitik pinggang Alista. Suara tawa merebak di seluruh sudut ruangan itu. Karisa bingung sendiri. Antara kasihan dan bahagia melihatnya. "Hahahaha! Berhenti--ampun! Hahahahaha!" Gadis itu tidak bisa menahan tawanya lagi. "Hapus dulu!" "Engg--hahahahaha!" cukup. Perutnya sudah terasa sakit sekarang. Alista tidak tahan lagi. Dia menendang tulang kering Arsen hingga Cowok itu mengaduh kesakitan. "Mampus. Siapa suruh gelitikin gue?!" sungut Alista penuh emosi. "Jahat lo, Ra. Jadi Cewek nyebelin banget sih lo." "Lo lebih jahat! Perut gue sakit tau." "Ya elah. Cuma digelitik doang bukan ditusuk." "Tapi kan kalau gue jadi nggak nafsu makan, gimana?!" "Terserah. Itu bukan urusan gue." "Hih! Nih cowok minta digeprek!" "Dasar psikopet!" "Bisa bener nggak sih ngomongnya?!" kening Alista membersut kesal bersamaan dengan bibirnya yang mengerucut. Sial sekali menghadapi tingkah Arsen yang tidak mau kalah. "Udah bener!" "Tadi enggak!" "Tapi kan tadi bener." "Salah!" "Bener." "Salah!" "Bener." "KALIAN SAMA-SAMA SALAH!" gertak Karisa. Bosan sekali mendengar Mereka berdua bertengkar hampir setiap hari. "gue heran deh. Udah gede juga, masih aja adu mulut kayak anak kecil." "Al… Alista?" Damn! Bola mata Karisa membulat begitupun Alista seolah akan keluar usai mendengar suara Kiara. Sementara Arsen dengan panik mencari tempat bersembunyi. "Gue sembunyi di mana woy," gusar Cowok itu lirih. "Kolong meja buruan," saran Alista. Ia mendorong punggung Arsen, tetapi Cowok itu tetap di tempat. "Nggak ada meja di sini," "Gak. Ma--maksud gue, kolong ranjang." "Buruan, Sen. Sebentar lagi Mereka dateng." desak Karisa, ikut gemas juga dengan pergerakan lambat Cowok itu. Arsen segera menggulingkan badan, kemudian masuk ke dalam kolong itu meski banyak debu bertebaran. Entah sudah berapa minggu dia tidak membersihkan kamar ini. "Loh?" Kiara bertanya-tanya. "Kenapa?" sahut Alista dengan cengiran khasnya. "Perasaan tadi gue dengar kalian lagi berantem sama Cowok deh." kata Rifka ragu. "Betul kata si Rifka. Kalian ribut. Mana Cowoknya?" Kiara mulai menggulung lengan panjang bajunya hingga ke siku. "sini biar gue hajar dia supaya sadar diri." "Hah? Cowok? Nggak kok. Mana ada Cowok di sini," Alista sebisa mungkin menutupi rasa gugupnya. "Iya bener. Rumah ini, kan, isinya Cewek semua." timpal Karisa. "Kalian nyembunyiin sesuatu, ya?!" todong Rifka. Dia memerhatikan setiap sudut kamar itu. Tidak ada yang aneh sih. Tapi bisa saja, kan, seseorang bersembunyi di balik lemari. Rifka melangkah ke meja belajar, di sana ada alat tulis serta buku dan… sebuah bingkai foto. Tangannya terulur mengambil. "Cowok ini siapa, Al?" Alista baru sadar. Ini kan kamar Arsen! Karisa bergerak, mengambil duluan foto itu. "Ini… ini…" dia menatap Alista. Secara tidak langsung meminta jawaban lewat isyarat matanya. "Itu foto sepupu gue! Imut kan mukanya?" "Imut, sih, tapi kok rada-rada mirip Tante Bianca, ya?" Rifka terus memerhatikan foto itu walau kini sudah berada digenggaman Karisa. Aduh, harus bilang apa gue, batin Alista. Alista tertawa hambar. "Bercanda lo? Anaknya Tante Bianca udah remaja kali. Masa masih anak kecil kayak gitu?" balasnya kemudian. "Bener juga sih." "Udah, Rif. Yuk kita keluar," Kiara lebih dulu berjalan, tapi Rifka masih saja di tempat dengan seribu pertanyaan di benaknya. "Lo kenapa keliatan ketakutan gitu?" Rifka mendekati Alista. "keringat dingin lagi. Jangan-jangan emang ada Cowok di kamar ini, ya?!" "Ya ampun. Enggak, Rif." Karisa ikutan cemas. Sampai kapan coba Rifka menginterogasi seperti ini. "Gue izin geledah kamar lo, ya!" Rifka tanpa ragu membuka lemari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN