21. Pengusiran

1045 Kata
Arsen meletakkan pakaian yang dia lipat. Kini wajahnya menghadap Alista. Tanpa aba-aba, jarinya menyentil gemas kening Gadis di depannya ini. "Masa gue enggak tau tanggal ulang tahun Lo sendiri," Alista mengaduh. Ia mengusap-usap kening yang terasa perih. "Hish" desis Alista sebelum akhirnya pergi. Gadis itu langsung masuk ke dalam kamarnya. Merebahkan diri di kasur, lantas mengambil ponsel di nakas. Ketika melihat notifikasi pesan dari grup, Alista terduduk.Teman-temannya itu mengghibahkan apa sampai-sampai rame begini. Rifka: [Gilaaa! Pokoknya besok kita tagih pajak ke Alista!] Kiara: [Pajak apaan. Jadian aja belum.] Rifka: [Pajak PDKT lah. Ehh, orangnya mana, nih. Kok enggak nongolll.] [Alistaaaa! Muncullah! Muncullah!] [@Alsta] [@Alsta] [@Alsta] [Bayar pajak sekarang! Dua puluh rebu satu anak. Ayo ceffat @Alsta] Kiara: [Gak di grup gak di pc, si Rifka kerjaannya spam mulu] Rifka: [@Kiara diem tayang. Lo mau, kan, traktiran dari Alista? Lo pasti enggak bakal nolak. Udah, biarin gue berusaha.] Karisa: [Kok bisa Bagas sama Alista jalan bareng?] Rifka: [Namanya juga saling suka] Karisa: [Enggak deh. Gak mungkin] Alista membuka foto yang dikirimkan Rifka di grup. Ia terkejut. Di jepretan itu ada dirinya dan Bagas sedang duduk di bangku dekat pusat perbelanjaan. Yang membuat dia bingung; darimana Rifka mendapatkan foto itu. Dia yakin betul kalau tak ada satu orang pun selain dia dan Bagas di sana. Memilih untuk tidak memedulikan, Alista mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam laci. **** "Bunda belum tidur?" Marsel datang. Tadinya dia akan melangkah mengendap-endap agar Sang Bunda tidak bangun, tapi lihatlah sekarang. Bundanya malah sedang duduk di ruang tamu. "Ayah kamu mana? Kamu pulang sendiri?" Evelyn berdiri dengan susah payah sembari memegang perutnya yang sudah membesar. Wanita itu tengah hamil tua tujuh bulan. Meski begitu, Lorenzo jarang sekali pulang ke rumah. Dan Evelyn tidak tahu apa penyebabnya. "Ayah... lembur lagi hari ini." "Lagi?" tanya Evelyn dengan raut kecewa. Bahunya seketika melemas. "Walau Ayah enggak pulang, ada Marsel. Aku bersedia ngelakuin apapun perintah Bunda. Sekarang Bunda ngidam apa? Nasi goreng? Rujak? Mangga muda?" tawar Marsel dengan senang hati. Wajah garang yang selalu dia tampakkan kepada orang-orang kini berubah menjadi lebih bersahabat di hadapan Bundanya. "Tidak. Bunda hanya ingin Ayah kamu pulang," "Besok. Marsel janji akan bawa Ayah pulang," "Kamu selalu saja berjanji, tapi tidak pernah menepati. Bunda sudah tidak bisa menunggu lagi," "Bukan aku nggak menepati..." Marsel menghembuskan nafas perlahan. "kalau besok aku nggak bisa juga bawa Ayah ke sini, Bunda boleh blokir kartu kredit aku." *** "Kenapa kamu jauh-jauh? Sini mendekat," "Buat apa memanggilku ke sini?" tanya Bianca, bersidekap di d**a. "Kenapa serius sekali? Memang aku tidak boleh menemui calon pengantinku sendiri?" "Pengantin? Eve sedang hamil. Kamu tetap mau menceraikannya?" Bianca tidak menduga dengan apa yang dikatakan Lorenzo. "Memangnya kenapa kalau dia hamil? Itu bukan urusanku. Jangan bilang kamu menolak menikah denganku. Kamu tau, kan, apa yang akan terjadi jika kamu menolak permintaanku? Aku akan bilang ke anakmu itu kalau butik yang sukses itu adalah milik aku. Bukan dari hasil kerja kerasmu. Kamu sepertinya tau bagaimana reaksi anakmu. Apa Mereka akan kena serangan jantung seperti ayahmu? Atau--" "Diam. Jangan bawa-bawa Ayahku." Lorenzo melirik ke arah Bianca. Seulas senyum menyebalkan terbit di bibir Pria itu. "Oh, oke. Aku tidak akan membawa-bawa Ayahmu. Asalkan kamu kemari," Bianca mendecih. Mendapati ekspresi Bianca seperti itu, emosi Lorenzo terpancing. "Kamu masih ingat, kan, apa perkataanku sebelumnya?" Bianca mengepal kuat tangannya. Pada akhirnya dia duduk di samping Lorenzo. "Kamu kira aku kuman? Tidak perlu menjauh begitu." Lorenzo memegang pinggang Bianca. Dengan mudahnya, dia menggeser raga wanita itu hingga jarak Mereka benar-benar terkikis. "Makin hari kamu makin cantik." Lorenzo menyentuh helai rambut Bianca yang tidak terikat. Telapak tangannya beralih memegang pipi tirus Bianca. Wajah Lorenzo mendekat. Embusan nafas mulai menerpa wajah Bianca. Bianca diam. Ia tak mengelak apalagi melawan. Dulu, waktu Arthur--suaminya meninggal, hidup Bianca berubah drastis. Arthur tidak memberikan peninggalan apapun untuk membantu membesarkan Arsen yang saat itu masih berusia 5 tahun. Bianca membanting tulang. Bahkan dia pernah bekerja sebagai pembantu. Lorenzo datang dan memberikan butik besar itu pada Bianca, tapi saat itu Bianca tidak menyangka kalau tawaran itu membuat dia jadi wanita simpanan seperti sekarang. Ting tong Bel berbunyi. Lorenzo memilih untuk acuh. Ia tetap melanjutkan aktivitasnya. Sementara Bianca mulai merasa tidak nyaman. Dia mendorong tubuh Lorenzo hingga pautan Mereka terlepas. "Siapa tau sekretarismu yang datang." Bianca berdiri. Lorenzo buru-buru mencekal lengan kekasihnya itu. "Biar aku saja. Kamu masuk ke kamar. Bisa jadi wanita itu yang datang," Lorenzo menarik handle pintu itu sampai tampaklah seorang laki-laki. Putranya sendiri. "Untuk apa kamu ke sini?" "Bunda menunggu Ayah pulang ke rumah. Itu sebabnya aku ke sini." kata Marsel, tidak peduli dengan perkataan Lorenzo barusan. Dia tetap berdiri tegap. "Bilang ke dia kalau saya ada urusan bisnis." Lorenzo memegang handle pintu. Baru saja akan menutup, tangan Marsel menahannya kuat. "Sehari saja. Apa perusahaanmu lebih penting daripada Istri dan calon anakmu sendiri? Atau kau sedang bersama w***********g itu? Di mana dia?" Marsel memperhatikan ke setiap sudut apartemen. "Dasar anak tidak sopan!" Lorenzo langsung melayangkan tinju ke rahang Marsel hingga putranya itu terhuyung ke kiri. "Aku bakal tetap di sini." tegas Marsel, ia menegakkan tubuhnya kembali. "sebelum Ayah bersedia ikut aku pulang." "Saya tidak akan pulang! Pergilah!" "Mana wanita itu? Dia ada di sini, kan? Oleh sebab itu Ayah mengusirku. Di mana dia? Aku mau melihatnya," Marsel nekat berjalan masuk ke dalam rumah. "Sial. Apa telingamu sudah tidak berfungsi lagi?" amarah Lorenzo sudah naik ke ubun-ubun. Marsel masih bersikap biasa saja. Bahkan masih sempat-sempatnya dia memerhatikan setiap sudut apartemen mewah itu seakan tatapan garang Ayahnya hanyalah bualan semata. "Tante Bi--" ucapan Marsel terhenti. Tinjauannya berpindah pada Sang Ayah. "siapa nama dia? Apa sebaiknya saya panggil dia Tante b***al saja? Dia, kan, tidak menurut walaupun sudah berkali-kali aku mengatakan untuk menjauhi Ayah." "Kemari," Lorenzo mengibaskan tangan, mengisyaratkan agar Marsel mendekat. Marsel berhenti. Rautnya terlihat santai tanpa beban sama sekali padahal tatapan Ayahnya tidak bersahabat. Kepalan tangan Lorenzo menguat dan melayang, akan mengenai rahang Marsel lagi, namun dengan cekatan Marsel menahan kepalan tangan tersebut. "Siapa yang menyuruhmu untuk menjadi pembangkang seperti ini?" gigi-gigi Lorenzo menggeletuk. "Ayah sendiri. Kalau aja Ayah enggak selingkuhi Bunda. Leo nggak akan kayak gini." "Saya menyesal punya anak laki-laki seperti kamu." Lorenzo balik memelintir kuat lengan putranya itu. Kedua mata tajam dari Lorenzo membuat suasana semakin tegang. Tidak cukup, Lorenzo menendang tulang kering Marsel hingga Laki-laki tersebut terpaksa untuk berlutut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN