22. Rumor

1357 Kata
"Ini peringatan terakhir. Pergi dari sini!" usir Lorenzo. Leon tidak bergerak sedikitpun. Ia tetap di tempat, menunggu wanita itu datang meski rasa perih mendera hebat di lengannya. "Mas..." perkataan Bianca tertahan kala Leo kini melihatnya. Tadi dia berniat untuk menyaksikannya saja, tetapi saat melihat Leon diperlakukan seperti itu, Bianca jadi tidak tega dan hatinya tergerak untuk melerai Mereka. "Gara-gara Lo, Bunda gue nangis setiap malam!" "Kenapa harus Ayah gue yang Lo jerat?" "Kenapa enggak laki-laki lain?!" "Kenapa Ayah gue!" "Bukan seperti itu..." ucapan Bianca melirih di akhir kalimat. Kedua matanya memanas. Hanya hari ini dia menyaksikan pertengkaran ayah dan anak itu secara langsung dan juga kata-kata itu berhasil membuat batinnya terusik. "Berisik anak sialan!" Lorenzo menarik lengan Marsel, memaksa Putranya untuk berdiri. Tidak cukup, Tangannya mendorong tubuh Marsel keluar. Setelahnya pintu ditutup. Meninggalkan Leon yang masih naik darah di luar sana. "INGET PERKATAAN GUE, BIANCA! GUE AKAN BUAT PUTRI LO MENDERITA!" "ARGGGH! SIAL!" **** "Hayooo.... Masih mau ngelak?! Itu kenapa peluk-peluk gitu? Gue iri sumpahhh. Bagas itu Cowok ganteng, Al! Jangan tolak dia!" "Lo beneran jadian sama si Bagas?" "Semuanya benar, Al?" Alista pusing dengan pertanyaan yang dilontarkan Rifka, Karisa dan Kiara tanpa jeda sedari tadi. Alista bergerak menaruh tas di atas meja. "Gue nggak ada apa-apa sama dia." satu pernyataan. Kiara dan Karisa mempercayainya, namun tidak dengan Rifka. "Bohonggg!" heboh Rifka. Ia menunjukkan lagi video yang ia tangkap sore Sabtu kemarin. Waktu itu Rifka memang tidak langsung pulang dan mampir ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli popok adiknya. Tiba-tiba ia melihat Bagas dan Alista tengah mengobrol. Tidak disangka, menit selanjutnya Mereka berpelukan. Langsung saja Rifka mengabadikan momen langka itu. "Lo punya saudara laki-laki enggak?" Kening Rifka berkerut mendengar pertanyaan Alista yang tidak ada hubungannya dengan topik sekarang. "Punya, tapi itu anak Kakaknya Nyokap gue," "Lo pernah gandengan tangan sama pelukan terus sering jahilin satu sama lain enggak?" "Sering. Jangan tanya betapa bandelnya sikap dia. Wajahnya, sih, emang ganteng, tapi masih gantengan pacar Lo tuh." "Berarti Lo dekat sama dia. Kalian pacaran, yaa?" tuduh Alista tiba-tiba yang dihadiahi tatapan bingung oleh teman-teman di dekatnya. Rifka mengerjap, "Apaan? Dia saudara gue kali bahkan udah gue anggap sebagai abang sendiri." "Nah! Gue juga gitu. Bagas itu ibarat saudara gue karena Ibu sama nyokapnya dia udah temenan sejak lama." kata Alista membuat Rifka kehabisan kata-kata. "Gimana, Rif? Kok diem?" tanya Kiara dengan nada meledek. "Ah! Bisa aja Lo kalau ngeles." Rifka menyerah. Dia akui ternyata Alista pintar juga mencari alasan. Yang diperbincangkan dari tadi, mendadak datang ke kelas dengan seragam rapih. Berbeda dengan murid Laki-laki lain, termasuk Arsen. Itulah yang membuat Alista merasa enak ketika memandangnya. "Cieeee.... diliatin mulu. Bagas!" panggil Rifka di akhir kalimat. Bagas berdeham. "Sabtu kemarin Lo ngapain sama Alista? Kalian jadian, ya? Iya, kan? Iya pasti. nggak ngakuin pacar sendiri, enggak baik, lhooo. Nanti Alista marah gimana? Cewek kalo udah ngambek, susah dibujuknya, lho!" "Hah?" Rifka sakit hati. Dia sudah bicara panjang lebar, tetapi malah dibalas 'hah'. Dikira ngomong tidak pakai tenaga apa. "Kasihan. Ganteng-ganteng, tapi budeg." caci Rifka penuh penekanan, berusaha menahan emosinya untuk tidak keluar. "Lo ngomongnya enggak dijeda, sih." timpal Kiara greget sendiri. "Gue sama Alista enggak ada apa-apa. Kemarin cuma kebetulan aja." tegas Bagas sebelum melanjutkan langkah kembali ke tempat duduknya. "Udah gue duga." "Ah, masa, sih! Gue masih nggak percaya." kukuh Rifka membuat Alista jengah begitupun dengan Kiara dan Karisa. "Diem, Rif. Masih pagi, lho, ini." Sepuluh menit berikutnya kelas mulai ramai. Murid-murid mulai datang lengkap dengan topi dan dasi. Hari ini hari Senin. Semua murid diwajibkan untuk membawa kedua benda itu. Kalau tidak memakai keduanya, siap-siap saja akan dihukum. Jangan lupakan. Seragam rapi juga menjadi syarat mengikuti upacara bendera pagi ini. Alista merogoh-rogoh tas. Teman-temannya sudah pergi menuju lapangan. Hanya Karisa lah yang setia menunggunya. "Lo lupa bawa topi kali." ujar Karisa gelisah. Sedari tadi ia menggerakkan salah satu kakinya, tidak sabar untuk pergi menyusul. "Enggak deh. Perasan gue udah taruh di sini," Alista mengeluarkan semua isi tasnya ke meja hingga semuanya tercecer. Ia lantas mengacak-acak semuanya dengan frustasi, namun hasilnya benda itu tidak ditemukan sama sekali. Alista memegang kening, bingung apa yang akan dia lakukan selanjutnya, sedangkan bel masuk tersisa dua menit lagi. Karisa yang merasa iba langsung melepaskan topi miliknya. "Nih, pakai topi gue aja." katanya sambil menyodorkan benda tersebut. Alista memandang sejenak. "Enggak ah. Ayah Lo pasti marah tau Lo dihukum," dia jelas tahu bagaimana sifat ayah Karisa. Jika topi itu dia terima, otomatis Karisa akan dihukum ditambah hukuman yang diberikan oleh Ayah Karisa yang super disiplin itu. "Udah. Nggak papa." Karisa mendekatkan topi itu, tapi Alista langsung menjauhkannya. "Gak bisa, Kar. Lo pergi kelapangan aja sana. Gue tunggu di sini, ya!" "Nanti Lo dihukum." "Cek! Cek! Cek! Seperti mati lampu, ya, sayang seperti--oke-oke. Sabar, Pak Burhan. Saya hanya menunjukkan bakat." Suara Pak Wendi mulai terdengar di speaker sekolah. Alista mengurungkan niat untuk menjawab. Begitu juga Karisa yang memilih untuk diam. Fokus untuk mendengarkan. "Perhatian-perhatian! Untuk murid-murid tersayangkuh! Cepat berkumpul di lapangan sekarang juga! Yang tidak ikut upacara, denda empat puluh ribu, cuci kamar mandi, dan berjemur di lapangan sekolah. Sekian, terima buku rumus matematika." "Udah. Jangan pikirin gue,Kar. Sana pergi!" usir Alista gusar. Refleks kedua tangannya mendorong punggung Karisa. "Eh, tapi lo enggak pa-pa?" "Iyaa, Kar!" tekan Alista, lelah dengan tingkah lambat Karisa. "Iya udah, bye! Maaf, ya, Al! Maaf!" Karisa ngibrit pergi. Alista terduduk di bangkunya. Ia menggigit bibir bawah. Rasa panik menyelimuti. Ini Minggu ketiganya sekolah dan hukuman pertama yang ia terima terlalu cepat. "Pakai aja punya gue." suara berat itu berhasil mengalihkan atensi Alista. Tepat di dekat papan tulis sana, ada Bagas yang berdiri. Tidak tahu sejak kapan. "Enggak--" "Iya." Bagas melangkah maju, kemudian main memasangkan topi tersebut ke kepala Alista. Ternyata tidak kebesaran apalagi kekecilan. Alista berdiri. Jarak Mereka hanya terpaut beberapa jengkal. Sadar sedekat ini, Alista akan mundur, namun sial. Kakinya justru terbentur kaki bangku. "Aduh..." "Kenapa?" "Enggak kok. Enggak apa-apa." Alista terkekeh hingga menampakkan gigi-gigi putihnya yang berderet rapih. "Bilang ke Pak Wendi kalau gue telat." "Lo nanti gimana?" Bagas memegang kedua pundak Alista, lalu membalikkan tubuh yang lebih pendek darinya itu hingga menghadap ke arah pintu. Alista terheran-heran, tapi entah kenapa ia tidak bisa mengelak. Sementara Bagas mulai memajukan wajah, dia mendekatkan bibirnya di telinga Alista. "Lo fokus ikutin upacara aja. Jangan pikirin gue," bisikan itu membuat Alista seketika merinding. Ini baru pertama kali orang membisikkan sesuatu pada dirinya dengan jarak yang sedekat ini. Alista merasakan sesuatu yang aneh pada perutnya. *** "Pak Burhan kalau sesi doa lama bangettt ngomongnya. Terlalu banyak intro." keluh Rifka sembari mengipasi wajahnya dengan buku. Kini Mereka tengah duduk di kelas. Upacara bendara sudah selesai belasan menit lalu, namun Bu Ani, selaku guru yang mengajar jam pertama di kelas Mereka belum juga datang. "Lo tadi kok tetap upacara? Pinjam topi ke siapa, Al?" bisik Karisa, takut didengar oleh Rifka yang duduk di depan bangku Mereka. "Bagas." balas Alista tidak kalah pelan. Tiba-tiba gerakan Rifka terhenti. Tubuh Alista seketika menegang, sama seperti Karisa. Cuping hidung Rifka bergerak. Ini aroma tidak asing. Dia terheran-heran. Mengapa parfum Bagas bisa tercium sampai sini? Menyengat lagi. Padahal, kan, Bagas duduk jauh dari bangkunya. Rifka menengok ke arah belakang, tepatnya ke Alista dan memberi tatapan menyelidik. "Rif, lo--" Rifka mengambil topi yang ada di dekatnya. Ia mencium aroma benda itu. Benar saja. Ternyata wanginya cocok dengan apa yang ia cium tadi! "Ini topi punya Bagas, ya?" tanya Rifka dengan nada keras. Ralat, terlewat keras sampai-sampai se antensi kelas ini kompak diam dan menatap keduanya. "Gak tau." jawab Alista cuek. Ia lantas menenggelamkan wajahnya di celah tangan. Rasanya ia ingin menangis saja karena Rifka sudah kelewatan. Sedari tadi menanyakan Bagas padanya. "Mungkin perasaan Lo aja kali. Dikit-dikit Bagas, dikit-dikit dikatain dekatlah." timpal Karisa. Tangan kanannya itu terulur mengusap punggung Alista. "Sabar, Rif. Cewek macam Mereka emang nggak asyik. Mending sama gue aja." timbrung Rachel yang gemas dengan pembicaraan Mereka. "Dih. Enggak bakal. Mereka emang enggak asyik, tapi tau sopan santun. Gak kayak Lo!" respons Rifka pedas membuat gelak tawa seisi kelas meledak. Rachel terperanjat dari duduknya. Tangan itu sudah mengepal di balik rok. "Lo--" "Selamat pagi!" Rachel menahan keinginannya untuk menjambak rambut Rifka. Lihat saja nanti! Istirahat dia tidak akan melepaskannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN