20. Keributan

1163 Kata
“ARSEN! BUKA PINTUNYA!” “KELUAR LO!” “DI MANA NYOKAP LO YANG MURAHAN ITU, HAH?!” “KELUAR ATAU GUE DOBRAK!” Alista dan Arsen kompak berhenti mengambil snack yang ada di tengah-tengah Mereka. Keduanya saling melempar tatapan. “Itu suara Marsel. Buka sana” lirih Alista, jelas terdengar di telinga Arsen. “Enggak.” jawab Arsen cuek. Ia menonton pertandingan sepak bola kembali di televisi besar yang ada di depan Mereka. Keduanya berniat untuk begadang menyaksikan pertandingan itu sampai pagi. Mumpung besok adalah tanggal merah. Jangan heran, Alista memang suka sepak bola, berbeda dengan perempuan lain. Alista berdiri bangkit. Ia menepuk-nepuk celananya yang terkena remahan snack.“Iya udah. Biar gue aja.” “Jangan.” sentak Arsen, bersamaan dengan tangannya yang melemparkan popcorn sampai tepat mengenai pinggang Alista. Alista mendecak kesal. "Ya udah biasa aja dong!" Arsen tak menyahut. Ia berjalan terlebih dahulu. Alista kemudian membuntuti Kakaknya dari belakang. Bukan tanpa alasan, Marsel biasanya suka main tangan. Alista tidak suka kalau dirinya harus baku hantam malam-malam begini. “Sial lo!” Marsel langsung mencengkram leher baju Arsen, tangannya terkepal kuat-kuat. “mana Ibu Lo?! Di mana dia sembunyikan ayah gue! Suruh dia muncul sekarang!” Arsen memegang kepalan tangan Marsel yang mencengkeramnya, kemudian dia hempaskan lengan itu dengan kasar. “Ibu gue enggak menyembunyikan Ayah lo! Dan lo inget ini baik-baik. Ibu sama sekali enggak ada hubungan sama dia! Sampai kapan lo mau menuduh dan berbicara omong kosong?” Bugh! Kepalan tangan Marsel yang sedari tadi menguat kini berhasil mendarat di rahang Arsen. Refleks saja Laki-laki di hadapannya ini terhuyung ke samping. Alista spontan memegang kedua pundak Arsen untuk menahannya agar tidak jatuh. “MARSEL!” Marsel tidak memedulikan. Dengan angkuhnya, dia berjalan menerobos masuk ke dalam. “BIANCA JALANG! KELUAR LO!” Arsen mendesis. Rasa ngilu serta perih mendera di rahangnya sekarang. Mendengar sebutan yang dilontarkan Marsel di belakang nama Sang Ibu, amarah Arsen naik ke ubun-ubun. “Kak, duduk dulu.” Alista menuntun Arsen ke sofa, tapi laki-laki itu menggeleng. “Gue harus beri pelajaran ke dia,” “Jangan. Lo mau luka itu makin parah? Biar gue aja." Alista menggulung rambut hitamnya yang tergerai. Ia juga menaikkan lengan piyama panjangnya itu sampai sikut. Arsen bergegas mencekal lengan Alista.“Enggak. Nanti wajah Lo lebam.” “Biarin.” “Apa kata teman-teman Lo nanti? Luka lebam itu butuh beberapa hari buat sembuh.” Perkataan Arsen ada benarnya juga. Alista jadi menimang kembali tindakannya. “enggak ada jalan lain. Kita biarin aja dia nge-cek seisi rumah ini biar bisa liat sendiri kalau ayahnya itu enggak ada di sini.” “Tapi ini enggak bisa dibiarin terlalu lama, Kak.” Alista memegang kening, “gue akan telepon Ibu sekarang." dia menyeluk saku, meraih sebuah ponsel berlogo Apple itu. Usai menemukan nomor Sang Ibu, tanpa buang waktu lagi Alista langsung menghubunginya. *** Nafas Mereka terengah-engah dan saling bersahutan. Helai benang yang sudah dijahit rapih menjadi sebuah pakaian utuh itu terserak di mana-mana. Bianca memalingkan muka ketika Lorenzo menyentuh pipinya dengan seringai mengerikan. “Thank you, Babe.” Telapak lengan Bianca mengepal, menahan mati-matian agar tak melayangkan tamparan pada Lorenzo. “Jangan bilang siapapun tentang hal ini.” Pria berumur tiga puluh sembilan tahun itu mendekatkan mulutnya di telinga Bianca, “atau aku akan membongkar semuanya,” bisiknya membuat Bianca semakin tidak berani untuk buka suara. Lorenzo pergi begitu saja ke kamar mandi. Percikan air yang deras terdengar. Bianca mulai bersiap untuk pulang. Dua matanya sudah memanas. Mungkin memerah juga hingga air mata menitik dari kelopak mata kiri. d**a Bianca terasa sesak. Ada rasa bersalah pada mendiang suaminya karena dia tak bisa menjaga kehormatannya, tapi bagaimanapun juga dia tak boleh egois. Kebahagiaan Mira dan Arsen adalah tujuan utama dalam hidupnya. Bianca menyeka air mata yang kini membasahi pipi. Ia memoleskan sedikit make up agar kondisinya terlihat baik-baik saja. Setelahnya, dia keluar dari apartemen yang menurutnya neraka itu. Ddrrtt Ponselnya bergetar. Bianca terhenti. Sudut bibirnya terangkat melihat nama Alista tertera di sana. “Halo, Bu?” “Iya, Sayang?” oh, tidak. Bianca kaget sendiri mendengar suaranya yang bergetar. “Ibu habis nangis?” “Tidak apa-apa.” “Ibu bisa pulang sekarang enggak? Ada Leon di sini, Bu. Dia datang lagi dan mencari-cari Ayahnya. Semua rumah berantakan gara-gara dia. Ibu di mana sekarang? Bisa pulang enggak?” Sudah Bianca duga. Marsel akan berbuat ulah jika Lorenzo tidak pulang ke rumah istri sahnya. “Ibu lagi di perjalanan. Kamu dan Arsen tunggu saja. Sebentar lagi Ibu sampai,” panggilan dimatikan oleh Bianca. Ia membuka mobil, bergegas masuk dan melajukan dengan kecepatan tinggi. *** “Udah ngamuknya? Apa yang Lo dapet? Mana Ayah lo? Katanya yakin dia ada di sini,” sengit Alista. “Diem!” kilat mata Marsel berapi-api. “mending bilang ke ibu yang lo banggakan itu. Kalau cari duit, usaha. Jangan ngegoda dan minta-minta ke Bokap gue!” Alista mencebik. Perkataan Marsel tidak mempunyai fakta sama sekali. Jelas-jelas Ibunya bekerja di perusahaan. Bukan menjadi wanita seperti itu. “Lama-lama rese juga, ya, Lo!” Alista mengambil panci yang tergeletak dekat kakinya, kemudian mengayunkan tangan. Dalam sekejap, panci itu berhasil menghantam kepala Marsel. “Bangs*t! Argh!” Marsel mengusap-usap kepala bagian belakangnya. Sial. Kepalanya kini terasa perih. “awas aja lo! Gue balas di sekolah lusa nanti.” “Gue enggak takut! Sana pergi!” *** "Ulah siapa ini?" Bianca terkejut dengan kamarnya yang berantakan. Bantal terlempar entah ke mana, lemari yang kini terbuka dan menampakkan pakaiannya yang sudah diacak-acak, dan apa ini?! Bahkan air krannya dibiarkan menyala. Alhasil air meluber ke mana-mana. Bianca berjinjit. Dia segera mematikan kran itu. "Tadi ada Marsel datang ke sini, Bu." tutur Alista yang baru saja keluar dari kamarnya. Bianca sudah menduga hal itu. Ia memaklumi. "Dia punya masalah apa? Kalian tidak berbuat sesuatu yang membuat dia marah, kan?" Alista diam sejenak membuat Bianca menatapnya. "Itu... katanya Ibu menggoda Ayahnya dia. Aku yakin itu cuma omong kosong doang. Iya, kan, Bu? Ibu enggak mungkin perempuan kayak gitu." Bianca terenyuh dengan Gadis yang sudah ia anggap sebagai Putri kandungnya sendiri. Dia tidak tahu bagaimana reaksi Alista nanti ketika tahu yang sebenarnya. "Iya,sayang." "Ibu kenapa akhir-akhir ini pulang telat?" Alista membungkuk, mulai membantu mengambil barang yang berserakan. "Lembur. Pekerjaan Ibu sudah akan melewati deadline." Bianca berhenti. Ia kembali memandang Alista, "di sekolah Marsel suka menganggu kamu?" "Kadang-kadang, sih, Bu. Anaknya rese banget." "Dia enggak angkat tangan, kan?" "Kalaupun dia angkat tangan, aku bakal balik pukul." sahut Alista. Kedua tangannya meraih pakaian yang berserak, lantas melipatnya satu persatu. "Enggak sia-sia Ibu mengajarkan kamu bela diri." "Aku yang pertama ngajarin dia, lho, Bu." kata Arsen dengan bangganya. Ia merebut baju yang tengah dilipat Alista bersamaan dengan dirinya yang mendarat duduk di sebelah Adiknya. "Ih. Orang lagi dilipat juga. Sini balikin!" sentak Alista kesal. "Biar gue aja. Mending Lo check HP sana," "Lo buka hp gue lagi?!" bentak Alista. Seketika dia membekap mulutnya sendiri saat menyadari ada sang Ibu di sana. "Kenapa?" "Kok bisa?! Darimana Lo tau pin-nya?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN