71

1371 Kata
Pandangan Arsen masih saja mengabur, membuat dia tidak bisa melihat jelas Gadis yang tengah menatapnya sekarang. Perempuan itu mengibaskan tangan tepat di depan wajah Arsen. "Ini aku Sesil. Mata kamu enggak apa-apa, kan?" tanyanya panik. "Gue..." Arsen menggantungkan kalimat bersamaan dengan dirinya yang mulai duduk. "lo liat Alista?" "Kak Alista?" Sesil diam sejenak, sebelum akhirnya dia menggelengkan kepala. "aku enggak lihat dia sama sekali. Emang dia kenapa?" "Dia belum pulang sampai sekarang," "Belum pulang? Kenapa?" "Jangan tanya gue. Gue juga enggak tau," Arsen bergeser posisi, niatnya akan pergi dari sana, tetapi urung merasakan sakit menjalar di seluruh tubuhnya. "Mending kita ke rumah aku sekarang. Aku akan obati kamu di sana," Arsen justru menggeleng, "Gue pengin pulang aja sekarang," "Tapi, Ar, keadaan kamu parah begitu. Kalau Tante Bianca khawatir gimana?" "Lebih baik gue pulang dalam keadaan kayak gini daripada pulang dan bikin Ibu tambah khawatir," Arsen memegang pintu mobil dan membukanya. Sebelum dia keluar, ia berhenti dan menoleh sedikit ke belakang. "terimakasih udah nolongin gue," *** Gosip kalau Alista hilang menjadi perbincangan hangat di setiap kelas. Mereka bertanya-tanya di mana keberadaan Gadis itu, tetapi tidak ada yang mau bertindak mencarinya. Karisa masuk ke dalam kelas. Dia menghela nafas dalam melihat dua bangku kosong tempat duduk milik Alista dan Arsen. Pasti hari ini akan membosankan tanpa kehadiran mereka berdua. "Lo udah tau berita tentang Alista, Kar?" Rifka datang. Kali ini wajah sumringah yang ia biasa tampakkan entah hilang ke mana. "Udah," "Kita cari pulang nanti, yuk," "Enggak. Gue mau ke rumah Arsen dulu katanya dia semalam ditipu dan digebukin Preman," Rifka membulatkan mata. "What?! Kok bisa? Di mana digebukinnya? Pasti sakit banget. Lagian kenapa Arsen main percaya gitu aja sama orang asing," "Lo tau, kan, kalau orang pikirannya lagi kacau, enggak bisa berpikir jernih. Arsen, tuh, saking penginnya Alista ditemukan, makanya dia percaya begitu aja," "Mereka berdua pacaran enggak, sih? Arsen kelihatan care banget sama Alista," Rifka menopang dagu, berpikir ada apa dengan Mereka berdua. "Mereka cuma sebatas saudaraan," "Hah?" Rifka mengerjap terkejut. "Eh, enggak-enggak. Maksud gue itu... Kiara! Tumben berangkat siangan," sergah Karisa. Dia menenggak kan duduk saat Kiara datang bergabung dengan Mereka. **** Sesuai yang dikatakan Kiara, Mereka bertiga datang ke rumah Arsen dengan membawa sayur-sayuran hijau mentah. Ketiganya langsung disambut oleh Bianca. "Kalian?" "Hai, Tante. Kenalin ini Kiara sama Rifka, teman aku. Arsennya ada, kan, Tan?" "Dia sedang istirahat di kamarnya. Ayo silakan masuk," Bianca berpindah posisi, mempersiapkan Mereka untuk masuk. Rifka memandang seisi rumah ini dengan tatapan takjub. Desainnya begitu mewah, melebihi rumahnya. "Gila. Si Arsen ternyata cowok tajir, ya," bisik Rifka sambil menyenggol sikut Kiara. "Jangan keras-keras kalau ngomong ish," balas Kiara berbisik. "Apaan, sih, orang gue udah pelan-pelan begini," "Kalian berdua jangan gosip mulu. Ayo sini!" tegur Karisa yang ternyata sudah ada di hadapan mereka lebih jauh. Kiara dan Rifka pun melangkahkan kakinya dengan cepat. Sementara Bianca sedang di dapur untuk menyiapkan minuman tentunya. "Arsen..." panggil Karisa, lantas menengok ke dalam. Tampak Arsen tengah berbaring. Luka lebam yang masih terlihat membuat Mereka merasa ngilu. "Dia lagi tidur kali," kata Rifka merasa tidak enak. "Enggak. Dia lagi menghadap jendela. Yuk, kalian bertiga ikut nyamperin. Jangan gue doang," pinta Karisa, gemas sendiri dengan pergerakan mereka yang lambat dan terlihat ragu. "Iya-iya." Karisa mendarat duduk di tepi ranjang. "Ar, gue sama yang lain datang," Kedua mata Arsen perlahan terbuka. "Sejak kapan? Lo udah temuin Alista?" katanya lirih, tetapi masih bisa didengar. "Belum. Kita akan berusaha nemuin dia, kok," "Cari dia, Kar... Alista enggak bisa bertahan sendiri lebih lama. Dia pasti butuh gue," Arsen meringis nyeri setelahnya sambil memegang sudut bibir. "Eh, mending Lo enggak usah bicara kalau sakit," "Kita-kita akan berusaha cari, Ar. Sekarang gimana keadaan lo? Cepat sembuh, ya, si Altair nanyain gue mulu tadi." tutur Kiara. "Kesayangan Rifka kenapa jadi lemah begini? Bangun, Bro! Nggak zaman Cowok terbaring lemah begitu." entah sejak kapan, Altair tiba-tiba sudah ada di sana bersama Damian. Kedua Laki-laki itu menghampiri Arsen. Dengan entengnya, Altair malah merebahkan diri di sebelah temannya itu. "Kasur lo empuk juga, ya. Beli berapaan?" tanya Altair, menengok ke arah Arsen. "Ish! Jangan tiduran di situ." ketus Rifka. Kedua matanya melotot, tapi hal itu tidak membuat nyali Altair menciut. "Terserah gue dong. Arsen aja enggak keberatan. Iya, kan, Bro?" Pandangan Altair kini beralih pada barang yang Kiara pegang "bawa apa kalian? Buka bungkusnya coba. Nanti gue yang kupasin buahnya." "Ini sayuran, b**o. Kalau buah-buahan bisa-bisa dimakan lo!" jawab Rifka galak. "Sayuran mentah?" tanya Damian masih tidak paham. "Iya. Kalau buah, kan, udah biasa. Kita coba bawa sesuatu yang beda," jelas Karisa. Altair menggelengkan kepala, "Ada-ada aja kalian," "Al, Lo punya attitude enggak, sih? Cepat bangun!" sungut Rifka. Kiara memegang lengan Rifka, mencegah perempuan itu berjalan menghampiri Altair. "Udah, biarin aja, Rif." "Ngaco. Ya, enggak, lah. Orang kayak dia tuh harusnya digertak. Bukan malah dibiarin!" Rifka menarik diri dari genggaman Kiara, kemudian dengan tatapan tajam berjalan mendatangi Altair. "Bangun enggak?!" Rifka menarik daun telinga Altair dengan kuat. "Ya ampun, kalian berdua--" perkataan Karisa terhenti oleh pekikan Altair. Ia menggelengkan kepala, tingkah mereka berdua membuatnya pusing. ""Cerminan masa depan tuh," Damian tertawa melihat ekspresi Altair yang konyol. "Bener, Dam. Rifka udah kayak ibu-ibu dan Altair itu suaminya yang bangun kesiangan." imbuh Kiara. "Apaan, sih, Ra! Ogah gue punya suami playboy macam dia!" "Gue juga enggak mau punya istri cerewet dan tukang gosip kayak Lo!" balas Altair tidak terima. "Al, Rif, kasihan ganggu dia istirahat. Bisa diam enggak?" tanya Karisa pelan dengan nada serius. "Iya habisnya dia nyebelin!" Rifka terkekeh ke arah Karisa. "gue bakal diam sekarang. Janji!" "Bagus." "Gue udah laporin tentang Alista di kantor polisi. Kita tunggu kabar dari mereka aja," sergah Damian, mendaratkan bokongnya pada sofa di dekat jendela. "Kok Lo enggak bilang ke kita-kita, sih?" "Ini udah bilang ke kalian," "Bukan gitu maksud gue, argghh!" Rifka mengacak gemas rambutnya. Damian terkekeh. "Santai aja kali, Rif. Cepat tua baru tau rasa," "Tuh, dengar, kan, kata Damian? Bangun, Ar. Enggak bosen tiduran mulu?" desak Altair. Arsen mendengar semua perkataan temannya, namun dia tidak bisa menjawab. Kemarin saja sudut bibirnya sedikit robek ketika memaksakan untuk berbicara dengan Sesil dan mereka bertiga tadi. "Udah, Al. Jangan dipaksa. Ar, kita pamit pulang dulu, ya, nanti besok gue ke sini lagi buat kasih materi hari besok yang tertinggal," **** Rumah besar yang terletak di tengah-tengah kota itu berhasil membius kedua mata Alista apalagi foto-foto yang berderet di salah satu sudut dinding. Ternyata Ibunya secantik itu saat masih muda. "Ra, anterin Alista ke kamarnya. Ibu mau siap-siap masak buat kalian berdua," Vania menyerahkan koper milik Alista dan langsung diterima oleh Yura. "Yuk," Gadis itu mengantar Alista ke kamar kosong yang terletak di sebelah kamarnya. Dia memasukkan koper itu bersamaan dengan pintunya yang mulai dibuka. "Masuk," Alista menyunggingkan senyum manis meresponsnya. "Gue mau bicara dulu sama Lo sini," Alista langsung duduk di samping Yura. Ia terkejut ketika pundaknya dipegang. "Lo jangan takut lagi. Ada gue sama Ibu yang selalu bersedia buat melindungi. Cowok macam Marsel seharusnya lo tinggalin sejak lama. Tapi karena semua udah terlanjur terjadi, gue minta lo untuk jangan balikan lagi sama dia. Ingat pesan gue sekarang. Dan Lo Senin Minggu depan harus mulai sekolah lagi, oke? Gue akan urus pendaftarannya," Alista mengangguk cepat. Tatapannya meneduh. Dia kira Yura dan Bibinya akan membenci ataupun jijik kepada dirinya, tetapi mereka malah semakin menyayangi dirinya walau baru saja bertemu. Yura bergeser maju, menarik Alista ke dalam pelukannya. "Enggak boleh nangis lagi. Mulai sekarang gue akan awasi siapa cowok yang dekat sama Lo biar enggak salah pilih lagi," ujarnya sambil mengusap-usap punggung Alista. **** Langit-langit berubah warna menjadi orange. Ada waktu dua jam lagi menuju malam. Alista memandangi dirinya di cermin usai memakai celana hitam polos dan baju putih. Setelah merasa puas dengan penampilannya, Alista mengikat rambutnya yang biasa tergurai. "Udah siap belum?" Yura tahu-tahu sudah ada di ambang pintu. Alista menengok, bibirnya menyunggingkan senyum, ia lantas mengangguk. "Udah dari tadi," "Kuy jogging,"" Mereka berdua kompak berjalan keluar rumah. Vania yang sudah tahu hal itu memang langsung mengizinkan terlebih lagi jogging di waktu sore hati adalah kebiasaan putrinya. "Tunggu," Yura mendadak berhenti. Alista yang ada di sampingnya pun ikut berhenti dengan tatapan penasaran. "Ada apa?" "Dia telepon. Lo bisa lari duluan aja. Gue nyusul nanti," "Beneran, nih?" tanya Alista ragu, masalahnya dia tidak tahu menahu tentang daerah ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN