72

1033 Kata
Alista duduk di tepi jalan sambil menopang dagu. Entah berapa menit lagi ia menunggu Yura sampai selesai menelepon. Dari gerak-geriknya, sih, Alista tahu kalau saudaranya itu tengah menelepon kekasihnya. Lihat saja, sedari tadi terlihat senyum-senyum tidak jelas. “Saya tidak mengajarmu untuk berbuat seperti ini! Kau tidak ada bedanya dengan Ibumu yang selalu ceroboh! Sekarang saya minta untuk mengambil uang itu sekarang. Saya tidak akan memberikan satu peserpun uang padamu. Jangan harap!” Atensi Alista terpindah pada seorang Laki-laki yang kelihatannya seusia dengan dirinya bersama seorang anak kecil Perempuan kira-kira berumur lima tahun. Tapi mengapa tadi Pria tersebut terdengar berbicara dengan bahasa formal? Seperti Pria yang sudah tua saja. “Kenapa Papa sama Meli pelit banget? Sedangkan Papa selalu kasih apapun yang Mei mau. Papa jahat!” “Jangan panggil saya Papa! Saya bukan Papa kamu. Cepat, ambil uang itu di rumah. Jangan kembali sebelum kamu membawa uang itu.” Alista mengerjap kaget. Dia merasa sedang menyaksikan drama secara langsung. Barusan seperti drama, namun terlalu nyata untuk dianggap sebagai sebuah drama. Alista menggelengkan kepalanya. Perlahan tubuhnya bangkit berdiri dan berniat untuk pergi dari sana menuju Yura tentunya. Tetapi ... belum saja dia melangkah, Alista mendengar sesuatu yang terjatuh. “Astaga, Dek!” Alista melengking histeris. Dia berlari menghampiri Anak kecil yang diketahui bernama Meli itu. Alista berjongkok, melihat keadaan anak tersebut siapa tahu ada yang terluka. “kamu enggak pa-pa, kan? Ayo berdiri,” katanya, kemudian berdiri dan mengulurkan tangan. Meli mendongak, “Aku baik-baik aja, kok,” anak kecil itu menerima uluran tangan Alista. Alista menghela nafas lega, tetapi tatapan tajam dan menyeramkannya kini terarah pada Laki-laki yang dengan santainya berkacak pinggang. Seharusnya, kan, sebagai ayah, laki-laki itu harus membantu putrinya yang terjatuh. Alista geram akan hal tersebut. “Kamu di sini aja sebentar. Jangan pulang ke rumah, oke?” “Tapi, Kak—“ Alista meletakkan jari telunjuknya di bibir tipis Meli sambil menggeleng. “Biar Kakak yang menangani Kakak kamu,” perempuan tersebut kembali melanjutkan langkah. Sampai di depan Cowok itu, dengan entengnya Alista melayangkan tamparan. Sang laki-laki menoleh ke arah Alista sembari memegang rahangnya yang memanas. “Lo tampar gue?” “Iya kenapa!? Lo pantas mendapatkan itu. Mikir dong! Anak sekecil dia harusnya diperlakukan lembut. Dia butuh kasih sayang! Jangan bersikap kasar seenaknya kayak gitu!” balasnya menggebu-gebu. Laki-laki tersebut malah tertawa kecil. Alista mengernyit dalam, apa perkataannya ada yang salah? Kenapa dia sampai ditertawakan seperti ini? “Eh, Al, ngapain di sini?” Yura datang. Suara bentakan Alista tadi membuatnya terperangah sekaligus penasaran. “Marahin dia. Kakak tau enggak? Dia udah kasar ke anaknya. Masa aku biarin begitu aja?” tutur Alista. Kening Yura mengernyit bingung. “Anak?” “Iya! Dia habis marahin anaknya, Kak.” “Ya ampun, Al, enggak. Dia itu—“ Yura seketika mengatupkan bibir ketika Laki-laki di dekatnya itu mengisyaratkannya untuk bungkam lewat tatapan mata. Giliran Alista yang kebingungan sekarang. “Dia? Dia kenapa?” “Enggak. Lupain. Ren, maafin saudara gue.” “It’s okay.” “Loh? Kok kakak malah minta maaf ke dia? Dia itu harusnya dimarahi—“ “Udah, Al, yuk mulai jogging.” Yura menggandeng lengan Alista, menuntun saudaranya ini untuk menjauh dari sana. “Kakak kenapa, sih? Kok minta maaf?” tanya Alista lagi. Ia tidak akan pernah tenang sebelum semua pertanyaan di benaknya terjawab. “Cowok yang tadi itu sebenarnya lagi—“ “Yura!” lengking seorang wanita dari arah belakang sana. Keduanya kompak menoleh. Kening Alista berkerut, orang baru siapa yang ia temui lagi sekarang. Sementara Yura berlari memeluk Wanita itu. “Gila! Lo udah pulang dari Surabaya? Gue kira malam nanti,” ujar Yura tampak sumringah. “Gue dijemput Bokap, makanya cepat. Tadinya, sih, niatnya mau pakai bus, tapi ortu gue orangnya enggak sabaran,” balas Perempuan yang belum Alista ketahui namanya. Pandangan dia akhirnya terarah pada Alista. “dia siapa?” “Eh, kenalin dia Aisha, anak dari Tante gue,” Alista tersenyum kepada wanita itu. Tangannya pun terulur menjabat. “Panggil aja Alista,” “Gue Dina,” “Salam kenal, Kak,” Alista menyunggingkan senyum. “Kayaknya Lo seumuran sama adik gue, deh. Masih kelas dua SMA, kan?” tanya Dina memastikan. “Adik Lo yang mana? Si Gea?” “Iya, Gea. Gue senang banget kalau dia bisa akur sama Gea. Besok gue suruh dia nyamperin Lo, ya? Biar berangkat bareng,” ** Ada yang berbeda pagi hari ini. Tidak ada yang membangunkannya lagi dengan suara cempreng yang memekakkan gendang telinga, mengajaknya ribut bahkan saat di jalan, dan selalu mengatainya banyak gaya. Arsen menatap lama foto Alista yang tengah tersenyum manis. “Sampai kapan lo menghilang? Maafin gue yang selalu enggak mengalah saat kita berantem. Cepat kembali, Al, hidup gue sepi tanpa kehadiran lo,” Sekarang luka yang ada di tubuh Arsen sudah lumayan pulih. Oleh sebab itu dia berani untuk menginjakkan kaki ke sekolah. Sampai di lantai bawah, ia langsung dihadiahi tatapan terkejut oleh Ibunya. “Yakin kamu mau berangkat sekarang? Apa tidak ada bagian yang masih terasa sakit? Jika ada lebih baik kamu tidak usah berangkat dulu, Nak,” “Aku harus berangkat, Bu. Keadaan aku udah baik-baik aja,” Arsen menyalimi tangan Bianca. “aku pamit dulu,” “Hati-hati,” Arsen keluar rumah menuju tempat parkir, tempat di mana motornya berada. Setelah naik dan tidak lupa memakai helm, ia menjalankan motor itu dengan kecepatan tinggi hingga belasan menit berlalu, tidak terasa dia sudah sampai di tempat tujuannya. “Dia berangkat, guys!” lengking salah satu perempuan dengan histeris. Dalam sekejap, Arsen kini dikerumuni oleh Gadis-gadis dengan tatapan berbinar. “Ar, kamu enggak apa-apa, kan?” “Mana yang luka? Sini aku obati,” “Kamu dirawat di rumah sakit enggak? Kok enggak bilang ke aku kalau kamu luka? Harusnya kamu bilang biar aku ke sana,” “Kamu tau enggak? Kelas enggak asyik tanpa kehadiran kamu,” “Kita bolos aja, yuk, Ar! Luka kamu belum sembuh, tuh, masih ada lebamnya di pipi,” Suara Mereka yang terdengar menyatu dan nyaring di telinganya, membuat Arsen jadi pusing sendiri. Ia melepaskan helm, saat itulah para perempuan memekik histeris. Dia sudah tahu itu, pasti karena wajah tampannya. “Arsen! Gue tau Alista di mana!'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN