70

1460 Kata
"Betul. Tunggu, Bibi punya beberapa foto dan video ketika kamu kecil," Vania kini menyerahkan ponselnya. Alista menerimanya lagi. Ia melihat semuanya dengan teliti. Barulah ia bisa percaya sepenuhnya. "Benar kamu itu Aisha?" tanya Yura lagi. "Iya. Itu nama lama aku," Yura memandang Alista dengan tatapan haru. Ia membekap mulutnya sendiri, tidak menyangka akan bertemu saudaranya hari ini. "Ya ampun, Ai!" Yura maju beberapa langkah dan mendekap Alista dengan erat. "lo udah gede! dulu Lo itu masih bayi tau enggak. Gue sering gendong dan mandiin lo," Alista ikut tersenyum melihat wajah sumringah Yura. Hatinya mendadak menghangat. "Kabar kamu baik-baik aja sekarang? Bianca memperlakukan kamu dengan baik, kan?" "Banget, Bi. Sebelumnya aku enggak tau kalau aku punya Bibi. Maafin aku selama ini enggak kasih kabar ke kalian," jawab Alista tidak enak. "Kak Yura, maaf tadi aku sempat enggak sopan," "Enggak apa-apa. Santai aja sama gue mah," respons Yura. "Ayo pulang. Rumah kamu ada di mana? Sekalian Ibu akan bertemu dengan Bianca," Raut Alista berubah murung. Dia mulai menceritakan masalah yang menimpa dirinya, termasuk tentang Marsel. Vania dan putrinya menjadi iba. "Bagaimana kalau kamu ikut tinggal saja bersama Bibi di Bali?" Alista mengerjap kaget. "Bali?" **** Ketukan pintu berhasil mengalihkan atensi Karisa dari masakan yang sedang ditanganinya. Dia memandang pembantu di dekatnya yang tengah mencuci piring. "Bi, buka pintunya tolong," "Baik, Nona." Wanita paruhbaya itu mengusap tangannya menggunakan lap, lantas beranjak ke pintu untuk membukakannya. "Temannya Non Karisa, ya?" "Karisa nya mana, Bi?" "Dia sedang memasak. Silakan masuk ke dalam dulu, Den." "Siapa yang datang, Bi?" tanya Karisa dari arah dapur sana. "Temannya Non," "Alista?" "Bukan. Dia Laki-laki, Non." Karisa mengernyitkan dahi. Tumben sekali teman Laki-laki nya datang. Untuk membunuh penasarannya, Karisa langsung pergi ke ruang tamu. "Arsen? Ke sini sendiri? Alista mana?" "Justru gue mau tanya ke lo. Alista mana," "Hah? Sebentar-sebentar. Mending Lo duduk dulu. Kita bicara pelan-pelan. Bibi, siapin minuman buat dia, ya," titah Karisa. Perempuan paruhbaya itu mengiyakan, kemudian pergi ke dapur. Sementara Karisa mendarat duduk di depan Arsen. "Alista enggak ada di rumah?" "Kalau ada, gue enggak bakal ke sini. Dari sore, dia enggak kelihatan sama sekali. Ibu gue sampai telepon semua teman sekelas kita bahkan kepala sekolah. Enggak ada yang tau di mana dia. Gue ke sini karena gue yakin Alista ada di sini, tapi liat respons lo sepertinya dia enggak ada," jelas Arsen membuat Karisa kaget setengah mati. "Alista hilang?" "Dia bukan orang yang mudah diculik, Kar." sergah Arsen, mengingat Alista pandai membela diri. "Kenapa Lo enggak coba ke rumah Marsel?" ***** "Buat apa gue nyembunyiin Cewek murahan kayak dia?" Marsel tertawa kecil usai mendengar pertanyaan Arsen padanya. "Sial! Gue tanya baik-baik! Jawab sebelum kesabaran gue habis dan wajah Lo yang lebam itu tambah parah lagi." "Gue enggak tau! Kenapa Lo tanya ke gue? Coba tanya ke mantan Alista yang lain. Dia, kan, murahan. Pasti banyak ex boyfriend selain gue," jawab Marsel masih terlihat santai. "Gue enggak akan percaya Lo begitu aja," Arsen melewati Marsel, lalu menerobos masuk begitu saja. "Al! keluar!" teriaknya menggema di setiap sudut. Ia melayangkan pandangan ke sekitar rumah, namun orang yang ia cari sama sekali tidak terlihat. "Percuma. Mau Lo teriak pakai speaker pun dia enggak akan keluar. Dia gak ada di sini." *** Hari sudah semakin malam. Gadis itu belum juga kembali ke rumah. Arsen membuka kaca jendela, memperhatikan gerbang rumahnya di bawah sana. "Lo di mana, sih, Al?" Cowok itu meraih ponsel. Entah sudah berapa kali ia berusaha menghubungi Alista, tetapi dirinya tidak bosan untuk mencoba lagi dan menempelkannya ke telinga. Arsen diam sejenak, saat telepon sudah tersambung, ia menatap ponselnya tidak percaya. "Al? Lo ada di mana sekarang? Sharelock lewat chat. Semua orang mengkhawatirkan lo, Al." "Dengar dari suaranya, sih, kayaknya dia orang kaya, Bos." Arsen terpaku mendengar suara pria asing di telepon. Asumsi negative mulai menganggu pikirannya. "Siapa Lo?! Di mana Adik gue?!" "Di mana, ya? Di markas kita berdua, nih." "Gue akan kasih uang berapapun asalkan Lo jangan berbuat sesuatu yang buruk ke dia! Gue enggak akan biarin hidup kalian tenang kalau itu terjadi!" "Sayang, nih, kalau adik lo yang manis dianggurkan begitu aja. Tapi berhubung kita sama Bos baik, gue kasih keringanan. Besok pagi jam tujuh lo datang di alamat yang gue kirim. Bawa uang tujuh miliar sebagai tebusan. Kita jamin Adik Lo aman semalaman di sini," Arsen mendecih. Jelas dia tidak menaruh kepercayaan para orang b***t seperti lawan bicaranya kini. "Kenapa jam tujuh pagi? Gue bisa ke sana sekarang juga. Kirim alamatnya," Panggilan itu diputuskan secara sepihak. Arsen beranjak dari ranjangnya. Ia kemudian berjalan ke brankar, kemudian mengeluarkan uang sebanyak yang diminta para penculik itu dan memasukkannya ke sebuah tas. "Arsen? Uang sebanyak itu untuk apa?" Bianca yang melihatnya pun kebingungan. Tidak biasanya Putranya itu mengambil uang sebanyak ini. "Aku mau jemput Alista sekarang." Arsen menutup sleting tas tersebut dan berbalik memandang Ibunya. "penculiknya baru aja telepon aku. Aku harus segera ke sana, Bu. Arsen enggak mau terjadi sesuatu yang buruk pada Alista," "Penculik? Alista diculik?" Bianca ternganga tidak percaya. Ia memegang dadanya yang terasa terhujam sesuatu. "Ibu jaga rumah aja. Arsen janji akan pulang dan bawa Alista ke sini," katanya, melangkah maju kemudian memeluk Bianca sekilas. "Tidak. Ibu harus ikut," "Enggak boleh. Terlalu bahaya." "Lebih bahaya lagi jika kamu sendiri ke sana. Mereka bisa saja membawa senjata. Arsen, Ibu akan ikut." Arsen menghela nafas, berusaha untuk bersabar. "Ibu, aku bisa bela diri. Aku bisa ngalahin mereka. Ibu percaya aja sama aku. Arsen pamit dulu," "Hati-hati," **** Bintang-bintang serta bulan yang bersinar menerangi malam itu menemani langkah Arsen. Cowok tersebut sesekali menengok ke sekitar untuk waspada. Ia menyeluk saku. Ditempelkannya ponsel tersebut di telinga. Beberapa detik berlalu dirinya tak mendapat jawaban juga. "Gue kira lo akan telat," Arsen memasukkan ponselnya kembali bersamaan dengan pandangannya yang teralih ke depan. Tampaklah tujuh orang pria berpakaian serba hitam dengan tato yang terdapat di beberapa bagian tubuh mereka. "Di mana Adik gue?!" tanya Arsen menggebu-gebu. "Weh, santai dong." "Kasih koper itu ke kami. Cewek itu ada di dalam mobil. Salah satu anak buah gue akan bawa dia keluar," perintah salah satu di antara Mereka. Arsen maju beberapa langkah. Dia meletakkan koper tersebut di tengah-tengah mereka dengan tatapan waspada. "Bawa dia ke sini," Mereka berempat justru melangkah maju secara bersamaan. Arsen tetap kukuh pada tempatnya, tidak berniat untuk mundur sedikit pun. "Gue enggak akan segan-segan laporin kalian ke polisi kalau kalian berani bohong," "Yo! bawa Cewek itu ke sini!" teriak salah satu di antara mereka. Arsen beralih tinjauan ke mobil yang terletak jauh di sana. Ke empat preman itu menyeringai dan saling memberi tatapan isyarat. Tepat ketika itu juga Kelimanya yang lain mulai mengeroyok Arsen dengan brutal. Tidak ada jeda. Pukulan, tendangan, lemparan dari balok kayu semua menimpa tubuh Arsen tanpa ampun. Laki-laki itu bukannya pengecut yang pasrah begitu saja ketika dipukuli, tetapi setiap dia ingin bangkit, salah satu dari mereka menyerang titik lemahnya. "Bodoh!" tawa Mereka yang menggema terdengar mengerikan di tengah jalanan sunyi itu. Arsen terbatuk-batuk. Dia terkejut melihat darah yang keluar dari mulutnya. "Gue suka, nih, modelan curut begini. Mudah diperas!" "Lo kelas berapa, sih, Cil? Kita bodohin mau aja!" Gelak tawa mereka lagi-lagi menggema. Tubuhnya terasa remuk semua. Raga penuh luka itu hanya terbaring tengkurap di aspal kasar. Tenaganya seperti dikuras habis dan terasa melemas. Pandangan yang biasanya jelas kini menjadi samar-samar dan melihat seorang Gadis yang sedang bersembunyi di balik pohon. Yang jelas, Gadis itu bukan Alista. Entahlah. Arsen tidak melihatnya dengan jelas. Beberapa detik berikutnya hanya menyisakan gelap gulita. **** Mobil hitam legam itu akhirnya pergi, meninggalkan Arsen yang tergeletak begitu saja dengan luka lebam serta berdarah di beberapa bagian tubuhnya. Seorang Gadis keluar dari balik pohon besar yang menjadi tempat persembunyiannya. Ia menengok ke sekitar, ngeri juga kalau salah satu preman itu belum pergi. Namun situasi sepertinya aman. Langkahnya mendekati Arsen dengan cara mengendap-endap. Setelah sampai, dia berjongkok. Tangannya menggoyangkan pundak Arsen beberapa kali. Tidak ada tanda-tanda Laki-laki ini akan bangun. Gadis itu lantas membalikkan tubuh Arsen. Tatapannya menjadi iba melihat luka lebam yang parah di wajah Cowok itu dan juga percikan darah di kaus putih polosnya yang sudah kotor terkena debu. "Kamu harus bertahan," dia lanjut berusaha mengangkat tubuh Arsen dan menuntunnya pergi dari sana. Sesekali Perempuan tersebut menyeka keringat yang bercucuran di pelipisnya. Sampai di dekat mobil, dia membuka pintu dengan satu tangannya, kemudian memasukkan Arsen ke dalam sana. Mobil itu mulai melaju, menjauh dari tempat yang rawan bahaya. Lima menit berlalu, dia menghentikan mobilnya di tepi jalan depan tempat perbelanjaan. Banyaknya orang yang berlalu lalang membuat ketakutannya hilang. Gadis itu berpindah ke jok belakang mobil, tempat Arsen dibaringkan. Ia menempatkan kepala Arsen di pahanya. Sementara kedua tangannya kini sibuk menuangkan alkohol ke kapas. Dia mulai menempelkan kapas tersebut ke luka lebam Arsen. Tubuhnya mengerjap kaget melihat mulut Laki-laki di pangkuannya ini meringis. "Aduh, ssshhh," "Ka--kamu baik-baik aja?" "Lo siapa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN