73

1047 Kata
Ucapan Rachel berhasil membuat Arsen mengadahkan tangan, menyuruh semua Perempuan di sekitarnya untuk diam. Arsen kemudian berjalan menghampiri Rachel di ambang gerbang sana. "Apa lo bilang?" "Gue liat Alista," "Di mana?" "Serius banget, sih, lo. Segitu sukanya sama Alista?" ledek Rachel, berusaha untuk mengulur waktu. Melihat wajah Arsen pada pagi hari membuat mood-nya membaik. Tatapan Arsen berubah menjadi datar. "Bilang cepat. Gue enggak suka buang-buang waktu." "Ada kok. Tenang aja. Santai. Sebelum gue kasih tau, Lo harus memenuhi syarat yang gue ajukan dulu," kata Rachel yang semakin membuat Arsen ingin cepat-cepat pergi. "Syarat apa?" "Lo harus tembak gue sekarang juga!" Perkataan Rachel spontan mendapat sorakan dari orang-orang di sekitarnya. Habisnya, sih, syarat yang diajukannya tergolong aneh. "Tapi gue enggak punya pistol," jawaban Arsen di luar dugaan Mereka. "Ish. Bukan itu maksud gue. Tembak itu Lo nyatain perasaan--" "Maaf, gue enggak ada waktu." Arsen berjalan dan menyenggol pundak Rachel begitu saja. Gelak tawa beberapa detik terdengar disertai ejekan yang ditujukan orang-orang pada Rachel. Arsen mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Orang yang ia cari belum kelihatan juga walau jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia mendarat duduk di bangku Alista, dan meletakkan tasnya di sana juga. Dia ingin saja untuk duduk di sini. "Ar? Gue kira Lo masuknya besok," suara dari orang yang ia cari akhirnya terdengar juga. "Gimana? Kalian udah nemuin Alista?" "Belum. Kita tunggu aja," tangan Karisa terulur menegang pundak Arsen. "lo yang sabar, Ar. Alista enggak bakal pergi lama-lama. Lo tau sendiri, kan, dia enggak bisa bertahan tanpa Lo?" "OEMJI! ada apa dengan kalian berdua sampai dekat-dekat dan berhadapan gitu?! Apakah ada sesuatu? Ayo cerita. Gue akan biarin berita ini tersebar di luar kelas ini," Rifka datang dan mendudukkan diri di samping Karisa. Karisa menjauhkan tangannya juga menciptakan jarak dari Arsen. "Kita cuma teman kok," "Bohong! Eh, by the way kenapa Lo duduk di bangku Alista? Ini kawasan Cewek woy! Sana pergi. Tapi kalau Lo bersedia terus terang tentang hubungan Lo sama Karisa, gue bolehin Lo duduk di situ deh," cecar Rifka. Kedua mata tajam itu menatap serius. Rifka yang tidak kuat memandangnya pun langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. "Lupain-lupain. Ternyata muka Lo nyeremin juga kalau lagi marah," lirih Rifka, tentunya masih bisa didengar oleh kedua orang di dekatnya. Karisa tertawa kecil. "Lo, sih, kebanyakan ngomong." tinjauan Karisa teralih kembali pada Arsen. "Ar, kalau Rachel bilang apa-apa, jangan percaya. Dia cuma mau cari perhatian lo karena kemarin aja dia enggak ikut kita-kita ke kantor polisi plus cari Alista di sekitaran daerah ini juga," *** Sungguh, Alista menjadi terlihat seperti orang lain ketika melihat pantulan dirinya di cermin yang mengenakan seragam dari SMA barunya. Jika ditanya sekarang dia merasa sedih atau bahagia, maka Alista menjawab keduanya. Sekarang saja bayangan teman-teman terutama Kakaknya selalu terlintas di benaknya. Alista berjalan ke arah laci. Ia membuka salah satunya dan mengambil ponsel yang terletak di sana. Kemarin Bibinya memang membelikan benda pipih itu. Ia tetap menerima walaupun rasa tidak enak menjanggal di hatinya. Perempuan itu memencet tombol angka, berusaha merangkai nomor Kakaknya, tetapi ia tidak bisa mengingatnya. Alista mengesah frustasi. Tidak ada nomor satu orang pun yang ia ingat. Namun Alista tak mempunyai keberanian untuk kembali ke kehidupan masa lalunya. Ia terlalu takut akan ancaman Marsel. Alista menghela nafas dalam. Ia harus menjadi orang yang baru sekarang, orang yang tidak terbelenggu oleh masa lalu. "Assalamualaikum, Tante!" Suara itu mengalihkan tinjauan Alista ke ambang pintu. Seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan dirinya datang. Raut wajahnya yang sumringah membuat Alista teringat akan Karisa. "Eh, Gea, ayo masuk dulu, Nak." titah Vania mempersilahkan. Gea tersenyum dan akhirnya duduk di salah satu bangku yang ada di ruang makan. Merasakan ada seseorang yang memperhatikannya, tatapan Vania teralih pada Alista yang ternyata tengah berdiri di sana. "eh,baru aja mau diomongin, kamu udah keluar kamar. Hayo sini gabung sama kita. Ibu sudah menyiapkan makanan yang mungkin kamu masih suka," Alista tersenyum kecil. Ia melangkah menghampiri mereka bertiga termasuk Yura yang kini sibuk mengoles selai. "Makan roti atau nasi, Ai?" tanya Yura, menengok sedikit. "Nasi aja. Aku penasaran sama masakan yang dimasak Bibi," Alista menarik bangku,kemudian mendarat duduk di sana. Gea mendongak ke arah Alista. Ia memandangnya sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Lo Aisha?" "Gue Alista," "Alista atau Aisha sama aja. Aisha itu nama lamanya dia. Sejak dia diangkat Tante Bianca, namanya diubah jadi Alista. Senyamannya Lo aja mau panggil apa, Ge." jelas Yura. Gea mengangguk paham. "Gue panggil Alista aja, deh," Gea mengulurkan tangan,"kenalin gue Adhea Gabrielle. Panggil aja Gea karena yang lain biasa panggil gitu," "Panggil Gabri, boleh?" "Banget. Baru kali ini ada yang mau panggil gue begitu. Gue jadi senang deh!" Vania tersenyum melihat interaksi mereka bertiga. Jujur saja ini adalah momen yang ia rindukan puluhan tahun belakangan. Momen di mana rumah menjadi ramai sebab biasanya sepi karena Yura adalah anak yang suka ketenangan. Beberapa menit ke depan yang terisi hanyalah dentingan sendok makan dari mereka. Gea juga ikut memakan meski sekali-kali dia mengecek ponsel. "Udah jam tujuh," gumam Gea. Ia bangkit berdiri. "Al, berangkat yuk." **** Alista menatap gugup deretan murid di hadapannya yang tengah memandangnya juga, tetapi di bangku sudut kanan sana ada Gea yang tengah mengangkat tangan dengan telapak lengan terkepal. Wajah Gadis itu tersenyum. Ya, Gea sedang mendukungnya. Setidaknya hal itu membuat dia sedikit lega. "Silakan perkenalkan diri," "Perkenalkan gue Alista, murid baru di sini. Gue harap kalian semua bisa jadi teman gue," "Woooooo! Dengan senang hati Alista cantik!" "Namanya cute kayak wajahnya!" "Al, malam nanti dinner yuk!" "Aduh, kayaknya gue harus telepon ortu sekarang soalnya gue udah ketemu calon menantu buat mereka!" "Enak aja, Lo, Jamal! Dia itu calon bini gue di masa depan nanti!" "Berhenti menghayal, Dugong!" "Sialan Lo ah!" "Berhayang boleh berhayal...yang penting sadar kenyataan... Berhayal boleh saja, tapi jangan sampai gila..." "Meh, si Fredi malah nyanyi enggak jelas," "Itu seni woy!" "Udah, diem. Nyanyinya nanti aja. Bisa-bisa uang saku kita habis buat nyawer ke Lo," Ketegangan yang Alista rasakan kini seolah lenyap begitu saja usai melihat respons mereka. Tidak ada tatapan horror ataupun tajam dari teman-teman barunya seperti tatapan Rachel. "Permisi, saya mau pinjam penghapusnya, Pak." suara berat itu membuat semuanya diam. Alista menengok ke ambang pintu, tampaklah seorang laki-laki... yang ia temui sore kemarin. Ya, saat dia jogging. Yang dia lihat sedang memarahi seorang anak kecil. Laki-laki itu sudah mempunyai anak, tetapi mengapa masih tetap bisa sekolah?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN