23. Penyelamat

1164 Kata
Alista berhenti, mengamati sepasang sepatu di depannya. Manik cokelat itu perlahan mendongak ke atas. Mendapati Marsel tengah menatapnya dengan tatapan berbeda, perasaan menjadi tidak enak sebab biasanya Marsel suka menampakkan raut permusuhan. "Lo ada waktu?" Oh, tidak. Mengapa Marsel bertanya seperti itu. Jangan bilang Marsel akan mengajaknya jalan. Mustahil. "Sorry. Permisi," Alista memilih untuk tidak menanggapi Marsel. Ia tidak pernah tahu bagaimana isi pikiran Cowok itu. Bisa saja Marsel berniat tidak baik. Mengingat hubungan Mereka dari dulu sengit. Marsel tiba-tiba mencekam lengan Alista. "Gue enggak akan berbuat yang macam-macam. Maksud gue manggil Lo itu baik." Tentunya Alista tidak percaya dengan perkataan Marsel. Dua tahun dia mengenal Laki-laki ini. Hal tersebut membuat Alista tahu bagaimana sifat Marsel. "Mau macam-macam atau enggak, keputusan gue gak berubah." Alista menjauhkan lengannya dari Marsel. Ia kemudian kembali berjalan, tetapi sebelum itu... perkataan Marsel membuatnya terpaku. "Maaf," Alista berhenti. Dia tidak salah dengar, kan? Maaf? "Kalian udah selesai ngobrolnya? Al, tadi Tante Bianca telepon. Katanya Lo harus pulang sama gue." Alista menghembuskan nafas lega. Untung saja Bagas datang. Dia jadi tidak perlu memikirkan alasan untuk kabur dari Marsel sekarang. "Udah kok. Sel, gue pamit, ya!" sebelum Marsel angkat bicara, Alista terlebih dahulu berbicara. Dia menangkup lengan Bagas, menuntun Cowok itu pergi bersamanya. Marsel mematung di tempat. Rahang tegas itu menguat. Sementara Alista melepaskan kaitan lengannya dengan Bagas. Dia juga menjaga jarak dengan Laki-laki di sebelahnya ini. “Emang nanti ada acara apa sampai-sampai Ibu nyuruh gue pulang sama lo?” tanya Alista penasaran. Biasanya kalau ada acara apapun, Bianca selalu mengabarinya, tapi sekarang malah sebaliknya. “Gue bohong. Tadi Lo enggak nyaman dekat sama si Marsel, kan? Jadi gue berinisiatif buat menolong Lo. Gimana akting gue tadi? Bagus?” Bagas balik bertanya. Senyum manis terbit di bibir tipis Alista. Ia tidak mengira Bagas sepintar itu. **** "Ra, ada kerjaan nggak?” tanya Arsen, tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel. “Kenapa? Suruh bersihin kamar lagi?” cibir Alista karena biasanya Arsen menyuruh hal itu. Terlebih lagi ini hari Minggu. “Anterin berkas nya Ibu yang ketinggalan sana. Barusan Ibu chat ada beberapa dokumen yang tertinggal.” Arsen memperlihatkan chat Bianca. Alista melenggut paham. Dia berdiri, meletakkan remote televisi yang sedari tadi ia genggam dan berjalan ke kamar. Alista membuka laci dan mulai mengambil berkas yang ada di sana sesuai dengan yang diminta Bianca. Ting! Notifikasi pesan terdengar. Alista berhenti. Tangan satunya merogoh saku. Ia cek ponselnya ternyata tidak ada pesan masuk sama sekali. Lalu ponsel siapa yang berbunyi? Alista melirik ke dalam laci. Matanya menyipit pada benda bercahaya biru yang menyala. Tangan Alista terulur meraih ponsel tersebut. “Lorenzo?” gumam Alista merasa tidak asing dengan nama itu. Ia mengingat-ingat kembali. Seketika matanya terbelalak. Ini, kan, nomor telepon milik Ayah Marsel. Buat apa Pria itu menelepon Ibunya? Banyak pertanyaan yang melayang di benaknya. Karena penasaran, Alista menerima sambungan itu. “Halo?” Sunyi. Tidak ada jawaban sama sekali. Alista menatap ponselnya. Panggilannya masih tersambung, tetapi tidak ada yang menyahut. “Loh?” Alista bingung sendiri. Teleponnya mendadak dimatikan selang beberapa detik setelah ia berbicara. Alista memasukkan ponsel tersebut ke sakunya. Ia harus menanyakan hal ini pada Ibunya langsung. Alista mengegah keluar, tapi belum seutuhnya ia keluar,dahinya terasa menabrak sesuatu. Alista meringis sambil mengusap kening. “Ih! Apa susah bilang dulu kalau mau lewat!?" Arsen justru tersenyum jahil. “ Lo berangkat sendiri." tanpa basa-basi, Arsen menyerahkan kunci motornya. “Lo nggak mau nganterin gue gitu?” Alista dengan kesal langsung merebut kasar kunci itu dari telapak tangan Arsen. “Gak. Nanti siang gue mau ke rumah Damian.” “Main mulu." kata Alista sebal. Dia tidak keberatan berangkat sendiri. Yang ia takutkan hanyalah orang jahat dan terjadi sesuatu buruk di jalan. Alista tidak mau besok namanya terukir di batu nisan. "Gue pergi. Bye, Alisayang. Muaachh…" Arsen melayangkan ciuman. Gaya bicaranya berubah 360° yang biasanya cool, kini malah cucok bagaikan b*****g yang tengah menggaet Lelaki tampan. Alista tertawa geli. "Hih. Kayak gitu dua kali, gue timpuk lo pakai kaus kaki!" ancamnya dengan suara garang. Arsen tidak menanggapi. Entah tak mendengar atau sengaja tidak menggrubis, Laki-laki tersebut tetap beranjak keluar. Alista masuk ke dalam kamar untuk mengganti baju agar lebih terlihat sopan karena tadi ia hanya memakai hotpants serta kaus polos berwarna dusty pink. Jangan tanya bagaimana reaksi Arsen sedari tadi. Cowok itu bertingkah biasa saja. Gadis itu keluar dari kamar dengan selempang yang berisi berkas-berkas milik sang ibu. Bi Hanifah yang tengah memasak pun berhenti, menatap Alista. "Non mau ke mana?" Alista menghentikan langkahnya. "Mau ke kantor Ibu, Bi. Titip rumah, ya. Bila perlu kunci sekalian. Kalau ada orang asing yang datang, jangan dibuka." "Siap, Non." Alista melanjutkan langkah. Baru memegang handle pintu, deru motor terdengar dari halaman depan sana. Alista langsung mengintip. Kedua matanya terbeliak mendapati Marsel lah yang datang. Nyali Alista tidak menciut. Jika Marsel datang dan ingin mengajaknya ribut, ayo. Alista tak akan menghindar. Toh, dia bisa membuat Marsel terkapar. "Al, tunggu." cegah Marsel berdiri di hadapan Alista. "gue minta maaf. Kemarin Lo enggak jawab pertanyaan gue, Mi. Jadi Lo maafin gue atau nggak?" "Iya." singkat Alista. Ia lantas berlalu begitu saja. Marsel yang tidak puas dengan jawaban Alista pun langsung mengikuti langkah Gadis itu. "Al, lo mau ke mana? Gue anterin mau? Sebagai bentuk permintaan maaf gue." "Enggak usah. Bisa sendiri kok." Alista tetap melanjutkan langkah bahkan ia enggan memandang wajah Marsel walau sebentar. "Al, lo masih marah?" "Lo belum maafin gue?" "Gue harus ngelakuin apa biar Lo maafin gue?" "Al," Cecar Marsel tanpa henti membuat Alista tersulut emosi. Sabar. Dia harus sabar. Melayangkan tinju pada Marsel itu adalah ide yang buruk. "Marsel, gue tegaskan, ya. Semua kesalahan Lo udah gue maafin sebelum lo sadar. Jadi bisa beri jalan biar gue bisa lewat dengan tenang?" sudut bibir Alista melengkung, membentuk senyuman paksa pada Leon. "Oke, tapi lo mau ke mana?" "Kayaknya itu enggak perlu Lo tau deh. Permisi," Alista membungkuk sopan. Badannya tegap kembali dan berjalan kembali seperti biasanya usai melewati Marsel. Sampai di tepi jalan, Alista berhenti dan menghadap jalanan raya yang tengah sepi untuk menunggu angkot datang. "Wah, ada Cewek cantik noh." "Busettt. Anaknya aja udah cantik, njir. Gimana ibunya, ya?" "Enggak usah pikirin Ibunya. Kita urusin aja putrinya yang ada di sini," "Mulus banget kakinya." "Putih lagi, broo." "Gue sentuh kayaknya tambah mulus. Iya enggak?" "Hahahaha! Bisa aja Lo, bro." Bapak-bapak yang ada di pengkolan ojek belakang sana terus melontarkan kata-kata yang membuat perut Alista bergejolak mual. Walau begitu, Alista memilih untuk pura-pura tuli. Rasa takut itu kini terbesit. Masalahnya laki-laki itu berjumlah banyak, sedangkan dia hanya diri seorang. Bagaimana nasibnya jika kalah nanti. Alista begidik ngeri. Membayangkannya saja sudah terasa ngilu. "Neng, mau ke mana? Naik ojek, yuk. Bayarnya murah. Cuma lima ribu aja khusus buat Neng cantik," Pria itu tahu-tahu sudah ada di dekatnya dan hendak memegang lengan.Refleks Alista menghindar. Ia meremas kuat tas selempang yang dibawanya. "Jangan ganggu gue." tekan Alista setelah mengumpulkan semua keberaniannya. Pria berjanggut itu menengok ke arah temannya yang tak jauh dari sana. "Dia berani nolak gue, Woy!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN