24. Luka Lama

1408 Kata
"Langsung sikat aja, Bro! Cewek mah kalau udah disentuh paling nggak nolak lagi." Jijik. Itulah yang Alista rasakan sekarang. Mereka menganggap rendah seorang perempuan. Apa Mereka tidak berpikir bahwa Mereka dilahirkan oleh seorang wanita. Dan apa Mereka tidak mempercayai karma? Ia heran dengan tipe laki-laki seperti itu. "Lo punya anak Gadis enggak, sih?! Sikap lo dijaga dong." Alista mendengkus kesal dan menarik langkah untuk menjauh dari pria itu. Sial. lengannya malah ditarik paksa. "Apaan, sih?! Lepasin gue! Gue laporin ke polisi sekarang juga! Asal Lo tau, ya! Ayah gue itu--" "Ayah Lo udah enggak mengakui Lo sebagai anak lagi. Begitu, kan, Neng cantik?" Alista terperangah. Kedua matanya mendadak perih. Ada yang mendesir di hatinya. Bahkan tukang ojek yang berada jauh dari rumah lamanya pun tau akan hal itu . "Diem, lo anjing!" Marsel menghentikan motor. Tangannya yang mengepal kuat itu kini meninju Laki-laki berjangkut itu dengan sekuat tenaga sampai terhuyung dan terjerembab jatuh ke bawah. Alista tersentak. Ia tak percaya pukulan Marsel sekuat itu. Lebih kagetnya lagi saat Marsel menggenggam tangannya tiba-tiba. "Naik," "Tapi--" "Lo mau diapa-apain?" Alista merapatkan bibir. Ia akhirnya naik ke belakang Marsel. Sorakan terdengar dari para pria itu pertanda Mereka kecewa. Sementara Alista masih memikirkan tentang perkataan Pria berjanggut tadi. Ia sudah mendengarnya berkali-kali, namun kenapa setelah mendengar lagi, hatinya terasa teriris. "Mau ke mana?" deru kendaraan sekitar meredam suara Marsel, namun Alista masih bisa mendengarnya meski samar-samar. "Ke kantor Ibu gue." sahut Alista setengah berteriak, takut suaranya tidak kedengaran. "Btw, thanks udah nyelamatin." lanjutnya kini dengan nada normal. Pendengaran Marsel yang tajam itu bisa menangkapnya dengan jelas. Ia akhirnya berdeham sebagai balasan. Beberapa menit setelah perjalanan, Keduanya sampai di depan sebuah gedung besar. Marsel menghentikan motor. Alista turun setelahnya. Dari tadi pikirannya sudah tidak tenang. Ia takut jika berkas ini terlambat diberikan dan mengakibatkan hal buruk. Beberapa langkah Alista menjauh darinya, perasaan Marsel menjadi janggal seperti ada sesuatu yang kurang. "Al!" Alista menengok, menunggu perkataan Marsel selanjutnya. Marsel berdiri menghadap Alista. Dari sini Alista bisa menyimpulkan kalau tubuh Marsel tinggi, tapi masih lebih tinggi dengan raga Kakaknya Kedua tangan Marsel mendadak bergerak melepas helm yang masih terpasang di kepala Alista. Alista baru tersadar. Astaga. Kenapa dirinya tidak merasakan kalau helm ini belum dilepas? Apa jadinya jika Alista tetap masuk. Bisa-bisa dia menjadi bahan candaan. "Helmnya masa enggak dibalikin." kata Marsel, lalu menyunggingkan senyum, tapi dibalik senyuman itu Alista tahu kalau Marsel berusaha menahan tawa. Alista membuang muka ke arah lain. Ia akui wajah Marsel tampan. Dirinya menghindar dari tatapan itu agar dia tak suka apalagi jatuh cinta. "makasih." Alista berbalik badan, kembali melanjutkan langkah ke dalam gedung itu. *** "Ibu!" Alista menyelinap masuk ke dalam dengan senyumnya yang tidak pernah luntur. Bianca melepaskan kacamata yang sedari tadi ia pakai, menutup laptopnya dan berdiri menyambut Alista dengan pelukan. "Tumben ke sini, Sayang? Ada apa?" Bianca melepaskan dekapan, Sirat matanya penasaran. "Aku mau nganterin berkas Ibu. Katanya tadi ada yang ketinggalan," Alista mulai menyerahkan berkas-berkasnya. Bianca dengan senang hati menerima. "Ya ampun, terimakasih, sayang. Rapatnya akan dilangsungkan setengah jam lagi. Tadi niatnya Ibu akan ke sana untuk ambil sendiri. Eh, nyatanya anak ibu lebih peka." Bianca mengelus helai rambut hitam Alista yang dikuncir kuda. "ayo duduk." Bianca menarik bangku di dekatnya. Alista menurut. Dia merogoh tas miliknya. Meraih sebuah ponsel di sana, kemudian menunjukkan pada Bianca. "Ponsel Ibu ada dua, ya?" "Enggak, sayang. Cuma ada satu," sahut Bianca tanpa mengalihkan tinjauan dari berkas-berkas yang tengah ia cek. "Terus…" Alista meletakkan ponsel itu di meja, dia menggeserkannya agar lebih dekat dengan Bianca. "... itu hp siapa, Bu? Waktu aku ngambil berkas, aku nemuin itu di laci." Bianca berhenti mengecek berkasnya. Sorot mata itu berubah datar. Ia mengambil ponsel yang ditunjukkan Alista. Seketika jantungnya tersentak. Bagaimana bisa putrinya bisa menemukan ponsel ini? Padahal dia sudah yakin meletakkannya di tempat yang aman. Ponsel itu dibelikan oleh Lorenzo setengah tahun lalu sebagai jalur Mereka berkomunikasi tanpa ketahuan. "Kenapa kamu buka laci sembarangan?!" tanya Bianca membentak. Alista terkesiap. Ia menegakkan duduknya. "Aku cuma ngambil berkas. Terus aku enggak sengaja lihat ponsel itu," lirihnya. "Ibu tidak menaruh berkas ini di laci itu! Kamu buka semua laci Ibu yang ada di sana, kan?!" todong Bianca. Alista menggeleng cepat. "Enggak, aku--" "Jangan berbohong, Alista. Ibu tidak mengajarkan hal itu. Kamu itu akan berusia tujuh belas tahun. Pikiran kamu harus lebih terbuka. Semestinya kamu tau mana yang barang nggak boleh disentuh, mana yang boleh." "Ibu, aku minta maaf. Laci yang jadi tempat menaruh handphone itu terbuka sedikit jadi aku bisa lihat hp nya menyala dan bergetar. Aku angkat telepon itu karena mengira siapa tahu itu telepon penting dari rekan kerja Ibu. Aku enggak menduga itu barang yang enggak boleh aku sentuh," kedua pasang mata Alista kini memerah dan berkaca-kaca. "sekali lagi maafin aku." Alista bangkit berdiri. Langkahnya yang cepat itu kini mengarah keluar ruangan kerja Bianca. Dia kini merasa Dejavu. Beberapa tahun lalu... "Nela! Mana dokumen yang ada di lemari ini?! Kau memindahkannya ke tempat lain?!" suara menggelegar itu melantarkan Nela berlari ke kamar, tempat Farhan mencak-mencak karena berkas yang dia sudah susun belakangan hari ini hilang entah kemana. "Aku enggak memindahkan apapun, Mas. Mungkon berkas itu sudah ada di dalam tas," "Aku sudah mencarinya di sana! Tapi tidak ketemu juga." Farhan mengusak rambutnya frustasi. Sepuluh menit lagi akan diadakan rapat. Dan data-data yang ada di dalam berkas itu sangatlah penting. "Apa tadi anak itu ke kamarku?" Farhan menatap serius Istrinya. "Tidak tau. Seharian dia main di halaman depan bersama Sesil, Mas. Aku rasa dia tidak--" "Kamu tidak mengawasi Mereka?!" tanya Farhan membentak. Kepala Nela semakin menunduk. "Aku tadi ke salon, Mas. Karena sudah waktunya," Nela diam-diam melirik Farhan. "Tapi tidak salahnya menanyakan hal itu langsung kepada Aisha. Siapa tau dia memang iseng. Mas tau, kan, bagaimana sikap dia selama ini?" Tanpa menjawab, Farhan pergi dengan nafas memburu. Kepalan tangan yang berotot itu kini menguat. Ia mengegah ke halaman depan rumah. Di sana tampaklah dua orang anak kecil sedang sibuk bermain masak-memasak dengan tanah dan mainan mereka. Farhan menarik paksa lengan anak kecil berambut kepang itu. "Jawab! Kamu yang membuka lemari saya, kan?!" "Aisha enggak membuka lemari Papa kok." "Anak sialan! Bilang saja kau tidak mau mengaku. Dan sudah berapa kali saya bilang, saya bukan Papa mu! Jangan panggil saya seperti itu." "Maafin Aisha," Gadis kecil itu menunduk sedih. Matanya yang bening itu tudak berani menatap Farhan. Lantaran sekali ia menatap di saat seperti ini, Farhan justru menganggapnya telah berani. "Sesil, apa kamu lihat dia masuk ke kamar Papa?" tinjuan Farhan kini beralih pada Sesil, anak pertamanya dari hasil pernikahan dirinya dengan Nela. Anak dengan Surai hitam tergerai indah itu menengok, "Tadi aku liat Kak Aisha masuk ke dalam, aku nggak tau dia ngapain, Pa." Tatapan tajam Farhan kini kembali mengarah ke anak berkepang itu. Dia mencengkram kedua pundak kecil Alista. "Dasar pembohong! Berkali-kali saya mengatakan kau jangan masuk ke kamar saya! Kenapa masih melakukan?! Jangan menyentuh apapun. Kamu sudah sekolah. Harusnya bisa membedakan mana yang benar dan tidak! Jangan sentuh barang yang bukan milikmu. Apa saya perlu memberi hukuman lagi agar kau mengerti? Baiklah. Ayo. Ikut saya," Farhan beralih menggandeng tangan Aisha. Ia menuntun anak itu dengan kasar tanpa peduli dengan tubuh Aisha yang gemetar ketakutan. "Pa, jangan hukum aku. Aisha enggak salah, Pa. Aisha enggak masuk ke kamar Papa. Sesil bohong. Malah aku lihat dia membakar kertas. Mungkin itu kertas' yang Papa cari," Farhan berhenti dan berbalik usai mendengar itu. Dia sedikit berlutut untuk mennyamai tinggi Aisha. Tanpa berkata apapun, Farhan melayangkan tamparan ke pipi Aisha. Gadis kecil itu terhuyung jatuh ke bawah. Nela membawa Sesil ke dalam pelukan, tidak ingin putrinya melihat Putrinya menyaksikan kekerasan tersebut. "Berani kamu menyalahkan Sesil?! Kamu seharusnya meminta maaf! Jangan menyalahkan putri saya, Dasar anak kurang ajar." Farhan kembali meraih lengan Aisha. Ia menyeret anak malang itu ke dalam kamar mandi. Menyalakan air shower dan menguncinya dari luar. seluruh badan Aisha lama kelamaan menggigil. Bibir kecil itu memucat. Rasa dingin dari air itu berhasil menusuk sampai ke tulang. Jangan tanyakan keadaan matanya yang sudah sembab bahkan sampai malam menjelang pun tidak ada yang berniat membukakan pintu. Hati mereka seolah mati. "Kalau Papa membenci aku, kenapa membuat aku ada?" Potongan kisah masa lalu itu terputar otomatis di ingatan. Tidak disangka kedua matanya sudah basah. Kejadian di mana dirinya dikurung selama lima jam di kamar mandi itu terjadi beberapa tahun lalu membuat ia trauma. Saat itu Bianca belum datang. Namanya juga masih 'Aisha' Namun sekarang Bianca sendiri, wanita yang sudah menjadi seperti ibu kandungnya malah membuka luka lama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN