74

2028 Kata
Jam istirahat kali ini berbeda seperti biasanya. Alista merasa asing dengan kantin yang jauh berbeda dari sekolah lamanya. Bayang-bayang Rifka, Kiara dan Karisa juga Arsen kini sesekali melintas. Perempuan itu menarik bangku di depan Gea, kemudian mendarat duduk di sana. "Lo mau pesan apa?" “Bakso aja,” “Oke. Tunggu sebentar,” Gea mendorong bangku, lantas ia berdiri. Alista yang sadar akan hal itu langsung mencegah. “Eh, jangan-jangan. Biar gue aja yang ke sana,” “Enggak, Al, biar gue aja. Hitung-hitung sebagai tanda persahabatan kita,” ujar Gea, tanpa mendengar perkataan Alista lagi, Gadis itu beranjak dari sana. Suara riuh terdengar. Teriakan-teriakan yang lebih banyak didominasi para perempuan itu berhasil membuat Alista berdiri dari duduknya dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Namun baru dua langkah untuk mendekat, seorang Pria muncul di tengah-tengah Mereka. Alista menganga. Laki-laki itu... yang tadi meminjam penghapus di kelasnya sekaligus yang ia temui saat jogging. Jadi dia primadona di sini? Udah bapak-bapak juga, batin Alista, merasa jengah sendiri melihat pergerakan Laki-laki tersebut yang tidak ada bedanya dengan Arsen saat dipuji tampan. Sementara di tempat lain yang tak jauh dari Alista, Gea memegang nampan yang di atasnya terdapat dua mangkuk bakso sekaligus es teh. Senyumnya tidak pernah memudar ketika beberapa murid menyapanya, tapi sudut bibirnya itu kembali datar saat seseorang mendorongnya. Alhasil bakso serta es teh yang ia bawa, jatuh ke bawah dan berakhir berceceran di lantai. Gea ternganga. Rautnya berubah menjadi sebal bersamaan dengan kepalanya menengok ke arah orang yang baru saja menabraknya. “Eh, Ran—“ “Kalau jalan yang benar dong! Jangan sok kegantengan begitu!” gertak Alista keras. Banyak pasang mata yang menengok ke arahnya, tapi itu tidak mengurangi keberanian Alista untuk menegur Cowok yang belum ia ketahui namanya. “Maaf, gue enggak sengaja.” Cowok itu sekarang menatap Gea. “lo enggak apa-apa, kan?” “Baik-baik aja, kok,” wajah Gea tampak berseri-seri. Alista yang melihatnya bingung. Mengapa Gea terpana dengan Laki-laki itu? “Ganti rugi sini!” tagih Alista. Ia melirik name tag yang terjahit di seragam Cowok itu. Ternyata namanya Randi. Bukan jawaban yang ia dapat. Kedua kaki Randi melangkah maju, pandangannya kini tidak lepas dari Alista, begitu pun sebaliknya. Alista kukuh untuk tidak memalingkan pandangan sebab dia tak mau kalah bersamaan dengan kakinya yang melangkah mundur. Hingga detik demi detik berlalu, Alista terbentur meja di belakangnya dan berhenti. “Ganti rugi atau gue bakal bilang ke yang lain kalau lo udah punya anak,” katanya mengancam. Randi tertawa kecil. Alista yang melihatnya mengernyit bingung sekaligus kesal dengan ekspresi Nadi yang terkesan meledek. “Gue enggak akan segan-segan buka rahasianya sekarang,” Tawa Randi terhenti. Seisi kantin kompak diam, menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya karena baru kali ini ada orang yang berani menggertak Randi seperti Alista tadi. “Semoga Lo enggak malu nanti,” “Kenapa malu?” tanya Alista menantang. Ia mendorong Randi yang ada di depannya. Dia menarik langkah dan berhenti di tengah-tengah kantin. “Guys! Gue punya berita, nih, tentang idola kalian yang namanya Randi!” Kantin semakin senyap. Pasang mata mengarah ke Alista semua dengan berbagai macam tatapan. Ada yang penasaran dan tidak sedikit juga yang sinis, namun tatapan mereka tidak berpengaruh untuk Alista. Gea tiba-tiba mendatangi Alista. “Al, udah yuk. Kita pesan lagi aja makanannya,” katanya sambil menggandeng lengan Temannya itu, tapi Alista menarik tangannya dari Gea. “Enggak, Gab. Cowok kayak gitu, tuh, emang harus diadili.” “Diadili gimana?” “Udah, mending lo diam dulu.” Alista kembali memandang ke depan. “gue Cuma mau umumkan kalau Randi itu udah punya anak! Gue liat dengan mata kepala gue sendiri kemarin sore,” Untuk sesaat hening. Sampai beberapa detik setelahnya, mereka saling melemparkan pandangan dan... kompak tertawa terbahak-bahak. Dahi Alista mengerut, heran dengan tawa mereka. Apa ucapannya salah? Baru saja akan angkat bicara, Gea malah menarik tangannya dan menyeretnya keluar kantin. “Lo kenapa, sih, Gab? Gab, gue belum selesai! Kenapa mereka ketawa coba? Muka gue ada yang aneh? Bedak gue enggak cemong, kan?” cecar Alista penasaran. “Sumpah, Lo, Al. Malu-maluin,” gerutu Gea pelan. Ia menundukkan kepala di sepanjang perjalanan, malu dengan tingkah orang yang sedang ia gandeng saat ini. Mereka akhirnya berhenti di depan kamar mandi. Gea menengok ke sekitar, setelah yakin tak ada siapa pun, dia melepaskan genggaman dan berbalik menghadap Alista. “Kenapa lo bilang kalau Randi udah punya anak?” “Ya karena emang kenyataannya. Kemarin sore dia lagi marahin anak kecil yang kira-kira umurnya lima tahunan. Emang kenapa, sih, kalau gue bilang begitu? Gue, kan, bilang fakta.” Jelas Alista yang masih belum mengerti. “Anak kecilnya perempuan, kan? Rambutnya dikepang satu terus warna bila matanya cokelat, kan? Rambutnya diponi juga, kan?” tanya Gea memastikan. Alista mengangguk pelan, “Kok Lo bisa tau?” ia mendadak ternganga dan membekap mulutnya sendiri. Alista menatap Gea dengan takut. Kakinya mundur tiga langkah. “apa jangan-jangan lo istrinya dia?” Gea mendesis. Ia sungguh tidak tahu dengan pola pikir Alista. “Gue masih single, Al! Masih remaja. Randi juga sama seperti gue dan kita-kita. Dia, tuh, enggak punya anak sama sekali. Anak kecil yang Lo lihat kemarin sore itu Adiknya. Gue sama Randi udah temenan lama, jadi gue tau jelas gimana ciri fisik Adiknya dia. Kalau lo masih enggak percaya, gue antar lo ke rumah Randi pulang nanti buat lihat buktinya,” Kedua mata Alista terbelalak. Ia menggeleng pelan, “Enggak-enggak. Gak mungkin. Gak mungkin, Gab.” “Enggak mungkin bagaimana? Udah, mending Lo enggak usah berbuat macam-macam lagi, oke? Sebelum mau kasih informasi, cari tau dulu kebenarannya, Al.” “Pantas mereka ketawa,” Alista mengacak rambutnya. Ia begitu bodoh sekali. Sekarang bagaimana caranya menghadapi mereka? Rasanya ia ingin operasi plastik dan mengubah identitasnya saja. “terus gimana, Gab? Gue malu menghadapi Mereka,” ** “Rokok, Bro?” tawar Altair, menyodorkan benda yang barusan ia sebut, namun Arsen langsung menampiknya. “Ini anak murung mulu dari tadi. Senyum dong biar ciwi-ciwi yang lewat senang liatnya,” lanjut Altair. Satu batang rokok yang ia pegang justru diambil oleh Damian. “ini lagi, main ngambil aja. Izin dulu kek,” Diam. Tidak ada yang menyahut perkataan Altair malang. Altair mengusap d**a, berusaha bersabar dengan tingkah kedua temannya. “Woy! Kalian masih hidup, kan? Jawab perkataan gue dong. Apa suara gue terlalu kecil tadi?” tanya Altair, menatap Arsen dan Damian secara bergantian. “Lo kayak enggak tau aja rasanya diputusin,” Damian angkat bicara setelah sedari tadi diam bagaikan orang bisu. “Aurel mutusin Lo, Bro?” Altair tertawa hambar. “rasain. Udah gue bilang, kalau punya pacar, tuh, jangan pamer di medsos. Udah tau mereka yang penggemar lo, enggak rela liatnya. Masih aja tetap nekat,” ujarnya. Damian tidak membalas dan malah memalingkan muka. Sedangkan Altair mengambil kulit kacang, lantas melemparkannya pada Arsen. “lu ada masalah apa? Cerita ke kita berdua. Lo masih menganggap kita sahabat, kan?” “Gue enggak akan bisa tenang sebelum Alista ditemukan,” gumam Arsen, tapi masih terdengar jelas. “Suka lo sama dia? Sejak dia menghilang dua hari lalu, lo jarang mau kumpul-kumpul sama kita dan murung terus. Udah gue duga, Lo emang suka sama dia, Ar.” Tatapan Arsen kini berpindah pada Altair. “Enggak,” “Jangan menyangkal. Suka sama adik tiri itu wajar, kecuali suka sama adik kandung, itu yang enggak wajar. ” Jawab Altair. Kali ini Damian ikut menatap temannya itu dengan terkejut. “Maksud Lo?” “Alista itu adik tirinya dia, Dam.” “What? Enggak salah informasi, kan, lo? Dari mana Lo tau akan hal itu?” tanya Damian masih saja tidak percaya. Altair mengesah, “Gue tau dari Ibu gue yang kebetulan temenan sama Tante Bianca. Udah, jangan nyembunyiin apapun lagi ke kita-kita, Ar. Masih bimbang juga lo? Ini akibatnya lo enggak konsultasi ke gue. Lo juga kelamaan nyatain perasaan ke dia. Giliran dia udah pergi, Lo kelihatan enggak rela,” “Enggak semudah itu, Al.” respons Arsen. Mengatakan saja mudah, tapi ia yang melakukannya, tidak. Terlebih lagi jantungnya berdetak cepat membuat dia kewalahan mengontrol dirinya sendiri terutama rasa gugup. “Semua akan mudah. Gue sama Damian bersedia membantu Lo. Iya, enggak, Dam?” “Pasti,” “Noh, dengar perkataan kita, kan?” Altair berpindah duduk di samping Arsen. Ia menepuk pundak tegap temannya itu. “lain kali kalau ada masalah, jangan dipendam sendiri dan bertingkah seolah Lo enggak punya siapa-siapa,” ** “Kok bisa-bisanya, ya, dia bilang Randi itu udah punya anak,” “Gila kali dia,” “Miris. Cantik-cantik, kok, enggak waras.” “Gue kira dia smart, loh, Guys. Ternyata tingkahnya begitu. Ih, jadi ilfeel gue.” “Wajah enggak menjamin perilaku,” “Otw coret dari list idola di sekolah ini,” “Gue jijik, deh, sama perempuan yang asal ceplos begitu.” “Mungkin di sekolah yang lama, dia berbuat yang lebih oarah daripada ini,” “Amit-amit dah. Ogah gue temenan sama dia,” “Itu si Gea ngapain dari tadi ngikutin dia? Kayak enggak ada yang lain aja buat dijadiin teman,” Alista berlagak tidak mendengar perkataan Mereka. Sedangkan di dalam hati, tidak berhentinya dia merutuk dirinya sendiri. Ia berhenti. Gea yang ada di sebelahnya pun ikut berhenti. Alista kemudian menengok ke arah Gea. “Lo bisa gabung sama mereka-mereka, kok. Gue ditinggal sendiri juga enggak pa-pa,” katanya lirih. Ia kasihan juga pada Gea yang ikut diejek karena dirinya. “Enggak dong. Gue tetap di sini. Ayo terus jalan. Gue takut lo terpuruk karena kelamaan dengar perkataan pedas mereka,” balas Gea, berbisik juga. “Gimana? Udah tau sebenarnya, kan?” Alista menengok. Wajahnya kemudian mendongak melihat kehadiran Randi di depannya. “Maaf,” kata Alista. Ia ingin mengakhirinya sekarang juga dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengambil kesimpulan sembarang lagi. “Eits, enggak semudah itu dong.” Randi mengeluarkan ponsel, lantas mendekatkannya pada Alista. “ketik nomor telepon Lo di sini,” “Nomor telepon? Ih, eng—“ Belum sempat menyelesaikan, Gea malah merebut ponsel itu dan mengetik nomornya sendiri di sana. Lesung pipinya tampak. Senyumnya mengembang bersamaan dengan dirinya menyerahkan benda itu pada Randi. “Lihat chat gue di jam tujuh malam nanti. Jangan lupa. Sekarang biarin dia ke kelas.” Gea menggandeng lengan Alista, dan menuntun Gadis itu untuk pergi dari sana. “Gab, gu—“ “Lo enggak mau kasih nomor teleponnya, kan? Jadi diam aja, okay?” ** Alista keluar dari kamar mandi dengan handuk yang membalut tubuh dan rambutnya. Ia berhenti di depan sebuah kaca, melepaskan balutan handuk di kepalanya, kemudian berpindah mengusak rambutnya yang basah menggunakan handuk. Melihat ponsel yang menyala dan bergetar, Alista melirik. Nomor tidak dikenal tertera di sana. Gadis itu membersut. Tangannya terulur dan meraih ponsel miliknya, kemudian menempelkannya di telinga. “Siapa?” “Lagi apa?” “Gue bilang siapa. Kok malah tanya yang lain?” ketus Alista. “Santai dong. Jangan marah-marah,” “Iya, Lo siapa?” Alista menarik nafas, dan membuangnya perlahan. Ia harus sabar saja menghadapi Pria yang tidak ia kenal itu. “Kenapa Lo tadi menuduh Randi udah punya anak? Lo sebenarnya suka ke dia dan berhayal, makanya bilang begitu tadi di kantin, kan?” Alista tergemap. Jadi ini nomor salah satu murid di sekolah barunya? Namun dari mana orang itu tahu nomornya? Ah, menyebalkan sekali. Ia sudah sedikit lupa akan tingkahnya di kantin tadi, tetapi sekarang malah diingatkan lagi. “Enggak. Gue Cuma salah mengambil kesimpulan. Gue sama sekali enggak suka dia. Orang baru kenal,” “Oh, ya? Bagaimana Lo bisa salah mengambil kesimpulan?” Alista mulai menceritakan insiden kemarin sore. Lawan bicaranya di telepon itu setia mendengarkan. “Jangan mengira gue bohong. Lagian enggak ada gunanya juga gue berbohong,” “Mungkin Lo enggak suka Randi, tapi kayaknya Randi suka sama lo. Dari tadi dia grogi buat ngomong sama lo.” “Hah?” Alista mengerjap tidak mengerti. “maksud Lo? Eh, lo siapa? Kok bisa tau kalau Randi—“ Telepon dimatikan begitu saja. Alista mengesah kesal. Siapa yang meneleponnya tadi? Ia juga masih tidak tahu siapa yang menyebarkan nomornya, tapi yang pasti Alista tidak akan membiarkan penyebar nomornya itu lepas begitu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN