64

1116 Kata
Raut Gadis itu menjadi suram ketika Kakaknya pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun. Alhasil dia hanya bisa menunggu dengan jenuh sambil melihat orang-orang yang keluar masuk ke dalam rumah sakit. "Adik kamu udah sembuh?" "Kamu dari mana aja? Aku tunggu dari tadi malah datangnya sekarang," "Sorry, Beb. Ibu suruh aku buat beli s**u formula tadi," Untuk sesaat Alista terpaku usai mendengar suara orang yang bergema di telinganya tadi. Dia menengok ke belakang, seketika matanya terpusat pada dua orang yang tengah duduk di salah satu bangku taman dekat rumah sakit ini. Marsel dan Fani bertemu. Tentu hal itu tanpa persetujuannya. "Mar--" "Kita ke kafe sebentar, yuk. Di sana ada Papa. Aku mau ngenalin kamu ke Papa," hati Alista bagai terhujam melihat Fani menangkup lengan Marsel. Apa benar yang dikatakan Kiara bahwa mereka dekat? Namun, Alista masih berusaha berpikir positif. Bisa saja, kan, Mereka hanya teman dekat. Ya, dia berusaha untuk berpikiran seperti itu. Dirinya harus diam sebentar lagi untuk memastikannya. "Yakin mau ngenalin aku ke Papa kamu?" "Kenapa aku enggak yakin? Kita udah jadi pasangan beberapa bulan ini masa kamu enggak mau ngakuin kalau aku itu pacar kamu di depan orang tua aku? Jangan perbuat hal yang sama seperti kamu perbuat ke Alista. Aku enggak suka itu. Atau kita berakhir aja sampai di sini kalau kamu gak mau," Fani melepaskan rangkulannya pada lengan Marsel. Sementara lawan bicaranya itu mulai gelagapan mendengar perkataan Fani. "Bukan begitu, Sayang. Oke, kalau kamu mau aku nemuin Papa kamu, aku bersedia sekarang." Sesuatu menjalar kuat hingga menghujam ke hatinya. Tadi di laboratorium, dia dibuat terbang tinggi, tetapi melihat interaksi mereka sekarang, dirinya seakan dihempaskan kembali ke bawah. Alista menengok ke depan kembali sekaligus menunduk ketika Fani dan Marsel mulai berdiri. Alista memejamkan kuat matanya kala mendengar langkah kaki mereka melintas di dekatnya. Sudah dirasa menjauh, Alista mendongakkan kepalanya perlahan. Mereka ternyata sudah keluar dari taman ini. Kedua tangan Alista memegang tepi kursi roda, berusaha menjalankannya sendiri. Gadis itu mengikuti setiap langkah mereka dengan kedua mata berkaca-kaca. "Lo pasti kuat, Al. Jangan cengeng begini," katanya pada diri sendiri. Fani dan Marsel masuk ke dalam sebuah kafe di depan rumah sakit. Sementara Alista hanya bisa menyaksikan mereka berdua dari sebrang jalan. Walau begitu, dari sini dia bisa melihat interaksi mereka. Dia meremas kuat roknya sendiri, kesal dengan Marsel yang tampak berkenalan akrab dengan Ayah Fani. Perasaan itu mencabik-cabik hati terdalamnya. Marsel berbohong. Sekarang ia sadar kalau perkataan Bagas ada benarnya. Alista juga merutuk dirinya karena telah berharap lebih pada Marsel, sedangkan dia sendiri tahu kalau Marsel di masa lalu sangat membencinya. Alista tertawa miris, menertawakan dirinya sendiri. Saat itu juga orang-orang yang melintas mengira kalau Alista adalah orang tidak waras yang melarikan diri. "Lo bodoh, Al. Bodoh. Harusnya Lo enggak percaya dia," Alista lantas mengusap kasar air mata di wajahnya. Ia menggerakkan kursi roda itu, menjalankannya untuk kembali ke taman rumah sakit. Belum sampai di taman, Arsen sudah terlebih dahulu datang menghampirinya. Sebisa mungkin Alista menarik sudut bibirnya. "Gue cari ke mana-mana, taunya Lo di sini. Ada seseorang yang Lo temuin tadi?" Arsen memandang sekitar. Ia lega wajah yang ia lihat terasa asing semua. Tinjauannya terpusat kembali pada Alista. Tangan satunya menyerahkan Boba yang barusan ia beli. "mumpung gue baik, jadi gue beliin, tapi lain kali Lo harus ganti uangnya," Arsen mengacak puncak rambut Alista disertai senyum khas. Alista menatap sinis sekilas. Namun detik selanjutnya, ia menampik Boba di hadapannya. "Gue enggak mau," "Loh, kenapa? Minat Lo sama Boba udah hilang, kah? Bagus dong. Iya udah, buat gue aja," Ekspetasi Alista ternyata salah. Dia kira Sang Kakak akan membujuknya, tapi lihatlah perkataan barusan. "Dari dulu enggak berubah Lo, ya." "Iya dong. Gue, kan, awet muda." Alista nyaris saja ingin menggeplak wajah Arsen, namun ia tidak mau membuang tenaganya yang lemah saat ini. "Kita pulang sekarang," "Rumah Ibu atau kita?" "Ibu. Gue yakin sekarang keadaannya pasti membaik," "Lo habis nangis?" "Hah?" Alista terkesiap. Ia yakin air matanya sudah mengering. Tidak mungkin kentara. "Siapa yang Lo temuin tadi?" tanya Arsen. Kali ini dengan nada serius. "Siapa? Enggak ada siapa-siapa kok. Gue dari tadi sendiri di sini. Bisa pulang sekarang, Kak? Gue pengin makan nasakan Ibu sekarang. Mungkin hal itu bisa membuat kaki gue membaik," jelas Alista. Untung saja dia bisa mengendalikan rasa gugupnya. "Gue enggak akan maafin Lo kalau Lo bohong, Ta. Siapa yang datang tadi? Om Farhan?" "Kak, aku enggak ketemu siapa-siapa. Aku cuma mau lihat Ibu sekarang," **** Kehadiran seorang pria berjas rapih dan Evelyn yang tengah duduk di ruang tamu membuat Alista dan Arsen keheranan. Pasalnya ini baru pertama kali. Tidak mungkin juga rekan kerja atau klien di perusahaan Ibunya sebab Bianca pernah bilang kalau pertemuan semacam itu hanya dilangsungkan di kafe ataupun kantor. "Kalian sudah pulang? Cepat ganti baju setelah itu makan. Ibu sudah siapkan semuanya di dapur. Alista? Kamu kenapa?" Mereka berdua terkejut dengan perubahan sikap ibunya. Sekarang terlihat baik-baik saja seakan melupakan hari duka beberapa waktu lalu. "Kaki kamu kenapa, Al? Kok kamu pakai kursi roda?" Kali ini Evelyn yang angkat bicara. "Tadi cuma ada kecelakaan kecil," sahut Alista. "Kecelakaan bagaimana?" "Kecelakaan bagaimana?" Bianca dan Evelyn saling melemparkan pandangan secara bersamaan menyadari kekompakan suara mereka. Sementara Alista terkekeh kecil. "Kena paku, Ibu, Bunda," jawabnya memandang Evelyn dan Bianca secara bergantian. "Aku izin antar Alista ke kamar dulu," pamit Arsen, bersiap mendorong kursi roda kembali. "Hati-hati," "Dia anak Pak Lorenzo?" Kata Pria itu setelah Alista dan Arsen tidak terlihat lagi. "Tidak. Dia putra dari suamiku yang sebelumnya. Memang ada apa Bapak datang ke sini?" tanya Bianca sopan. "Saya ke sini untuk memberitahukan surat wasiat yang sudah ditulis oleh Pak Lorenzo enam bulan lalu," Bianca terenyuh mendengar kata 'Lorenzo'. Baru saja ia mencoba untuk ikhlas, namun seseorang mengungkitnya kembali dengan sesuatu yang tidak pernah ia duga sebelumnya."Surat wasiat?" "Iya. Di sini tertera kalau delapan puluh persen harta Beliau akan diwariskan kepada Anda dan dua puluh persen untuk Nyonya Evelyn," Mulut itu hampir saja menganga. Bianca segera membekapnua dengan tangan. Ia terkejut, tidak menyangka Lorenzo mewariskan sebanyak itu padanya padahal, kan, posisinya adalah wanita simpanan. "Tidak. Ini semua pasti salah, Pak. Coba anda cek lagi. Anda pasti salah melihat," Lain dengan Evelyn. Dia sama sekali tidak keberatan akan hal itu lantaran dia tahu seberapa besar rasa cinta suaminya itu pada Bianca. "Tidak. Saya sudah melihatnya dengan teliti. Pak Lorenzo sendiri yang bertanda tangan di kertas ini. Anda bisa melihatnya sekarang," kata sang pengacara, menyerahkan kertas itu pada Bianca. Bianca langsung menerimanya. Ia membaca setiap kata yang tersusun. Tidak. Dia tak pantas untuk menerima ini. "Tidak. Harusnya yang mendapat bagian paling besar adalah... istri sahnya," lirih Bianca di akhir kalimat. Evelyn tiba-tiba memegang pundak Bianca. Wanita itu terkejut. Ia sudah siap jika dirinya ditampar ataupun dijambak. Ya, karena Bianca merasa pantas mendapatkan semua itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN