65

1488 Kata
"Biarkan saja. Lorenzo menginginkan hal itu. Lebih baik terima dan simpan harta itu untuk membesarkan mereka berdua. Jangan pikirkan tentang aku. Aku mempunyai uang simpanan yang akan ku gunakan untuk masa depan kedua anakku," Kata-kata dan wajah Evelyn terbayang di benak Bianca. Wanita itu masih merasa tidak pantas untuk mendapat harta waris sebesar itu. Dirinya semakin merasa bersalah. Bertahun-tahun dia sudah mengkhianati, namun Evelyn tidak membuat drama saat pembagian harta waris Lorenzo. Malah dengan ikhlas merelakannya. "Ibu," Bianca menengok lantaran pundaknya dipegang oleh seseorang. "Alista? Kamu sudah bangun? Ibu akan ambilkan--" "Jangan. Aku mau bilang sesuatu sama Ibu," "Sesuatu apa? Keadaan kaki kamu bagaimana? Sudah tidak sakit, kan? Ibu akan memberi hukuman pada orang yang sudah meletakkan paku di sepatu kamu. Apa di sekitar tempat itu, terpasang CCTV?" cecar Bianca khawatir sekaligus penuh tekad. Alista terkekeh. "Jadi aku harus jawab yang mana dulu, Bu?" "Kamu mau bilang apa?" Alista menengok ke arah pintu. Melihat tidak ada seorang pun, Alista kembali menatap Bianca. "Marsel selingkuh," katanya sambil menundukkan kepala. "Apa?" "Aku enggak tau selama ini. Mungkin hubungan mereka udah terjalin lama, tapi aku... aku bodoh, Bu. Sampai-sampai aku enggak sadar akan hal itu," air mata menitik. Ketika itulah Alista mengusapnya dengan pelan. Bianca terkejut dengan perkataan Alista. Benar. Karma itu pasti berlaku, tapi Alista bukan orang yang Bianca ingin untuk menanggung hasil dari perbuatan jahatnya di masa lalu. Kedua mata wanita itu kini berkaca-kaca, terenyuh melihat wajah putrinya. "Enggak pa-pa. Semuanya akan baik-baik aja," Bianca bergeser untuk duduk lebih dekat. Ia menarik Alista ke dalam pelukan, mengusap-usap punggungnya untuk memberi kekuatan. "Kamu cantik. Di luar sana ada Pria lain yang lebih pantas bersama kamu. Jangan sedih. Ibu ada bersama kamu," kata Bianca, tangannya mengusap kepala Alista. "kalau hari ini kamu mau nangis, nangis di dekapan Ibu. Ibu minta maaf gara-gara Ibu, kamu menjadi seperti ini. Andaikan Ibu tidak bertemu Lorenzo, sudah pasti Marsel tidak akan berani berbuat seperti itu. Maafkan Ibu, ya," air mata Bianca ikut luruh. Suaranya gemetar. Sementara Alista menggelengkan pelan kepalanya dan perlahan melepaskan diri dari pelukan Bianca. "Ini bukan salah Ibu. Tapi salah aku. Seharusnya aku dengerin perkataan Kakak dari awal. Karisa juga udah memperingatkan aku," "Berhenti menyalahkan diri sendiri, oke?" Kedua tangan Bianca terulur, mengusap air mata Alista yang jatuh. "Ibu akan memperkenalkan kamu dengan laki-laki yang lebih baik daripada dia. Sekarang tidur. Kamu harus banyak istirahat agar kakimu cepat pulih," "Aku sudah tidur, Bu." "Tidur lagi di sini. Ibu akan menyanyikan lagu tidur untukmu. Sudah lama kamu tidak mendengarnya, kan?" **** Alista keluar dari kamar Bianca secara diam-diam pasalnya dia tidak mau menganggu Ibunya yang tengah tertidur nyenyak. "Kenapa Lo enggak bilang dari awal?" Alista langsung menengok ke sampingnya, tempat yang menjadi tersangka sumber suara barusan. "Bilang apa?" "Bilang kalau Marsel selingkuh dari Lo," "Enggak. Gue tau Kakak pasti bakal marah,"Gadis itu meninjau kembali ke depan dan bersiap menjalankan kursi rodanya. "Lo enggak mau ikut gue?" Alista terhenti. "Ke mana?" "Rahasia," Kening Alista mengernyit dalam. "Rahasia?" "Iya. Biar terkesan tambah surprise lagi, gue akan tutup mata Lo pakai kain hitam dan enggak boleh dibuka sebelum sampai di sana," "Lo enggak bawa gue ke rumah hantu kayak tahun lalu, kan?" "Enggak, Ta." "Beneran?" "Iya," "Sumpah demi apa?" "Demi cinta kita," "Ish. Yang serius!" gertak Alista. Ada sesuatu yang menggelayar di perutnya ketika mendengar perkataan Arsen begitu. "Itu serius," detik berikutnya Cowok itu terkekeh karena takut mendapat pukulan dari Alista. "itu bukan tempat seram. Tenang aja," "Awas aja. Kalau Lo bohong, wajib cuci baju gue," "Iya, bawel." Arsen berpindah posisi, kedua tangannya mulai menjalankan kursi roda itu. Di luar sana ternyata sudah ada taksi yang menunggu. Alista penasaran setengah mati ke mana Arsen akan membawanya. Yang harap, jangan rumah hantu ataupun bioskop. Dia punya pengalaman tidak menyenangkan di kedua tempat itu. **** "Kita udah sampai. Gimana? Lo suka?" Arsen mencondongkan badan di belakang Alista, membuat nafas hangatnya menerpa leher Gadis itu. "Lepasin kain ini dulu. Kakak gimana, sih?" jawab Alista sebal. "Eh, iya," Arsen memegang ikatan di kain itu. Dia akan hendak melepas, namun satu ide yang terlintas membuat dia mengurungkan niat. "ada syaratnya," "Apa?" "Bilang yang sopan. Contohnya, bukain kain ini dong Arsen ganteng." Alista seketika berdesis jijik. "Apaan. Enggak mau ah. Aneh-aneh aja Lo, Kak." "Aneh? jadi Lo enggak mengakui kegantengan gue?" Arsen berdecak. "mungkin mata batin Lo harus terbuka biar bisa liat betapa gantengnya wajah gue," Alista menghela nafas dalam. Sabar. Dia harus bersabar menghadapi tingkah aneh Kakaknya. "Cepat bukain kain ini, Kak Arsen yang paling ganteng." Kedua mata Arsen terpusat pada sebuah bunga lavender di sebelahnya. Ia tertarik untuk memetik salah satunya. "Kak? Kok diam?" kata Alista panik. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi di belakangnya. Bisa saja, kan, kejadian buruk menimpa Kakaknya itu. "Apa? enggak sabaran amat," "Gue dari tadi udah sabar banget, loh, Kak." "Iya," setelah berhasil memetik bunga lavender, tangan kiri Arsen membuka kain yang terikat pada kepala Alista. Pandangannya untuk sesaat mengabur, namun detik berikutnya semua berubah normal seperti biasa. Alista memandangi di sekitarnya. Tempat ini terasa tidak asing. Dia dan Marsel pernah ke sini. Beberapa Minggu lalu. Alista tambah terkejut melihat Arsen tiba-tiba berjongkok di hadapannya sambil menyodorkan bunga lavender. Apa ini? Alista menengguk salivanya susah payah. Detak jantungnya mendadak jadi cepat seperti ini. Sungguh aneh. "Ka--kakak mau apa?" tanyanya gugup. Pikirannya sudah melalang buana terlalu jauh. "Apa Lo suka?" "Suka? Suka siapa?" Alista menanya balik. Ia meremas roknya sendiri sebagai pelampiasan. Untuk sejenak, Arsen terpana dengan pahatan Tuhan di wajah Alista yang indah. "Gue," Lawan bicaranya di depannya ini tiba-tiba tertawa. Arsen ingin lihat sejauh mana adiknya bereaksi. "Enggak lucu Lo, Kak!" bersamaan dengan itu, Alista menggeplak lengan Arsen. Arsen ikut tertawa kecil. "Enggak lucu kenapa ketawa?" "Terus kalau itu cuma candaan doang, apa yang Lo maksud?" tanya Alista mulai serius. "Bunga ini," Alista langsung mengambil bunga itu dari genggaman Arsen. Ia menatap sejenak. "Bunga lavender emang enggak ada lawan," "Masa? kalau kegantengan gue ada lawan enggak?" "Ada," "Siapa?" "Mar--" ucapan Alista terjeda kala jari telunjuk Arsen menempel di bibirnya. Barulah dia tersadar nama yang hampir saja dia sebut. "Jangan rusak momen ini," Arsen menjauhkan jarinya. Dia membalikkan badan, lalu berjongkok. "Naik," ucapnya sambil menepuk punggung. "Susah," "Tenang aja. Ada gue yang menopang kalau Lo jatuh. Coba berdiri pelan-pelan sambil pegangan," intruksi Arsen. Alista mengangguk bersamaan tubuhnya yang mulai berdiri. Dia meringis perih merasakan nyeri di kakinya. Sebelum keseimbangan tubuhnya terganggu, dia sudah lebih dulu jatuh dan menimpa punggung Arsen. Cowok itu perlahan berdiri dan menggendong Alista di punggungnya. Mereka mulai menelusuri jalan yang di tepinya penuh pohon-pohon hijau. "Badan gue enggak berat, kan?" Alista menilik wajah Arsen. "Enggak. Badan Lo enteng sama kayak dulu. Lo inget waktu kita umur sepuluh tahun?" Alista mengingat-ingat kembali. "Oh, yang waktu Kakak sama gue bolos sekolah terus main ke sini buat menghindar dari Tera, penggemar Kakak itu?" "Iya. Kita sempat ke rumah pohon terus di batang pohon itu gue tulis inisial nama kita berdua," Jujur, Alista tidak akan ingat akan hal itu. "Di mana?" "Lo enggak ingat?" "Enggak. Udah lama," "Padahal Lo sama gue sepakat buat liat batang pohon itu saat kita udah punya pasangan masing-masing," "Itu, kan, omongan kita waktu masih bocil. Kamu anggap serius?" Alista tertawa hambar. Mengingat itu saja dia geli sendiri. "Dan sekarang kita udah datang berpasangan," "Hah?" "Gue semalam mimpi Lo berjalan di altar. Wajah Lo cantik. Semua orang hadir di sana. Ibu, Tante Nela sama teman-teman kita juga. Dan gue lihat diri gue sendiri di dekat pendeta melihat Lo lagi dituntun Om Farhan dan jalan ke arah gue," "Tapi itu cuma mimpi," "Kalau itu jadi kenyataan?" balas Arsen membuat Alista kehabisan kata-kata. ******* "Kenapa Ibu biarin dia ambil bagian besar harta warisnya?!" "Tenang. Itu sudah menjadi keputusan ayah kamu," "Keputusan apa? Ayah pasti didesak wanita ular itu, Bu! Dia dihasut. Ibu kenapa masih percaya sama orang itu? Dan bahkan rela begitu aja saat mendengar keputusan itu. Apa Ibu diancam dia?" tanya Marsel menggebu-gebu. Mengetahui pembagian harta waris seperti itu, emosinya tersulut. Kepalan tangannya menguat. "Tidak. Ibu sudah merelakannya. Biarlah dia yang mendapat bagian paling besar. Kita bisa meminta tolong pada Nenekmu jika suatu saat terjadi masalah," "Ibu bisa terima, tapi aku enggak akan biarin begitu aja." Marsel berdiri setelah mengambil kunci motor di meja. Untuk kedua kalinya, dia beranjak pergi ke luar rumah. "Marsel! mau ke mana kamu, Nak? Berhenti!" panggil Evelyn. Bayi yang ada di gendongannya seketika terbangun. Suara tangisannya langsung menggema di seluruh sudut rumah. Evelyn terduduk kembali, tidak jadi menghampiri putranya. Di depan rumah, Marsel memakai helm. Ia menjalankan motor keluar dari rumah itu secepat mungkin. Kedua mata elang itu basah sekaligus memerah. Benci. Apalagi saat wajah selingkuhan Ayahnya terlintas. Kendaraan itu berhenti di depan sebuah gerbang. Setelah melepaskan helm, Marsel memanjat gerbang tersebut. Dia lantas melangkah menuju pintu yang kini tertutup. Jari telunjuknya menekan tombol bel dengan memburu. Sampai seorang wanita keluar dengan raut bingung. "Marsel--" perkataan Bianca terhenti sekaligus tertoleh ke samping kala sebuah tamparan melayang di pipi. "Lo bilang apa aja ke Ayah gue, hah?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN