63

1008 Kata
Sungguh, rasanya menyakitkan sekali. Aku bingung mengapa paku bisa ada di dalam sepatuku. Sebelum ke Laboratorium, aku sudah memastikan tidak ada seorang pun. Ini benar-benar aneh. “Gue enggak tau. Tiba-tiba aja ada paku di dalam sini,” parauku dengan suara nyaris hilang. Aku tidak bisa lagi menahan rasa perih ini. Kakakku tidak menjawab. Tubuhnya justru berjongkok. Spontan aku memegang pundaknya untuk menopang tubuhku yang hampir saja jatuh. “Jangan dicabut!” peringatku ketika Kakak memegang paku yang menancap di kaki kiriku. “Infeksi, Ta.” “Biarin. Sakit kaki gue. Lo enggak akan pernah tau rasanya,” aku lihat Kakakku berdecak pelan, meski begitu aku tetap bisa mendengarnya. “Pegang pundak gue,” Aku langsung melingkarkan tangan ke pundak Kakakku dan merangkulnya. Kedua mataku terbelalak lebar merasakan tubuhku tiba-tiba diangkat olehnya. Oke, sekarang aku berusaha untuk menenangkan detak jantungku yang menggila. “Kita mau ke mana sekarang?” “Pulang.” “Pulang? Tapi kan ini masih jam pelajaran. Kalau Ibu tau hal ini gimana? Turunin aku sekarang, Kak.” Mataku tidak lepas memperhatikan sekitar. Memang, sih, sepi dan tidak ada murid yang lewat, tetapi aku tetap takut. Bisa saja, kan, mereka mengintip dari kaca jendela. “Kaki Lo udah berdarah gitu. Mending enggak usah mengelak. Semuanya bakal normal lagi kalau Lo ke rumah sakit,” “Kenapa enggak di UKS?” "Arsen? Alista? Kalian enggak masuk kelas?" Aku menengok ke depan dan benar saja ada Nandin tengah berdiri di sana. Tidak berjarak jauh. Aku menatap panik ke arahnya. Aku berharap Nandin tidak menceritakan apa yang dia lihat sekarang. "Ya ampun, kaki kamu kenapa, Al?" tanyanya dengan nada bicara panik. Ia juga terlihat ngilu melihat kakiku. Entahlah aku tidak tahu seberapa banyak darah yang keluar. Yang aku rasakan sekarang adalah rasa pegal. "Kena paku," jawab Kak Arsen. "Hah? Kok bisa? Aku bantu bawa dia ke rumah sakit, ya," "Enggak usah, Nan. Lo izinin aja ke guru buat kami berdua. Gue titip tas. Tas Alista juga. Jangan lupa masukin ke jok motor gue," "Iya. Aku pergi dulu. Al, semoga cepat sembuh, ya." Setelah Nandin pergi, Kak Arsen kembali melanjutkan langkahnya. Aku heran sedari tadi tatapan Arsen terlihat berbeda dari biasanya. Lebih terkesan dingin. "Kak," "Bagus." "Hah?" apa maksudnya? Bagus? Padahal aku memanggil namanya tadi. "Gue suka sikap tegas Lo sama Marsel. Mata hati lo akhirnya terbuka. Jangan pernah temuin dia mulai hari ini," Aku ternganga. Jadi sedari tadi Kakak menyaksikan? Dia pintar bersembunyi sampai-sampai aku tidak bisa menyadarinya. "Apa Kakak liat siapa yang naruh paku ke sepatu aku? Kakak bisa lihat mukanya, kan, walaupun cuma sebentar?" "Enggak. Yang gue lihat cuma rambutnya. Sekarang jangan bahas itu. Muka Lo udah pucat. Darah lo pasti udah keluar makin banyak. Diam dan tunggu sampai sembuh, oke?" "Tumben bijak." "Berarti selama ini gue enggak bijak?" "Enggak. Ulangan aja masih nyontek. Apa itu termasuk bijak?!"dia berhenti berjalan. Aku siap-siap saja untuk dimarahi. Tapi dia melayangkan tatapan menyeramkan. Seperti ingin memakan aku saja. Aku buru-buru memalingkan pandangan. "Kak, sebentar lagi istirahat. Buruan jalan," desakku mencoba mengalihkan perhatian. Benar saja. Ternyata berhasil. Dia langsung berjalan kembali. Sambil berdiri di tepi jalan, kami berdua menunggu taksi yang datang. Aku menatap gusar ke jalan raya, takut sebelum taksi datang, bel istirahat lebih dulu berbunyi, tetapi ketakutan ku itu sepertinya tidak berguna. Kendaraan itu baru saja datang. Aku masuk ke dalam sana dengan bantuan Kakak. Sekitar lima menit perjalanan, akhirnya aku sampai di depan rumah sakit. Aku sudah berusaha untuk tetap berjalan, tapi dia kembali menggendongku. Aku hanya menundukkan kepala ketika orang-orang di sekitarku memperhatikan. Setelah mengambil nomor antre dan menunggu lagi, aku akhirnya bisa masuk ke ruang Dokter. Rasa pencabutannya tidak sakit karena kakiku sudah disuntikkan anestesi terlebih dahulu. “Jangan dipaksakan untuk jalan dulu selama satu hari ini, ya, untuk mempercepat proses pemulihan.” Aku mengangguk sebagai tanggapan. Salah satu Suster di sana membawa kursi roda. Baru saja aku akan berusaha untuk menaikinya, Kakak sudah terlebih dahulu membantuku. Sikapnya pengertian sekali kali ini. Dengan kursi roda yang didorong Kakak, kami berdua meninggalkan rumah sakit itu. “Kak, kita mampir ke kedai Boba dulu sekarang, ya,” aku berusaha menengok ke belakang, namun yang ku dapati adalah tatapan tidak suka. “Enggak boleh. Lo harus langsung pulang. titik.” “Please, lah, Kak. Jangan gitu. Gue lapar,” “Lapar? Gue akan beliin makanan di dekat sini, tapi kita enggak boleh lama-lama di luar. Lo tau sendiri, kan, jam sekarang masih jam sekolah.” Jelasnya membuatku lemas seketika. "Kalian berdua bolos?! Oemji. Ngapain kalian ke rumah sakit? Pakai kursi roda lagi. Perasaan kemarin Lo sehat-sehat aja, deh, Al." Aku langsung melihat ke orang yang barusan berbicara panjang lebar itu. Sudah ku duga. Siapa lagi kalau bukan Rachel. Aku terkejut mengetahuinya ada di sini dengan mengenakan pakaian biasa. Berarti bukan Rachel yang meletakkan paku di sepatuku. Kalau begitu, lalu siapa? Baru saja akan angkat bicara, Kak Arsen sudah mendorong kursi rodaku terlebih dahulu. "Eh, eh. Kalian mau ke mana?! Jawab pertanyaan gue Woy! Ngapain Kalian bolos ke sini?" Rachel menghadang tepat di depanku. Aku merasa risih. "Bisa minggir?" tanya Arsen. Lagi-lagi aku mengurungkan niat untuk berbicara. "Gak bisa dong. Lo belum jawab pertanyaan gue," "Pertanyaan apa?" "Udah kali, Kak. Enggak usah diladeni." sergahku. Tentu bukan tanpa alasan. Kalian sendiri tahu, kan, bagaimana sikap Rachel kepadaku selama ini. "Apaan, sih, gue cuma mau tanya aja." sinis Rachel. Pandanganku tidak jeda menatap ke arahnya. "Apa, Sen? Ayo jawab dong. Kalian berdua pacaran? Terus kenapa bolosnya ke rumah sakit ini? Dan kenapa pacar Lo ini pakai kursi roda? Apanya yang sakit?" "Lo tau, Hel, kenapa sampai sekarang enggak ada Cowok yang mau dekat-dekat sama Lo? Karena lo terlalu bawel dan suka ngambil kesimpulan begitu aja. Minggir atau gue gak akan pernah balas chat Lo," kata Arsen. Aku tergemap mendengarnya. Berarti selama ini mereka berdua sering chatan. Aku tidak begitu kaget, sih, karena sudah tahu sifat Arsen memang seperti itu. "Jangan dong. Nanti gue gabut, gimana? Ya udah, deh, sana kalian pergi." Rachel akhirnya mempersilahkan. Kursi rodaku didorong, bergerak melewatinya. "Gue tinggal di sini sebentar." "Loh, kenapa?" tanyaku sambil mendongak, memandang wajahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN