75

1463 Kata
Nela menarik pintunya, lalu masuk ke dalam. Ia menilik ke dalam, ternyata putrinya sedang sibuk belajar. “Sudah malam. Berhenti belajarnya, Sayang. Waktunya tidur.” “Ada tugas, Bu.” Ujar Sesil, tidak mengalihkan pandangannya pada buku. Nela menghela nafas pelan. Ia menggeser buku itu ke dekatnya dan mengambil alih pulpen yang digenggam Sesil. “Berhenti. Sudah lima jam kamu belajar. Apa tidak lelah?” “Tidak,” “Sesil...” “Ibu ada apa ke sini?” Bukan menjawab, Nela berjalan mendekati ranjang dan duduk di sana. “Ayo ke sini. Ibu mau berbicara sesuatu denganmu,” ia menepuk tempat di sebelahnya. Sesil hanya bisa menurut. Gadis itu mendarat duduk di samping Sang Ibu. “Jawab dengan jujur. Mereka masih mengganggumu di sekolah, kan?” tanya Nela. Sesil menunduk, kemudian menggeleng pelan. “Enggak,” Tangan Nela terulur memegang kedua pipi Sesil. “Jangan berbohong. Ibu tau jelas kalau kamu itu berbohong. Cerita semuanya ke Ibu, Nak. Kalau tidak nyaman sekolah di sana, besok Senin Ibu akan memindahkanmu ke sekolah lain.” “Sekolah lain?” “Iya. Sekolah lain. Kamu menyukai Arsen, kan? Kamu bisa pindah ke sekolahnya dan memanfaatkan itu untuk mendekatinya,” Sesil terkesiap, “Bagaimana Ibu tau kalau aku...” “Kemarin malam Ibu lihat kamu sedang memandangi fotonya. Ibu bisa tau perasaanmu hanya lewat tatapanmu. Kamu tau? Ibu sudah hafal akan hal semacam itu,” kata Nela. Sesil semakin malu, namun tidak bohong, ia memang menyukai Arsen sejak insiden penyelamatan waktu itu. “Ibu akan membantu mengurus semua data untuk kepindahanmu. Yang harus kamu lakukan adalah bersiap dan jangan sampai ada pembully lagi di sekolah kamu yang baru, oke?” Sesil mengangguk. “Jangan lupa minum s**u sebelum tidur. Ibu akan berbicara dulu pada Ayahmu,” Langsung dibalas anggukan lagi. Ibunya memang terbaik. Apa pun yang ia inginkan pasti diketahui walaupun ia tidak mengucapkannya. ** Reynal melemparkan benda pipih itu ke arah Adiknya. Beruntung Randi bisa menangkap. Kalau tidak mungkin kepalanya sudah menjadi korban. “Ngomong sendiri sana. Masa iya Lo yang mau PDKT, gue yang ngomong. Mau gue tikung?” “Gue balas tikung lagi,” ujarnya, Randi kemudian mengetik pesan untuk Alista. Reynal berdiri dari duduknya. "Gue mau ke minimarket. Mau nitip apa lo? Jangan sampai bilang pas gue udah pulang," Randi melirik sejenak, "Ramen lima. Nanti malam yang lain mau ke sini," katanya, lantas menatap ponsel kembali. "Mana duitnya?" tagih Reynal, mengadahkan tangan. Randi meraih bantal, lalu melemparkannya tepat di telapak tangan kembarannya itu. "Pakai duit Lo dulu. Ntar gue ganti," "Awas aja lo kalau cuma ngomong doang," Reynal berbalik dan melenggang pergi keluar dari sana. Derap langkah mengisi rumah yang biasa sunyi itu sebab di sini hanya Mereka berdua lah penghuninya, sementara Kedua orang tua Mereka sudah berisitirahat tenang selamanya. Reynal sesekali tersenyum membalas sapaan para ibu komplek maupun anak sekolahan. Tiba-tiba satu Gadis menyita perhatiannya. Kedua mata Reynal menyipit untuk mempertajam penglihatan. Gadis itu adalah Alista. Perempuan yang disukai Adiknya. Tidak munafik, Wanita itu memang terlihat cantik. Lebih cantik daripada di foto yang ditunjukkan Adiknya. Reynal berusaha untuk acuh. Ia akan berjalan biasa saja, tetapi urung menyadari Alista menghampirinya. Reynal menengok ke belakang untuk memastikan. Ada seorang Ibu-ibu di belakangnya. Ia berusaha berpositif thinking. Mungkin bukan dirinya orang yang akan dihampiri Alista. "Dari mana Lo dapat nomor telepon gue?!" Reynal menengok ke sekitar. Ibu-ibu itu sudah tidak ada. Ia lantas menunjuk dirinya sendiri. "Ngomong sama saya?" "Jangan sok formal dan enggak tau. Jelas-jelas Lo tadi telepon gue. Sekarang bilang, darimana Lo dapat nomor gue?" jawab Alista terkesan mencecar. Bukan tanpa alasan, ia geram dengan pesan rayuan Randi yang dikirimkan padanya. "Saya bukan Randi," Reynal akan pergi setelah mengatakan itu, tapi lengannya malah dicegat. Laki-laki tersebut langsung menarik lengannya dari genggaman Alista. "Jangan ngeles." "Saya tidak ngeles. Saya Reynal, saudara kembarnya dia. Kalau enggak percaya, Kamu bisa ke rumah saya. Akan saya tunjukkan bukti di sana," Alista menatap Laki-laki di depannya ini sejenak. Dari cara berbicara, gaya rambut, dan cara berpakaiannya memang berbeda dengan Randi yang ia temui sebelumnya, namun jika wajah, indentik sekali. "Mana buktinya?" "Sudah saya bilang. Ikut ke rumah saya untuk melihat buktinya," "Enggak mau. Gue percaya lo, deh. Maaf, tadi gue salah orang. Habisnya kalian kelewat mirip. Permisi," Alista membungkuk sopan bersamaan dengan dirinya melewati Pria itu. Reynal menengok, memperhatikan punggung Alista yang kian menjauh. *** "Alista, antarkan ini ke rumah Randi, ya," Alista terperanjat dari duduknya. Ia meletakkan pulpen yang sudah ia genggam selama puluhan menit. "Aku sendiri, Bi? Kak Yura enggak ikut?" "Dia ikut kok. Jangan lupa kasih ini juga, ya, sebagai ganti rugi kejadian tempo hari," Vania menyerahkan wadah berisi brownies disusul dengan dua lembar uang berwarna merah. Alista menerimanya. "Iya. Aku permisi dulu, Bi." "Hati-hati." Alista beranjak keluar dari rumah itu. Di depan sana, ternyata Yura tengah duduk di motor. Sepertinya sudah sedari tadi menunggu. "Eh, udah semua, kan? enggak ada yang ketinggalan?" "Enggak ada," "Ya udah ayo," Yura turun dari motor. Alista menatap kebingungan, "Loh, enggak naik motor?" "Enggak, Al. Lagian jaraknya dekat dari sini," Alista hanya bisa menurut dan berjalan di sebelah Yura. Sepanjang jalan keduanya diam. Alista akan angkat bicara dan bertanya, tapi Yura terlihat serius sekali bergelut dengan ponsel. Ia jadi tidak tega menganggu. "Halo?" Bersamaan mengucapkan itu, Yura berhenti. Alista ikut berhenti dan menatapnya penasaran. "Iya, aku sekarang lagi di jalan. Mau nganterin pesanan orang. Sebentar lagi sampai kok," Hening. Namun tidak lama setelahnya, Yura bersuara kembali. "Sekarang? aku enggak bisa, Beb." Oke, Alista bisa mengambil kesimpulan kalau Yura sedang menelpon Kekasihnya. "Yah, gimana dong. Sebentar, aku tanya dulu ke dia," Yura mematikan telepon. Pandangannya berpindah pada Alista. "kamu bisa ke rumah Randi sendiri, kan? Dekat kok. Tinggal lurus aja ikuti jalan itu terus belok ke kanan. Lewati dua rumah, baru deh sampai. Yang dindingnya warna biru. Bisa tanya ke yang lain kalau kamu enggak paham. Aku tinggal sekarang, ya, Al. Bye," jelasnya panjang lebar. Untuk sesaat, Alista diam, berusaha mencerna perkataan Yura. "Iya," Alista menengok ke belakang. Ternyata Yura sudah berjalan jauh darinya. Alista lanjut melangkah. Ia memandangi sekitar. Ada rasa waspada juga karena jalanan ini sepi dan samar-samar ia bisa mendengar tawa laki-laki serta cahaya di sini remang-remang. Angin berhembus kencang membuat bulu kuduknya berdiri. Ia semakin mempercepat jalannya. Sampai di rumah Randi, Alista mengatur nafas sebentar sebab dirinya berjalan terlalu cepat tadi. "Gue harus tenang. Enggak boleh marah-marah," monolog Alista. Setelah yakin, ia menarik langkah dan berdiri tepat di depan pintu yang sedikit terbuka sehingga dia bisa melihat banyak laki-laki di sana. Tangan Alista yang mengepal itu, mengetuk pintu. "permisi," "Siapa tuh?" "Dari suaranya, sih, kayaknya Cewek cantik." "Biar gue yang buka, Ran." "Ye, Lo mah ujung-ujungnya goda dia," "Paling pesanan gue datang. Kalian di sini aja. Gue yang buka," Randi meletakkan rokok, kemudian berdiri. Baru saja ia akan berbalik, ternyata Reynal sudah membuka pintu itu lebih dulu. "Mau apa kamu ke sini?" kedua mata elang Reynal menatap Alista dengan datar. "Ini," Alista memberikan kotak dus berukuran lumayan besar itu. Reynal tidak menerima. "Untuk permintaan maaf? Adik saya sendiri sudah memaafkan kamu," "Enggak, bukan. Ini dari Ibu. Katanya Randi pesan ini," Barulah tangan Reynal terulur menerimanya. "Terimakasih. Sebentar, jangan pulang dulu." Reynal membalikkan badan. Merasa diperhatikan, Alista berpindah posisi karena merasa risih. Gadis itu berjongkok dan memainkan tanah menggunakan ranting pohon yang ia ambil. "Maaf menunggu lama," Alista menoleh ke samping. Ia perlahan berdiri dan menepuk tangannya yang berdebu. "Sebentar kok," "Kamu mau pulang, kan? Ayo akan saya antarkan. Berjalan sendirian malam-malam begini bahaya karena ada orang mabuk yang kadang berkeliaran." "Serius?" Reynal mengangguk, "Oleh sebab itu tidak ada perempuan yang berani keluar. Tadi kamu berjalan sendiri?" "Tadi gue sebenarnya ke sini sama saudara gue, tapi dia tiba-tiba pergi." "Kamu dan Yura saudara kandung?" "Enggak. Dia itu anak Bibi gue," Tanpa sadar, mereka sudah meninggalkan area rumah Randi. Pandangan Reynal tidak lepas dari wajah Alista yang membuatnya teringat akan seseorang terlebih lagi saat Perempuan itu tersenyum. "Untuk sementara, gue pindah ke sini. Lo tau enggak? Gue punya Kakak laki-laki. Seumuran sama Lo. Dia itu nyebelin banget. Kelakuannya bikin gue mual sendiri. Enggak ada hari tanpa ribut sama dia," cerita Alista mulai mengalir. Ia tidak tahu, dirinya nyaman ketika berada di dekat Reynal padahal baru kedua kali ini dia bertemu dengannya. "kalau Randi gimana? Apa dia pernah buat ulah yang bikin Lo kesal?" "Sering. Bahkan setiap Minggu, saya yang cuci pakaiannya dia. Yang beres-beres rumah juga saya," "Kenapa enggak pakai pembantu aja?" "Saya risih ketika ada perempuan di rumah. Selagi saya bisa ngelakuin itu semua sendiri, kenapa saya suruh orang lain." balas Reynal. Alista cengengesan, "Bener juga lo," "Itu rumah Bibi kamu, kan?" Alista menengok ke samping. Kenapa terasa cepat sekali? padahal ia mau lebih lama berbincang. "Eh, iya. Aku permisi," "Tunggu," "Hm?" "Sore nanti saya tunggu di warung depan sekolah kamu. Jangan lupa untuk datang ke sana,"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN