62

1253 Kata
"Ibu?" Alista dan Arsen kompak masuk ke dalam. Dia memperhatikan sekitar. Rumah yang dia pijak sekarang seolah tidak ada penghuni. Kosong. Tak nampak satu orang pun. Kedua orang itu saling berpandangan, kemudian beralih memandang ke depan kembali. "Serius tadi lo enggak liat Ibu di rumah itu?" Alista menengok ke sang kakak yang baru saja bersuara. "Enggak. Cuma Ibu sama Nenek Marsel aja yang di sana." Arsen melanjutkan langkahnya kembali ke kamar Bianca. Pintu ruangan itu tertutup. Tanpa membuang waktu lagi, Arsen membukanya. Seketika kedua mata tajam itu terbuka lebar. Kakinya mundur beberapa langkah menyadari ia telah menginjak salah satu barang yang berserakan di sana. "Ibu," panggil Alista pada wanita bergaun pengantin yang tengah menghadap jendela. Alista dengan ragu menghampiri, sedangkan Arsen mulai memunguti barang yang berceceran. "Ibu..." panggilnya sekali lagi. Dia mengusap kedua tangan saat merasakan embusan dari dinginnya AC di ruangan ini. Melihat kedua pundak Ibunya terbuka, dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasa dingin yang dirasakan Bianca. Alista melepas cardigan miliknya, langsung saja dia pakaian itu pada Wanita di dekatnya tersebut. Alista tergemap melihat Bianca langsung menoleh ke arahnya dengan riasan wajah yang luntur. "Pergi." "Apa? ibu aku mau ketemu. Aku tau Ibu sedih, tapi jangan pernah Ibu biarin diri sendiri larut di dalamnya. Ayo bangun, Bu. Pemakaman Pak Lorenzo sebentar lagi. itupun kalau Ibu mau menghadirinya," kata Alista panjang lebar. Bianca tetap tidak mau merespons. Dia justru berdiri, menghadap Alista yang juga memandangnya. Wanita itu memegang pundak Alista, lalu membalikkannya dengan kasar. "Saya butuh sendiri. Silakan pergi." tegasnya penuh penekanan. Alista hendak berkata lagi, namun urung ketika Bianca mendorong punggungnya kembali. Gadis itu seketika kehabisan kata-kata sekaligus nyali. Dia menggeleng pelan kala melihat Arsen akan menghampiri. "Ibu butuh waktu," bisik Alista saat melintas di samping Arsen. Selang beberapa detik setelah dirinya keluar, Alista mendengar suara notifikasi. Pandangannya sempat mengedar dan tertuju pada sakunya sendiri. Ternyata pesan dari Karisa. "Kaus kaki Marsel? Ya ampun, gimana gue bisa lupa." Alista memukul pelan kepalanya sendiri, merutuki kecerobohannya. Jari-jari Alista mengetik sesuatu dengan gusar. [Itu kaus kaki Arsen. Inisial 'M' itu nama kartun kesukaannya dia, Kar.] Send. Alista menghela nafas lega. "Kaus kaki gue yang mana? Coba gue liat." Alista tersentak. Jantungnya seperti ada yang menghujam. Hampir saja dia menjatuhkan ponselnya, namun Arsen sudah merebutnya lebih dulu. Sungguh, Alista tidak bisa mengontrol detak jantungnya saat ini. "Ikut gue," satu tangan Arsen beralih menggandeng lengan Alista, menuntun Adiknya pergi ke depan. Sementara Alista sudah ketar-ketir sendiri. "Aduh lepas!" Alista menghempaskan lengan Arsen yang masih menggenggamnya. "gue harus ke rumah Karisa sekarang. Mau kerja kelompok." tatapan tajam dari Arsen membuat Alista memalingkan muka ke arah pintu yang masih terbuka. "eh, taksi yang gue pesan udah datang! Gue pergi dulu, ya, Kak. Dadah!" katanya, melambaikan tangan kemudian ngibrit pergi begitu saja. Arsen menggelengkan kepala melihat kepergian Gadis itu. Namun di sisi lain, ada pekerjaan yang menunggunya. Mungkin dia harus memasak makanan kesukaan Ibunya. Terdengar konyol, tapi Arsen sudah belajar sedikit tentang dapur. Puluhan menit bergelut dengan dapur, Arsen melepaskan celemek yang terpasang di tubuhnya. Ia sesekali menengok ke pintu kamar Ibunya, namun belum juga tanda-tanda Sang Ibu akan keluar. Arsen hanya bisa diam membiarkan. "Pasti Ibu suka," Dia menghidangkan makanan itu di atas meja ruang makan. Tidak lupa, meninggalkan pesan di atas sobekan kertas. Arsen lanjut mengambil jaket yang sempat ia lepas. Cowok itu beranjak pergi dari sana. Kembali ke rumah sewaannya. **** "Fani itu siapa?" Marsel terkejut dengan pertanyaan Alista. Dari mana Gadis itu tahu tentang Fani? "Loh, justru aku yang tanya. Fani siapa, Yang? kenapa tanya dia ke aku?" Alista melipat tangan di depan d**a. "Kemarin dia datang ke bar. Dia ngaku pacar kamu. Yakin kamu enggak kenal?" Marsel menggeleng samar, namun Alista semakin menatap sinis dengan rasa curiga. "Hey, aku aja baru dengar nama itu. Sejak kapan kamu jadi curiga gini ke aku? Dengar, Al. Enggak mungkin juga, kan, aku mengkhianati kamu?" "Aku enggak bisa menjamin itu benar atau enggak. Siapa tau memang kamu ada sesuatu di belakang aku." Marsel mengacak rambutnya. Alista keras kepala. Sikap ini yang paling ia benci. "Kamu boleh kecewa atau marah sama aku sepuasnya, tapi jangan lama-lama, ya. Aku enggak mau kita berakhir gitu aja," Marsel menarik Alista yang tengah menunduk ke dalam dekapannya. Gadis itu diam, tidak mengelak sama sekali meski ada satu hal yang akan ia tanyakan. "Kemarin Bagas kirim video tentang kamu." kata Alista angkat suara. Pelukan Marsel mengendur sampai Cowok itu melepaskannya. "Bagas udah sadar? Dia kirim video apa ke kamu?" Marsel terperangah dengan perkataan Alista. Ia juga kesal karena baru . tahu kalau Bagas sudah sadar. "Apa benar kamu dekati aku demi balas dendam?" tanya Alista balik. Sepertinya dia tidak perlu memberitahu Marsel apa isi video itu. "Kata siapa, Yang?" Marsel menggelengkan kepala. "jangan pernah berpikiran seperti itu," "Ini bukan cuma dugaan doang. Aku sendiri udah liat buktinya lewat video Bagas. Dari awal, aku heran sama perubahan kamu yang tiba-tiba. Enggak ada celah lagi buat mengelak." "Hey, Sayang. Kamu kenapa, sih?" tanya Marsel, masih berlagak tidak tahu apa-apa. Dia menangkup kedua pipi Alista. Dengan tatapannya, ia berusaha meluluhkan lagi Gadis itu. "percaya sama aku, oke? Jangan mudah percaya perkataan orang lain termasuk Bagas. Bisa aja dia disuruh orang yang membenci aku buat berkata begitu ke kamu," Tangan Alista bergerak menyingkirkan kedua telapak Marsel yang menangkup pipinya. "Bagas itu Cowok baik. Aku kenal sifat dia seperti apa. Dan juga dia berasal dari keluarga yang punya. Enggak mungkin dia mau disuruh orang buat bilang kesaksian palsu." jawabnya menggebu-gebu. Marsel mengumpat dalam batin. Bagas sialan. Rencananya bisa berantakan nanti. "Terserah kamu mau percaya atau enggak. Kamu boleh sepuasnya marah ke aku, tapi ingat. Jangan berpikir buat mengakhiri hubungan kita, ya? Aku cinta kamu, Al. Dan soal perubahan, itu benar-benar perubahan nyata," Seorang wanita ternganga tidak percaya. Ternyata mereka belum putus sama sekali. Melihat Marsel memperlakukan Alista dengan manis, membuatnya jengkel sendiri. Iris cokelatnya tiba-tiba terpusat pada sepasang sepatu milik Alista. Secercah ide masuk ke dalam otak liciknya. Dia beranjak pergi dengan kaki berjinjit dan berhenti setelah beberapa langkah. Tangannya mengambil dua buah paku uang tergeletak begitu saja. Ia menengok ke sekitar, melihat tidak ada satu muridpun, sudut bibirnya menyunggingkan senyum puas. Perempuan itu menancapkan kedua paku tersebut ke sepasang sepatu Alista. Setelahnya langsung pergi tanpa rasa bersalah. Di dalam sana, Alista memalingkan muka untuk lepas dari pandangan Marsel. “Aku masih belum bisa percaya kamu lagi," Alista menjeda perkataannya. "aku pergi dulu. Kalau kelamaan, semuanya curiga nanti,” Perempuan itu memang izin dan meninggalkan kelas hanya untuk menemui Marsel, begitupun sebaliknya. Cowok itu hanya bisa mengangguk untuk menanggapi. Mereka berdua kompak keluar dari laboratorium tersebut. Bertingkah kembali layaknya orang yang tidak memiliki hubungan spesial. “Kalau ada apa-apa, jangan segan bilang ke aku.” Marsel pergi setelah mengatakan itu. Alista mulai memakai sepatu yang ia letakkan di dekat pintu. Memang, laboratorium adalah tempat yang tidak boleh menggunakan sepatu ketika masuk di dalamnya, namun hal itu tidak berlaku bagi Marsel. “Awwh!” Gadis itu meringis kecil merasakan sesuatu menusuk telapak kakinya. Perih. Dia berusaha menahan itu, tetapi rasanya makin menjadi. Alista melepaskan sepatu yang ia kenakan. Dirinya terkejut melihat paku menancap kakinya. Ada darah keluar dan merembes dari sana. Kedua mata Gadis itu kini berkaca-kaca. Tangannya memegang tembok untuk menopang tubuh. Alista berusaha untuk tidak menangis. Dia mengatur nafasnya, namun tetap saja. Air mata itu masih saja lolos. "Kenapa?" Arsen datang dengan raut santainya. Entah sejak kapan Cowok itu ada di sana. "Kaki gue tolong," jawabnya gemetar. "Ada apa?" "Paku." "Paku?" Arsen terheran-heran sendiri. Dia melihat ke sekitar Adiknya, tidak ada paku sama sekali. "Kaki gue kena paku!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN