19. Kedatangan Bagas

1025 Kata
Alista melengos pergi, meninggalkan Arsen yang masih saja terpaku dan ingin menjelaskan. Gadis itu menghentakkan kaki dengan bibir mengerucut. Dia menyambar kursi yang ada di samping sebuah pusat perbelanjaan. “Ini yang lo mau?” Bagas mendarat duduk di sebelah Alista, kemudian kedua tangannya menyodorkan dua buah boba. Alista menengok. Tepat di saat yang bersamaan, Bagas juga menengok alhasil iris mata Mereka bertemu. Alista bergegas memalingkan muka. “Enggak, Gas.” “Kenapa? Enggak enak mau menerima? Santai aja kali. Gue teman Lo.”Bagas menggeser duduk supaya lebih dekat dengan Alista.“tadi gue liat Lo berantem sama Arsen. Gue harap masalah kalian enggak besar.” “Bukan gitu. Gue...,” Alista menggantungkan kalimat. Bagas menilik wajah Gadis di sebelahnya ini. Penasaran dengan apa yang akan dikatakan. Namun, detik berikutnya Alista malah berdiri. “gue pergi dulu. Nyokap pasti udah nunggu di rumah. By the way, makasih atas tawaran Lo,” katanya, kemudian mengangkat sudut bibir. Senyum sederhana yang membuat Bagas terperangah. “Kayaknya Lo enggak tau,” langkah Alista berhenti usai mendengar perkataan Bagas. “Tante Bianca lagi di rumah Ibu dan sekarang gue ke sini buat mencari kalian atas perintahnya Tante Bianca,” lanjut Bagas dengan satu tarikan nafas. Alista menengok ke belakang, “Jadi Ibu gue sama Ibu lo...” “Udah berteman sejak lama,” sambung Bagas. Alista tertarik masuk ke dalam topik itu. Akhirnya dia duduk kembali di tempatnya tadi. “Tapi kok selama ini gue enggak pernah liat Ibu Lo? Ibu juga enggak pernah cerita,” “Hari ini gue pindah rumah ke daerah sekitar komplek tempat tinggal lo. Waktu gue kelas enam SD, Ibu pindah buat tinggal di rumah Ayah. Tapi karena Mereka pisah—“ “Ya ampun, sorry, maaf.” Alista memotong cepat. Ia memukul pelan mulutnya yang telah salah berbicara. Melihat Bagas menatapnya dengan tatapan sulit di artikan, Alista beralih merebut boba dari genggaman Cowok tersebut. “gue udah terima bobanya. Lo jangan sedih lagi,” kata Alista, langsung menyedot minuman itu. Bagas terkekeh kecil. Alista seketika menghentikan aktivitasnya dengan pengamatan heran. “Gue justru bahagia, Al. Karena Ibu gue lepas dari jeratan Cowok b******k itu. Setiap malam, Ayah gue pulang dalam keadaan mabuk dan bawa wanita yang asalnya entah dari mana. Ibu gue yang selalu berusaha buat menghentikan kebiasaan buruk dia, malah kena pukul. Gue selalu jadi saksi perlakuan buruk itu.” Alista terenyuh. Dia bergeser, dan memeluk Bagas serta menepuk punggung Laki-laki tersebut, berusaha membuatnya lebih tenang. “Jangan ingat itu lagi. Buang jauh-jauh hal yang membuat Lo sedih dan trauma atau apapun itu. Fokus sama kehidupan Lo yang sekarang aja dan bahagiain Ibu Lo di masa depan nanti.” “Al!” Arsen datang, dia memegang bahu Alista, lantas menarik Adiknya itu hingga dekapan Mereka terlepas. “pulang sekarang.” lanjutnya dengan tatapan tajam. Apalagi saat melihat Bagas. “Nanti. Gue lagi ngobrol sama dia.” Alista menahan sebisa mungkin untuk tidak menampakkan emosinya. Kan, kalau Bagas lihat dirinya marah-marah, image-nya bisa hancur nanti, lalu dia akan dijauhi dan ia tak mau sendiri. “Tadi Ibu telepon. Kita disuruh pulang sekarang.” “Kak, tapi Bagas—lepasin ish!” misuh Alista lirih. Arsen menggandeng lengannya, menuntun Adiknya pergi tanpa berniat pamit ke Bagas yang masih diam mematung karena merasakan sensasi aneh pada jantungnya. “Bagas!” panggil Alista, melambaikan tangan. “makasih bobanya, ya! Lo emang baik banget deh!” “Lebay. Segitu aja udah luluh.” “Lo ada masalah apa, sih, Kak?!” “Jadi Cewek itu harus jaga jarak sama Cowok. Lo enggak tau, kan, apa yang ada di pikiran Bagas. Bisa aja dia mengarang cerita itu biar dapat perhatian dari Lo." Arsen tetap berjalan. Ia tak lepaskan gandengannya walau sebentar. “Jangan berburuk sangka. Bagas itu Cowok baik. Buktinya tadi dia enggak membalas pelukan gue,” “Pokoknya Lo jangan peluk dia. Gue Cowok,Lis. Dan gue tau betul isi pikiran Cowok. Kalau Lo mau berteman sama dia, oke. Gue kasih persetujuan, tapi jangan bertingkah seolah Lo itu pacarnya dia.” jelas Arsen. Alista mendelik tidak terima. “Sama aja Kakak melarang aku buat dekat dan pacaran sama dia. Gue udah masuk SMA, loh, Kak.” “Lo... masih terlalu kecil buat pacaran,” kata Arsen terakhir kali sebelum ke depannya, dia diam—tak menggrubis Alista yang mengoceh tidak terima. “Kecil? Gue udah mau umur enam belas tahun, Kak! Sebentar lagi tujuh belas dan bikin KTP. Itu yang Kakak maksud masih kecil?” “Kak! Jawab dong!” “Kakak!” “Bisa berhenti enggak, sih?!” “Nyebelin ish!” Arsen barulah melepaskan gandengannya usai sampai di dekat motor Mereka. Arsen mengambil salah satu helm, dia memutar badan—menghadap Alista. “Pakai," Alista memalingkan muka dengan tangan bersidekap di d**a. Ia melirik bangku yang ada di sana. Tanpa berkata apapun, dia menyandar duduk dan kembali meminum boba yang masih tersisa dengan cepat, melampiaskan semua emosinya di sana. Arsen membuang nafas perlahan. Kakinya mengegah mendekati Alista. “Pake.”ullangnya, menyodorkan helm itu dengan raut wajah yang sama. Datar dan tak ada ekspresi. Alista semakin dongkol melihatnya. Arsen meraih lengah Alista, namun langsung ditepis. “Jangan pakai acara ngambek segala. Buruan pakai terus pulang.” Tak ada balasan. Bahkan Alista tidak memalingkan muka sama sekali. “Ayo, Lis. Udah mau malam. Lo mau dihukum Ibu karena pulang telat?” “Gue melarang itu demi kebaikan Lo, Lis. Lo mau punya pacar? Gue yang akan cari biar Lo ke depannya enggak nangis gara-gara disakiti Cowok. Apa perkataan gue salah? Iya udah. Gue minta maaf. Berhenti bertingkah kekanak-kanakan. Pulang ayo.” bujuk Arsen. Alista masih saja tidak bereaksi. Lengannya terulur, hendak menyentuh pundak Alista. Lagi-lagi tangannya kena pukul. Arsen berjalan ke dekat motornya kembali. Dia ambil sebuah bungkus plastik yang tergantung di kaca spion. Arsen lantas menunjukkannya ke hadapan Alista. “Apa lo masih enggak mau maafin gue?” Alista melirik. Bagaimana bisa Kakaknya mendapat boba sebanyak ini? Katanya tadi uang saku sudah habis. “Sebenarnya gue udah kenyang." tangan Alista melakukan hal yang berlawanan dengan perkataannya. Dia tetap mengambil bungkusan tersebut. "tapi berhubung hari ini gue baik, gue ambil buat stok beberapa hari ke depan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN