81

1030 Kata
"Habis ke mana kamu? Kenapa pulang bersama dia?" Farhan langsung menginterogasi Putrinya yang baru saja datang dengan sorot mata penuh amarah apalagi barusan ia melihat Sesil pulang diantarkan oleh Putra Bianca. "Aku cuma menghabiskan waktu sama dia sebentar doang, kok." jawab Sesil, memalingkan muka ke arah lain. Wajah garang Ayahnya itu membuat nyalinya menciut. "Sebentar doang? Yakin kamu?! Jangan kira, ayah tidak di rumah, kamu bisa berbohong. Ayah tau sejak jam delapan pagi kamu pergi bersamanya, kan? Ke mana kalian berdua sampai pulang sore hari begini?!" sentak Farhan. Emosinya masih meletup-letup. "Aku... bantu Arsen buat cari Alista," lirih Sesil. Tentunya Farhan masih bisa mendengar. "Kenapa harus ikut mencarinya? Kamu bukan siapa-siapa perempuan itu." ujar Farhan. "Bukan siapa-siapa? Aku Adiknya, Ayah." "Dia bukan Kakak kamu!" "Sesil, sudah pulang, sayang?" Nela muncul dari belakang sana setelah mendengar suara gaduh dari luar. Tatapannya itu berpindah pada Farhan, "kamu kenapa marahin anak kita, Mas? Kasihan dia. Bukannya disambut, malah begitu." "Bilangin ke dia, jangan peduli dengan urusan orang lain." Farhan membalikkan badan, kemudian kembali beranjak ke ruang kerjanya. "Kamu habis melakukan apa? Mengapa Ayahmu berbicara seperti itu?" tanya Nela terheran-heran. "Tadi aku habis bantu Kak Arsen buat cariin Kak Alista," "Apa? Buat apa kamu membantunya? Biarkan saja dia menghilang. Bukankah itu memudahkan kamu untuk mendekatinya?" "Ibu enggak ada bedanya sama Ayah, ya. Dia juga Kakak aku, Bu. Aku wajib bantu kalau ada apa-apa." "Kalau soal anak itu, Ibu tidak akan pernah mendukung." Kali ini giliran Nela yang pergi meninggalkan Sesil di ambang pintu. Sesil hanya bisa menghela nafas, berusaha untuk bersabar. Ia lantas beranjak juga menyusul Ibunya. *** Mendengar Gea mencecar, Alista semakin gugup sekaligus bimbang untuk menjawab. Jujur saja, dia belum bisa jujur, terlebih lagi dia lihat Gea berteman baik dengan Randi. "Al? Lo dengar perkataan gue, kan?" "Hah?" "Yaelah. Berarti dari tadi lo enggak dengerin gue gitu? Wah, parah. Gue udah--" "Gue dengar kok. Gue dengar." potong Alista cepat, enggan melihat Gea bersungut-sungut marah. "Nah, terus gimana? Lo habis ditembak sama Reynal, ya?" "Enggak. Bukan gitu. Dia--" Bel sekolah berbunyi tepat saat Alista baru saja akan angkat bicara. Alista menghela nafas lega. Untung saja bel berbunyi, kalau tidak, entah apa jawaban yang akan ia berikan pada Gea. "Ih! Baru jam tujuh juga. Kenapa harus bunyi segala belnya." misuh Gea tidak terima. "Al, tungguin gue ih! Main nyelonong aja." *** Alista membawa tumpukan buku dengan kesusahan untuk ditaruh di perpustakaan. Yang membuat ia jengkel, dari sekian banyak murid di kelas, hanya dirinya yang bersedia membawa buku-buku ini. Termasuk Gea, teman barunya itu malah sibuk sendiri bermain handphone. "Eits, tunggu." Randi mendadak sudah ada di depan Alista. Dengan mudahnya, ia mengambil separuh tumpukan buku tersebut. Alista merasa senang sebab bebannya berkurang. "Bagi dua," lanjut Randi, berpindah posisi ke samping Alista. "Sendirian aja?" "Enggak. Gue sama yang lain," jawab Alista jengah. Sudah jelas dia sendirian di sini, tapi Randi masih bertanya. "Gimana rasanya?" "Rasa apa?" "Jalan sama Abang gue." Alista mulai merasa tidak enak. "Biasa aja kok," "Gue kira lo salting atau deg-degan." Randi menengok, melihat ekspresi Alista yang sepertinya gugup, dia jadi kurang percaya dengan jawaban Alista barusan. "asal lo tau, ya. Abang gue enggak susah buat kenalan sama Cewek lain. Tau kenapa? Dia belum move on dari pacarnya yang pertama dan gue enggak nyangka kalau lo orang yang berhasil buat Abang gue berubah sama kayak dulu." Alista hanya berdeham sebagai jawaban. Jujur saja, dia tidak tertarik dengan masa lalu Reynal atau semacamnya. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah; bagaimana caranya memberitahu Reynal kalau yang kemarin itu hanyalah kesalahpahaman saja. Keduanya masuk ke dalam perpustakaan. Di dalamnya sepi dan sunyi juga lembab. Alista mengibaskan tangan merasakan debu masuk ke dalam Indra penciumannya. Pantas saja tak ada yang mau ke ruangan ini. Ternyata keadaannya persis seperti gudang yang tidak dipakai selama bertahun-tahun. "Yang lain malas ke sini. Mereka lebih suka menghabiskan jamkos atau waktu istirahat di kantin dan tempat tongkrongan. Jangan heran perpustakaannya enggak terawat begini." kata Randi, mulai bercerita. Alista hanya ber'oh' ria. "Lo habis ini mau ke mana?" "Kelas," "Sekali-kali bolos lah." "Enggak mau." Alista berjalan terlebih dahulu. Randi yang melihatnya langsung mengikuti. Begitu Alista berhenti, ia pun berbuat sama. Alista menengok ke belakang, "Kenapa ngikutin gue? Udah gue bilang, kan, gue enggak mau ikut bolos." katanya emosi. "Santai," "Enggak bisa lah. Orang lo ngajak yang enggak benar, ya, gue emosi." "Iya, maafin gue. Tadi cuma bercanda doang," Alista berbalik badan tanpa menghiraukan Randi. Tanpa sadar, perdebatan ini mengingatkannya pada Arsen. Entah sedang apa Kakaknya itu saat ini. Yang terpenting, ia merindukannya. "Kalian berdua ngapain di sini?!" *** "Apa sudah ketemu? Kenapa jam segini kamu sudah pulang?" itulah yang Bianca lontarkan ketika dia baru saja pulang kerja setelah seharian menginap karena banyak kerjaan yang menumpuk. Mendengar kalau putranya itu rela ke pantai untuk mencari, membuat Bianca senang sekaligus penasaran. Ia menengok ke belakang Arsen, tatapannya berubah sendu ketika tak mendapati seorang pun di sana. "Belum ketemu. Aku pulang jam segini karena guru-guru mau rapat jadi dipulangkan semua." Arsen meletakkan jaketnya di sofa, lantas mendaratkan diri di sana untuk mengistirahatkan kakinya yang pegal. "kemarin aja brosurnya rusak semua. Jadi terpaksa aku tanya ke satu-satu orang yang ada di sana dengan berbekal fotonya dia, tapi enggak ada seorang pun yang lihat Alista." "Kenapa brosurnya bisa rusak?" "Enggak tau. Katanya Sesil diganggu orang enggak waras. " "Kamu percaya perkataannya begitu aja?" tanya Bianca menyelidik. "dia bisa saja berbohong. Sewaktu kecil, dia juga berbohong dan menyebabkan Alista diusir dari rumahnya." "Itu masa lalu. Lagian Sesil masih berpikir kekanak-kanakan waktu itu. Aku yakin sekarang dia lebih tau mana yang benar dan salah. Dan juga dia pasti lebih bisa berpikir dewasa sekarang, Bu." kata Arsen dengan yakin. Pasalnya pandangan serta cara berbicara Sesil membuat bisa menyimpulkan bagaimana sikap Gadis itu. "Terserah kamu. Ibu tetap tidak akan percaya." Bianca menarik langkah ke dalam kamarnya, sedangkan Arsen beranjak ke dapur untuk mengambil minum. Bianca menutup rapat-rapat pintu kamarnya. Ia membuka laci, lantas mengambil sebuah album foto di laci. Beberapa lembar dia buka sampai pada foto seorang wanita cantik dengan dirinya tengah memakai seragam SMA. "Maaf aku tidak bisa menjaga putri kamu seperti yang kamu pesankan waktu itu. Dia pergi entah ke mana. Semua ini memang salahku. Aku bodoh karena telah membiarkannya pergi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN