80

1015 Kata
Sesil tersentak. Spontan saja dia menengok ke seseorang yang baru saja angkat bicara. Laki-laki asing itu terus memandangnya dengan tatapan sulit diartikan. Tanpa menjawab apapun, Sesil berjalan ke arah Arsen yang tengah berdiri lumayan jauh darinya “Ar,” “Hm?” “Brosurnya rusak semua.” Arsen terkesiap, “Kok bisa rusak?” “Enggak tau. Tiba-tiba aja ada orang yang datang dan merebut itu. Mungkin orang enggak waras. Gimana, nih, Ar? Aku enggak mungkin juga cetak brosurnya lagi sekarang.” Tutur Sesil. Arsen menghela nafas panjang. Ia mengacak gemas rambutnya sendiri.”Gue akan tanya ke setiap orang di sini.” “Hah? Serius? Tapi, kan, Ar, tunggu!” Sesil menggerutu di dalam batin. Arsen mulai menanyakan ke setiap orang dengan berbekal foto Alista. Hal itu berlangsung cukup lama. Sampai langit berwarna oranye, barulah Arsen berhenti dengan keringat yang menetes di pelipis. Lelah sekaligus sedih. Itulah yang ia rasakan sekarang. Laki-laki tersebut duduk sambil meminum air mineral di botol. Sesil sebisa mungkin menyembunyikan raut tidak sukanya. Hancur sudah niatnya untuk menghabiskan waktu bersama Arsen di tempat indah ini. “Permisi, saya lihat Anda mencari seorang wanita, bukan?” Sesil mendongakkan mata ke arah suara tersebut. Spontan, kedua matanya terbelalak lebar. Ia tidak menyangka Laki-laki yang tadi melihatnya merusak brosur, sekarang berdiri tepat di hadapannya. Bagaimana ini? Dia cemas Laki-laki itu akan membongkar semuanya. “Iya, benar. Kenapa?” Pria itu melirik ke arah Sesil, kemudian mengalihkan tatapan kembali pada Arsen yang tengah menatapnya bingung. “Saya lihat, ada seseorang yang merusak brosurnya.” “Gue udah tau itu.” “Sepertinya lo enggak tau siapa yang ngerusaknya,” sindir sang laki-laki. Detak jantung Sesil meningkat. Tangan kanannya meremas kuat roknya sendiri. Ia harap Arsen tidak melihat wajahnya yang gugup ini. “Siapa?” jujur saja Arsen tidak tahu secara spesifik orang yang merusaknya sebab Sesil tidak menunjuk satu orang pun. “Di—“ “Aduh, kepala aku...” potong Sesil cepat. Kedua matanya memejam, sementara tangan kanannya memegang kepalanya sendiri. “Kenapa?” Arsen memegang kedua pundak Sesil melihat remaja di sampingnya ini seperti akan pingsan. “Kepala aku pusing...” lirih Sesil lemah. “Kita pulang aja sekarang. Ayo berdiri,” Arsen menuntun Gadis tersebut untuk berdiri bangkit. Setelahnya mereka berdua pergi meninggalkan Laki-laki yang baru saja akan mengatakan yang sebenarnya. “Sial. Licik juga wanita itu,” ** Sudah tiga hari berlalu, Alista duduk menghadap jendela yang menghubungkannya ke pemandangan atap rumah yang begitu banyak. Dia memandangi kalung yang diberikan Reynal. Ada dua keputusan yang melayang di benak Gadis itu dan sukses membuat Alista kebingungan. "Al, ada orang yang mau bertemu kamu." Alista bergegas menyembunyikan kalung tersebut di bawah selimut. Ia kemudian berdiri menghampiri Vania yang baru saja angkat bicara. "Siapa, Bi?" "Reynal." "Hah?" jantung Alista seolah akan meledak saat itu juga. Bagaimana tidak,detaknya bertambah meningkat.Dia bahkan belum memutuskan jawaban apa yang akan ia berikan nanti. "Tunggu, Bi. Aku belum bisa ketemu dia. Bilang aja aku lagi sakit." ucap Alista tiba-tiba. Vania berhenti dengan dahinya yang mengerut. "Memang kenapa?" "Soalnya--" "Tenang aja. Aku enggak akan bawa kamu ke tempat jauh lagi." Kedua mata Alista membesar, seolah akan keluar saat itu juga. Akan ditaruh ke mana wajahnya nanti. Mana Reynal mendengarnya berbohong lagi. Padahal ia niatnya hanya untuk menghindar saja dari Laki-laki itu. "Perlu Bibi panggilkan Dokter?" cemas Vania, meletakkan telapak tangan di dahi Alista, lantas membalikkannya,tetapi tidak panas sama sekali. "Eh, enggak usah, Bi. Aku butuh istirahat sekarang." "Tapi sebelum kamu pergi untuk istirahat, boleh saya berbicara dulu?" sergah Reynal. Tatapan heran Vania berpindah pada Laki-laki tersebut. Tumben sekali Reynal berbicara dengan bahasa formal. Padahal biasanya tidak. Dari cerita yang dilontarkan Yura kemarin, membuat Vania tahu kalau Reynal menyukai Alista, tapi biarlah. Ia ingin Alista bersama orang yang tepat lantaran dia tahu bagaimana sifat Reynal. Sepuluh tahun lamanya, membuat ia tahu segala perilaku Reynal. "Iya sudah. Bibi izin turun ke bawah." "Tapi--" "Bibi akan kembali sebentar lagi, sayang." Venia berlalu begitu saja tanpa peduli dengan jawaban yang dilontarkan Alista. Alista diam-diam mencuri pandang kepada Reynal, namun sialnya ia malah tertangkap basah. "Gue... mau tidur dulu," ucap Alista sedikit duduk. Reynal menatapnya tidak mengerti. "Beri saya waktu lima menit untuk menanyakan sesuatu." "Enggak bisa. Gue--" "Apa kamu belum menemukan jawabannya, itu sebabnya kamu menghindar seperti ini?" tukas Reynal, sudah tahu betul maksud dari Alista. "saya kira, kamu menggunakan waktu tiga hari dengan baik." Alista semakin merasa bersalah. Ia tahu tiga hari bukanlah waktu yang sebentar, namun mau bagaimana lagi. Dia masih berada di ambang kebingungan. "Apa kamu menerimanya?" Alista gugup, terlebih lagi saat kedua tangan Reynal menggenggamnya dan kedua mata Laki-laki itu amat tulus. Perasaannya jadi tidak enak untuk menolak. Alista sungguh bergelut dengan benaknya saat ini. "Reynal, Alista! Turun ke bawah! Ibu sudah membuatkan makanan untuk kalian berdua!" samar-samar dia bisa mendengar teriakan Sang Bibi yang memanggilnya. Tapi laki-laki di depannya ini bersikap seakan tidak mendengar apa-apa. Terbukti dari raut wajahnya. "Iya!" "Iya? Kamu menerimanya?" Alista mengerjap. Belum sempat berkata untuk menjelaskan kalau dirinya menyahut perkataan Vania, Reynal malah lebih dulu memeluk dirinya. "Maksud gue..." "Aku senang kamu menerimanya. Aku sudah menduga itu." Reynal melepaskan dekapan, barulah Alista bisa bernafas dengan bebas. "Di mana kalungnya? Kenapa kamu belum memakainya?" tanya Reynal. "Kalungnya ... ada di sana," "Di mana?" "Sebentar, gue mau ambil." Alista berjalan menuju tepi ranjang. Ia menyingkap selimut, mengambil kotak persegi panjang tersebut. Reynal langsung mengambil alih benda itu dan berpindah posisi ke belakang Alista. Ia segera memasangkan kalung emas tersebut pada leher jenjang Alista. Senyumnya terbit. Reynal tidak bisa mendeskripsikan rasa senangnya Sekarang. *** "Lo beli kalung baru, Al? Di mana?" Gea mengamati kalung yang terpasang indah pada leher jenjang Alista. "Enggak," "Hah? Apa lo bilang? Enggak?" tanya Gea, masih tidak mengerti dengan jawaban Alista yang tidak jelas. "Iya. Enggak. Kalung ini gak gue beli di manapun." "Lah, terus ini kalung dari siapa?" "Dari Reynal," "Reynal? Yang kembarannya Randi itu,kan? Ngapain dia beliin lo kalung?" Gea ternganga, refleks ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. "gila, sih! Gue enggak nyangka sumpah! Kenapa lo bisa sampai dikasih kalung itu? Lo ada sesuatu, ya? Kalian berdua pasti ada sesuatu, kan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN