82

1020 Kata
Alista dan Randi bersamaan menengok ke belakang. Mereka begidik ngeri melihat wajah garang dari Pak Dodi yang seolah akan memakan mereka hidup-hidup. "Hai, Pak." Randi melambaikan tangan. Tidak lupa dengan cengiran yang menampakkan deretan gigi-gigi putihnya. "Kalian mau membolos, hah?!" "Iya, Pak, tapi berhubung Bapak sudah datang, enggak jadi, deh." Alista terbelalak dengan jawaban Randi. Bisa-bisanya Laki-laki itu mengaku. Bagaimana nasibnya nanti. Dia tidak mau dihukum. Kejadian di kantin saja sudah cukup membuat dia malu. "Ikut saya!" "Pak, saya mohon. Lepaskan saya. Saya sebelumnya enggak berniat buat bolos kok," ujar Alista membela dirinya sendiri. Dia tidak mau membuat sekolah ini heboh. Sudah cukup masa itu menjadi bahan gosip. "Enggak niat bagaimana? Jelas-jelas kamu ada di sini bersama dia." balas Pak Dodi. "tidak perlu melontarkan alasan lagi. Ayo pergi ke kantor sekarang." Tidak ada pilihan lain selain mengikuti Pria paruhbaya itu. Keduanya berjalan mengikuti Pak Dodi dengan pasrah. Beruntung semua murid masih berada di dalam kelas. Alista tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Mereka ketika melihat ini. Setelah ditanyakan beberapa pertanyaan, mereka dihukum dan tidak boleh masuk ke kelas sebelum jam pelajaran ke lima dimulai. *** "Aduh, gara-gara lo, sih. Jadi gini, kan." keluh Alista. Tangannya itu memegang sikat WC, sedangkan tangan lain memencet hidungnya sendiri lantaran tidak kuat dengan bau yang super tidak sedap. "Seharusnya lo bersyukur. Dengan hukuman begini, kita jadi lebih dekat." "Apaan, sih." risih Alista. Dia bisa melihat aura seorang playboy pada Randi yang sebelas dua belas sama dengan Altair. "Gue kira Lo bakal berbunga-bunga, taunya marah-marah begini." Randi kembali menuangkan sabun pada kloset. Saat itu juga Alista membersihkannya dengan sikat. "Gue enggak kaget lagi, sih, kalau dia begitu." "Emang udah dari dulu, kan?" "Iya benar. Ngapain coba memikirkan sikapnya. Enggak ada gunanya, Zel. Mending pikirin, noh, di mana Cewek yang namanya Alista itu. Lo sadar enggak sih? Dari tadi dia enggak kelihatan." Suara percakapan itu terdengar semakin mendekat. Kedua mata Alista terbeliak lebar. Perasaannya mendadak jadi tidak tenang. Ia meletakkan sikat tersebut begitu saja ke lantai, setelahnya dia menarik langkah menuju ke dalam kamar mandi, namun sialnya dua perempuan yang teman sekelasnya tersebut sudah terlanjut masuk ke dalam. Alista berbalik badan, menghadap ke arah berlawanan dengan kepala menunduk. "Randi? Lo, kok, ada di sini?" heran salah satu dari mereka. "Lo dihukum?" tanya yang lain untuk memastikan. "Iya." Gadis ber-nametag 'Jane' itu melirik seorang wanita yang berdiri tidak jauh dari Randi. Ia memperhatikan dari bawah sampai atas, tapi dari satu bagian tubuh itu, dia tidak mengenalinya sama sekali. Jane menyenggol lengan Ririn dengan sikutnya. "Rin, dia siapa?" bisiknya lirih, tapi terdengar di pendengaran seisi kamar mandi pasalnya suaranya menggema di sana. Ririn berjalan maju. Jari telunjuknya menyentuh punggung Perempuan tersebut, tapi ia tak mendapatkan respons. Bulu kuduk Mereka berdua spontan berdiri, merinding melihat Wanita itu. Randi yang melihatnya tersenyum penuh arti. "Kalian ngapain di situ?" "Hah?" Jane mengerjap tidak mengerti. Jelas-jelas ada orang di hadapannya apa Randi tidak melihat itu? "Dibilang ngapain di situ malah 'Hah'," ujar Randi, menirukan gaya bicara Jane di akhir kalimat. "Serius lo? Lo enggak lihat Cewek di dekat kita berdua?" tanya Ririn masih tidak paham dengan sikap Randi. "Cewek mana? Yang ada Kalian berdua." bohong Randi. Apalagi alasannya kalau bukan untuk menyelamatkan Alista. "Ada Cewek selain kita, Ran!" kata Ririn nyaris membentak. "Lah, siapa?" Randi balas bertanya dan berlagak tidak melihat apa-apa. "Berarti dia..." Jane menggantungkan kalimat. Setelahnya dia ngibrit pergi. Ririn gelagapan. Pada akhirnya dia ikut pergi juga. Randi terkekeh melihat Mereka berdua yang mudah dibohongi. Jelas-jelas kedua kaki Alista menapak di lantai. Mereka masih saja percaya kalau Alista itu manusia jadi-jadian. "Al, mereka udah pergi." **** Suara gaduh dari kelas 11 MIPA 3 berhasil membuat Sesil merasa risih sendiri. Terlebih lagi saat murid laki-laki yang tengah bermain bola. Sesil menjadi takut terkena lemparannya. Sekarang dia tengah menyapu di bagian depan kelasnya, tapi karena di sekitarnya lumayan kotor, Sesil tergerak hatinya untuk membersihkan semuanya. Mendadak seseorang merebut kasar sapu yang ia genggam. Sesil menengok dan mendapati seorang laki-laki dengan penampilan urak-urakan dan rokok di sakunya. Sesil mengibaskan tangan kala Laki-laki tersebut menghembuskan asap rokok padanya. Tertera nama 'Marsel' di name tagnya. "Gue mau bicara sama lo." "Gak mau." balas Sesil telak. Jelas saja dia tidak mau dekat-dekat dengan tipe murid brandal seperti Marsel. Apa reaksi orang tuanya nanti. "Kenapa enggak mau? Gue bisa bilang ke Arsen kalau lo yang merusak brosurnya." Sesil membeliakkan mata. Bagaimana bisa Marsel tahu hal itu? Padahal sudah jelas kemarin dia tak melihat Cowok itu sama sekali. "Kemarin saudara gue sendiri yang bilang itu. Mungkin gue enggak punya bukti, tapi gue yakin Arsen mudah percaya dengan perkataan teman-temannya. Jadi pilih yang mana? Bicara sama gue atau gue kasih tau ke teman-teman Arsen tentang brosur itu?" pilihan yang membuat Sesil menemukan jawabannya sendiri. Gadis itu berjalan terlebih dahulu melewati Marsel. "Bicaranya jangan di sini." Marsel tersenyum miring. Tanpa membuang waktu lagi, dirinya mengikuti langkah Sesil. Mereka berhenti di depan laboratorium IPA. Tak ada seorang pun di sana. Setelah memstikan tidak ada orang, barulah Sesil menatap Marsel dengan tanda tanya besar seolah berkata 'Apa?' "Lo benci sama si Alista?" Ada sesuatu kuat yang menghujam dadanya setelah mendengar perkataan Marsel. "Enggak." "Jangan bohong. Gue tau dari cara lo melihat foto Alista." Marsel bersikukuh. Sekalipun Sesil mengatakan berpuluhan kali, dia tetap saja tidak bisa mempercayainya. "Enggak usah sok tau." Sesil membalikkan badan, berniat untuk pergi, namun lagi-lagi suara menyebalkan Marsel membuat dia merasa jengah sekaligus jengkel. "Gue enggak sok tau. Gue bisa bedain mana tatapan benci, mana yang enggak." Marsel maju beberapa langkah, kemudian meraih lengan Sesil dan membalikkan tubuh perempuan itu secara perlahan. "Enggak usah pegang-pegang!" Arsen mendadak muncul dari arah belakang Marsel. Setelah suaranya terdengar, Laki-laki tersebut maju dan melepaskan genggaman lengan Marsel pada Sesil. "ngapain lo ke sini?" tanyanya dengan nada tidak suka pada Sesil. "Arsen, kamu... kenapa ke sini?" tanya Sesil bingung sendiri. "Balik ke kelas sama gue sekarang." ujar Arsen. Ia beralih menggenggam pergelangan lengan Sesil. Beberapa langkah, sampai dia di samping Marsel, Arsen mencondongkan badan dan berbisik, "jangan harap lo bisa melakukan hal yang sama ke Sesil seperti yang lo lakuin ke Alista. Sampai kapanpun gue enggak akan biarin nasib adik gue sama seperti yang sebelumnya."

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN