76

1198 Kata
"Kar! Karisa! berhenti," Rifka mempercepat larinya. Sementara Karisa yang melihat itu langsung berhenti. Tangan Rifka memegang lengan Karisa. Nafasnya terengah-engah membuat Karisa ikut lelah melihatnya. "Ada apa?" "Gue punya berita baru! Masih panas! langsung dari sumbernya," tutur Rifka. Karisa tidak begitu antusias menanggapinya sebab ia tahu kalau berita yang dibawakan Rifka selalu tidak penting. "Apa?" tanyanya malas. "Ada murid perempuan pindahan dari SMA sebelah. Gue liat fotonya di i********:, cantik banget gila. Lo wajib lihat, deh, dijamin inscure." "Iya terus?" Karisa acuh dengan perkataan Rifka. Lagian jika ada murid baru yang datang, ia tidak peduli, kecuali kalau Alista. Berbeda lagi responsnya. "Udah, itu doang." "Sumpah, berita yang Lo bawa enggak bermutu banget, Rif." "Bermutu sama penting banget, loh, Kar!" "Enggak," Karisa lanjut berjalan kembali. Rifka bersungut-sungut. "Ish, Lo, tuh, ya, benar-benar nyebelin." "Ar..." panggil Karisa ketika Arsen melintas di dekatnya, namun Cowok itu bertingkah seolah tidak melihat dirinya. Arsen memandang lurus ke depan dan menghiraukan semua sapaan yang dilontarkan orang lain padanya. Ia terlalu malas untuk membalas sapaan ataupun tersenyum. Niatnya ia akan ke kamar mandi, tapi seorang Gadis yang turun dari mobil di depan gerbang sana membuat dia berhenti dan terpusat padanya. "Dia murid baru di kelas kita," ujar Altair seakan bisa tahu isi batin Arsen. Laki-laki itu tahu-tahu sudah ada di belakang Arsen. "Enggak peduli," "Serius? Dia cantik, Ar. Imut juga. Kata si Rifka siapa, ya, namanya... kalau enggak salah Sesil," Arsen memandang Altair dengan sirat tidak percaya. "Kenapa dia pindah ke sini?" *** Sesil mendaratkan duduk di sebuah bangku kantin. Seorang diri. Sebenarnya dia sebangku dengan Karisa, tetapi Karisa sepertinya belum bisa menerima dirinya. "Gue duduk di sini boleh?" Arsen muncul dengan membawa makanan serta minuman pesanannya. "Boleh," di bawah sana, Sesil meremas roknya. Ia mendadak gugup. Walau ia sudah melihat Arsen berulang kali, wajah Cowok itu berhasil membuat jantungnya berdegup kencang. "Alista sama sekali enggak ke rumah lo, Sil?" Sesil menggeleng, "Papa juga enggak tau di mana Kakak berada. Kamu udah lapor ke kantor polisi?" "Udah, tapi mereka belum ada kabar. Gue minta tolong banget sama Lo. Kalau liat Alista, langsung kabari gue, oke?" "Pasti, Ar," Arsen terfokus kembali ke makanan di hadapannya. Dia memasukkan satu sendok ke dalam mulutnya. Sementara Sesil memperhatikan sembari memainkan sedotan di gelasnya. "Ada sesuatu di rambut kamu," kata Sesil setelah memperhatikan cukup lama. Arsen meraba rambutnya, tapi ia tak menemukan apapun. "Mana?" "Diam. Biar aku yang ambil," Sesil berdiri. Jarinya bergerak mengambil potongan kertas yang menyangkut di rambut hitam Arsen. Wangi parfum masuk ke dalam Indra penciuman Arsen. Parfum ini persis seperti parfum milik Alista. "Eh! singkirin tangan Lo dari dia!" Rachel muncul di antara keduanya. Tanpa rasa malu dia menangkis tangan Sesil yang masih memegang rambut Arsen. "Maaf, kamu siapa, ya?" tanya Sesil, berusaha untuk tidak marah, tapi tatapan Rachel tidak berubah. Ia semakin sinis. "Gue pacarnya dia. Kenapa?" "Pacar?" Sesil memandang Arsen, meminta penjelasan sebab sebelumnya ia tidak tahu akan hal ini. Mengapa cepat sekali? "Enggak usah ngaku-ngaku!" sentak Arsen tidak terima. Rachel mengerjap. Refleks dia menjauhkan tangannya yang dari tadi memegang pundak Arsen. "Maaf," "Dan lo jangan ganggu dia lagi. Ingat itu." bisik Arsen tepat di telinga Rachel. Setelahnya ia mendongak, menatap Sesil yang jugactengah memandangnya. Sesil gelagapan dan langsung mengalihkan muka ke arah lain. "Ayo, kita pindah meja." ajak Arsen berjalan lebih dulu. Sesil bergerak mengikuti dari belakang. Seisi kantin yang tadinya sempat hening kini dipenuhi dengan bisikan-bisikan dan tawa mengejek yang diarahkan pada Rachel. Karisa tidak beraksi apapun melihat kejadian tadi. Dia hanya merasa kecewa sebab Arsen terlihat dekat dengan Sesil. Gadis itu tiba-tiba berdiri sambil memegang mangkuk dan gelasnya. Rifka dibuat mendongak dan kebingungan, "Mau ke mana lo?" "Gue permisi dulu sebentar," balas Karisa. Ia mendorong bangku, kemudian beranjak pergi dari sana. Rifka dan Kiara saling melempar tatapan heran. Karisa berhenti tepat di meja tempat Arsen dan Sesil duduk. "Gue boleh gabung?" "Boleh kok," sahut Sesil. "Thanks, Sil." Karisa menarik bangku di depan Sesil, lantas mendaratkan diri di sana. "Lagi musuhan sama mereka?" "Enggak juga. Gue lagi pengin aja gabung sama kalian berdua." Karisa meminum es tehnya yang tersisa setengah, tapi tatapannya tidak lepas dari Sesil. "By the way, kenapa lo pindah ke sini?" Sesil mendongak. Kedua mata Mereka bertemu. "Aku..." Apa yang harus ia jawab? Kalau dia menjawab karena bullying, jelas ia tidak mau sebab nanti justru dianggap remeh oleh mereka. "Hm?" gumam Karisa. "Aku itu pindah karena--" "Karena pengajaran dan suasana sekolah kurang bagus. Iya, kan, Sil?" sergah Arsen, menatap Sesil dengan penuh arti. Sesil mengangguk cepat. "Iya," "Oh, gue kira lo ke sini buat rebut posisinya Alista sama deketin salah satu cowok yang ada di sini." celetuk Karisa. "Enggak. Mana mungkin juga aku begitu," "Mungkin, lah. Lo, kan, mantan perebut milik seseorang." "Kar. Berhenti ungkit masa lalu, bisa?" *** "Lo pulang duluan aja, Gab. Gue mau ke warung itu sebentar," kata Alista, menolak ajakan Gea untuk pulang bersama. "Sendirian di warung itu? Yakin?" "Emang kenapa?" "Ya enggak apa-apa, sih, cuma warung itu biasanya jadi tempat para cowok yang bolos," Alista speechless. Ia tidak menyangka saja sebab warung itu kelihatannya terawat dan tidak ada puntung rokok yang bertebaran. "Kok tiba-tiba lo mau ke warung itu, Al? Lo mau ketemu sama seseorang, ya?" tanya Gea dengan raut menggoda. "Em... itu enggak kok," Alista belum bisa berkata sebenarnya pada Gea. Ia takut mulut wanita tersebut 'bocor' dan sampai terdengar oleh Randi. "Ya udah. Berhubung habis ini gue juga ada acara keluarga, gue pamit dulu, ya," pamit Gea. Alista tidak menyangka ternyata semudah itu Gea mempercayainya. Setelah Gea tidak kelihatan lagi, Alista menyebrang jalan. Ia berdiri di depan warung itu, tidak berniat untuk masuk. Perkataan Gea membuatnya takut duluan untuk masuk ke warung tersebut. "Nungguin gue, ya?" Randi menghentikan motornya tepat di depan Alista. "Bukan," "Terus nungguin siapa? Angkot? Mending Lo pulang bareng gue daripada nunggu kelamaan," "Enggak, Ran. Gue di sini nunggu orang lain. Lo boleh pulang duluan kok," "Gue enggak tenang. Di sini sering ada anak kelas dua belas yang nongkrong. Daripada Lo digodain mereka, mending pulang sama gue. Iya, kan?" desak Randi. Alista risih akan hal itu, namun jika berkata dia akan pergi dengan Reynal, ia merasa tidak enak. Alista bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia harap siapapun datang untuk mengalihkan perhatian Randi. "Gue mau bicara sama dia," Alista menengok ke belakang, tempat yang dugaannya menjadi sumber suara orang barusan. Benar. Ada Reynal di sana sedang duduk. "Serius? Kalian mau jalan berdua?" tanya Randi setengah percaya. Pasalnya baru pertama kali ini Reynal jalan dengan seorang wanita setelah tiga tahun Elisia meninggal. "Iya, kenapa?" tanya Reynal, berdiri bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Mereka. "Lo udah ngelupain Elisia?" Randi bertanya balik. Terdengar nada tidak suka dari Laki-laki tersebut. "Itu masa lalu," Reynal bergerak menggenggam telapak tangan Alista. Perempuan itu tersentak dan secara spontan melihat ke arah Reynal dengan tatapan bingung. Satu detik berikutnya, dia Reynal balas memandang Alista. "kita pergi sekarang," "Ke--ke mana?" tanya Alista gugup sekaligus takut apalagi saat melihat wajah Randi yang tak suka. "Oh, oke kalau kalian mau pergi. Gue cabut duluan. Hati-hati di jalan. Al, kalau dia ngapa-ngapain lo, tinggal telepon nomor gue," sergah Randi. Tanpa berniat mendengarkan jawaban, Randi. melajukan cepat motornya. Pandangan Alista mengikuti kepergian Cowok itu. Sungguh, ia merasa bersalah. "Jadi kita mau ke mana?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN